Senin

Menikah Muda, Lalu…

OLEH: FENNY APRILIA*
Data tahun 2006 yang dimiliki BKKBN mengenai nikah muda cukup mengkhawatirkan. Jawa Timur dan Jawa Tengah berada pada posisi kedua; Dari 1000 penduduk, ada 70 jiwa yang sudah menikah sejak usia muda. Sementara di Yogyakarta hanya 34 jiwa. Urutan teratas ditempati Jawa Barat yakni 126 jiwa. Individu yang menikah pada usia 15-19 tahun berada dalam pengertian tentang menikah muda. Fakta tersebut sangat mengkhawatirkan karena hampir bisa dipastikan akan menyebabkan kekerasan dalam rumah tangga. Dalam perspektif ini, perempuan sebagai korban adalah sebuah keniscayaan.
Pernikahan adalah ranah yang sakral bagi kehidupan individu di dunia. Di titik ini, orang tua selalu menuntut adanya pernikahan ketika kesiapan pada berbagai bidang terpenuhi secara individual, --materiil dan imateriil (spiritual). Hanya saja, sisi kesiapan yang dijadikan dasar bagi individu untuk menjalani pernikahan, kadang hanya direduksi pada ranah biologis semata. Menikah muda dilakukan sebagai solusi ketidakmampuan keluarga menanggung beban hidup anak. Pendidikan sebagai faktor fundamental bagi anak, tidak bisa dipenuhi oleh orang tua yang senantiasa hidup dalam kemiskinan. Semua pihak tentu memahami bahwa pendidikan di negara ini masih sangat sulit dijangkau kaum miskin. Padahal, pendidikan dipercaya sebagai modal untuk membentuk masyarakat yang humanis dan bermartabat.
Pernikahan pada usia muda menjadi pilihan untuk mengurangi beban hidup keluarga, juga terjadi karena pandangan biologis semata. Ketika fisik seseorang sudah dianggap sempurna untuk reproduksi, maka izin menikahpun dengan mudah diberikan. Sekali lagi, itu hanya engurangi beban hidup keluarga.
Pintu Masuk KDRT
Kiranya cukup jelas bahwa fenomena menikah muda sangat riskan memunculkan perilaku kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Pasangan yang menikah muda, mayoritas belum siap secara psikis untuk membangun sebuah biduk bernama rumah tangga itu. Gejolak yang hadir dalam rumah tangga sangat mungkin ditanggapi secara emosional dan tak jarang meledak-ledak. Di sudut itu, perempuan menjadi pihak yang selalu saja menderita.
Pemicunya, selain ada rentetan berbagai faktor, pendidikan tidak memadai yang diterima perempuan sebelum menikah menjadi salah satu pemantik. Perilaku keras suami, tentu dipandang sebagai sebuah kewajaran sebagaimana ditafsirkan oleh budaya patriarkhi. Kesadaran akan nilai-nilai kesetaraan yang menjadi salah satu roh dalam pendidikan tidak terjamah oleh perempuan yang menikah muda. Perempuan yang menerima perlakuan kasar dari suami hampir bisa dipastikan tidak akan mengadukan kepada orang lain. Karena hal itu dianggap tabu jika urusan rumah tangga diketahui pihak luar. Di titik ini, masalah kian pelik. Menikah muda adalah jalinan antara rendahnya mutu pendidikan yang diterima perempuan dan kemiskinan yang melanda keluarga, hingga berakhir pada banyak kasus kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga.
Solusi
Pemerintah daerah nampaknya perlu segera berbenah diri untuk menyikapi fenomena menikah pada usia muda, minimal untuk menurunkan angka individu yang menikah muda dan menghapuskan KDRT. Pendidikan yang layak dan murah hingga bisa dijangkau perempuan harus diwujudkan, karena menikah muda terjadi karena putusnya harapan orang tua dari keluarga miskin dalam memupuk human capital pada diri anaknya melalui jalur pendidikan. Pendidikan yang berkualitas akan menghasilkan masyarakat yang sehat dan setara dalam segala hal. Fenomena KDRT adalah sedikit bukti bahwa masih ada masalah pada jantung pendidikan di republik ini.
Human capital yang berkualitas sebagai ekses dari pendidikan yang layak dan murah akan menciptakan harapan hidup yang makin tinggi dari masyarakat untuk bekerja secara mandiri. Apalagi, jika pemerintah daerah turut merangsang berdirinya berbagai sektor pekerjaan bagi masyarakatnya. Dengan demikian, menikah muda bisa diminimalisir karena keinginan kuat individu untuk mencari persiapan materiil sebelum menikah juga didukung oleh pemerintah. Tak kalah penting, pemerintah daerah perlu melakukan langkah kuratif terhadap fenomena KDRT. Berbagai fasilitas dan prasarana yang mendukung penghapusan KDRT harus diwujudkan oleh tiap pemda. Pengobatan gratis kepada perempuan korban KDRT adalah salah satu kebijakan yang paling memungkinkan pada tingkatan kuratif. Pelaksanaan UU Nomor 23/2004 harus dilakukan oleh para penegak hukum secara konsisten dan dipantau secara terus-menerus oleh para pihak yang berkeinginan kuat menghapus KDRT.
Menikah muda adalah persoalan masyarakat yang tidak seharusnya ditinjau dari sisi kependudukan semata. Maka dari itu, menyoal menikah muda tidak selayaknya pemerintah hanya menggalakkan program keluarga berencana (KB) saja. Menikah muda menyimpan masalah yang cukup pelik seputar pendidikan, kemiskinan dan tentu saja kekerasan terhadap perempuan. Maka dari itu perlu langkah holistik dalam menyikapi fenomena menikah muda di masyarakat.
* Pegiat pada De-Fe Institute (Democracy and Feminism Institute) dan aktif di Ka-Je 21 (Kelompok Jatinangor 21). Saat ini masih menyelesaikan tugas akhir sebagai mahasiswi Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran.

Tidak ada komentar:

Statistik pengunjung