Senin

Ketakutan, Kebodohan Dan Penindasan

REFLEKSI
Oleh: Nurani Soyomukti

Seorang anak bunuh diri gara-gara tidak dapat sekolah atau malu karena diolok-olok oleh teman-temannya gara-gara tak mampu membayar SPP. Lalu ibunya juga gantung diri karena tidak tahan atas kejadian yang menimpa anaknya dan sulitnya menghadapi hidup dalam hari-harinya.
Kejadian seperti-dan hampir sama dengan-itu adalah suatu peristiwa yang sering terjadi dalam hari-hari kita. Sulitnya menghadapi realitas sehari-hari adalah sebab kefrustasian masyarakat yang semakin lama memang semakin "tidak jelas" ini. Jutaan pemuda menganggur juga mengalami suatu ketidakjelasan atas nasib mereka, bahkan juga bagi anak-anak dan remaja yang telah mengenyam pendidikanpun. Para lulusan sarjana juga banyak yang gamang menatap masa depan, nasib mereka tidak jelas, masa depan seakan gelap gulita.
Itulah gambaran yang hampir ada di hati dan pikiran masyarakat kita. Dalam keadaan gelap orang menjadi takut. Tetapi, sebaliknya, dalam keadaan terang orang tidak takut.
Kenapa kita takut pada gelap? Karena dalam gelap kita tidak tahu apa-apa. Meraba-raba, keadaannya tidak pasti. Lalu kenapa kita juga takut terang?
Sehingga takut itu ada dua macam. Kesatu, yang berdasarkan tidak tahu; yang kedua yang berdasarkan tahu. Yang berdasarkan tidak tahu, misalnya, takut pada gelap dan suatu yang tidak pasti. Yang berdasarkan tahu, misalnya, takut mendekati orang yang terkena penyakit menular.
Ketakutan, Anti-Pengetahuan, dan Penindasan.
Takut Mengetahui? Itulah perasaan yang ada pada orang yang berwatak subjektif dan sepihak, hal itu bisa menjadi benih-benih watak fasis seseorang yang anti-keadilan. Pada jaman dahulu ketika masyarakat masih terlena dalam kegelapan (di era Dark Ages), segalanya dianggap "buatan tuhan", termasuk kaya dan miskin adalah "takdir tuhan". Kabar yang disampaikan oleh para penindas feudal di abad Pertengahan, misalnya, adalah bahwa "Pusat tata surya adalah Bumi" (teori Geosentris). Ternyata setelah secara objektif diketaui melalui alat bantu teleskop orangpun yakin bahwa pusat tata surya adalah Matahari (teori Heliosentris). Pihak gereja dan kerajaan juga takut setengah mati dengan ketahumenahuan ini, makanya dia melakukan cara-cara memaksa dengan memancung Copernicus karena pengetahuan yang ditemukannya mengancam tatanan kekuasaan feodalisme (monarki absolut) yang menindas.
Karena dasar di atas, maka ketakutan harus selalu dipelihara dalam masyarakat-agar sistem penindasan tetap berjalan. Tradisi kegelapan dipelihara, TV-TV, media-media cetak, prasangka-prasangka umum yang awam, semuanya memelihara ketakutan atau mempertahankan kegelapan, takhyul, dan pandangan tidak ilmiah. Ketakutan harus dipelihara agar tidak pernah muncul pemikiran dan perasaan pemberani (dan mau ambil resiko) agar budaya dan tatanan penindasan terdobrak. Ketakutan memang dapat memperpanjang daftar penindasan dan kebodohan.
Ketakutan Akan Hidup
Dunia ini material, konkrit dan bukan sandiwara. Kaum idealis yang asketik selalu menekankan agar manusia menghibur diri sendiri, membohongi diri, mengalihkan kecenderungan (kebutuhan-kebutuhan konkrit). Akhirnya, mereka selalu begitu mudahnya-mungkin gara-gara kemiskinan filsafat (kebodohan) dan kelemahan psikologis-diarahkan untuk menerima jawaban-jawaban yang menghibur; misalnya begitu mudahnya orang-orang menerima anggapan bahwa "hidup ini di dunia sangat sementara; biarlah kita menderita, susah, dan kecewa... asalkan di dunia setelahnya bahagia."
Memang manis dan menghibur, seperti perasaan yang harus menerima ketika dihadapkan pada fakta bahwa orang-orang yang tertindas harus menjalani kesusahan material dengan romantika tersendiri (melalui mekanisme psikologis).
Asketisme mengajarkan pada masyarakat miskin bahwa kondisi kontradiksi pahit dan tidak berbudaya yang menimpanya, dan yang membuatnnya (merasa atau tidak merasa) menderita, tidak sepadan dengan kenikmatan di "surga" nanti. Makanya dicekokkan juga janji "kehidupan setelahnya" (The Day After atau akhirat). Material tubuh manusia dan efek psikologisnya memang memiliki "Sensasi Keabadian"-dan inilah yang membuat kita begitu percaya bahwa kita ingin "hidup selamanya", ungkapan irasional yang tentu saja tidak masuk akal. Dan kaum asketik dalam himbauan moralnya terus saja menekankan bahwa Tuhan dan malaikatnya terus mengawasi kita dan akan mengganti rugi di kehidupan mendatang atas frustasi dan kekecewaan yang kita derita sejak kecil di dunia.
Kehidupan, terutama bagi orang miskin yang sering dijadikan kaum intelektual sebagai bahan mentah hanya untuk dibicarakan, ditulis, diseminarkan-yang dengan demikian dieksploitasi untuk menghibur diri dan untuk mendapatkan "dana"-terlalu banyak membawa penderitaan, kekecewaan, terasa sangat berat, serta tugas-tugas sulit yang hampir mustahil untuk mencipta kehidupan (sosial, seni, dan budayanya).
Menurut Sigmund Freud dalam Civilization and Its Discontent, untuk memikul penderitaan-penderitaan itu, orang tidak bisa membuangnya melalui ukuran-ukuran standard yang bersifat meringankan. Tidak mungkin bagi orang untuk untuk membuang penderitaan dari pikiran dan perasaannya. Kondisi material yang membawa penderitaan yang menimpa dirinya pasti dirasakan, pasti mempengaruhi kesadaran dan kejiwaannya. Ia memang bisa disangkal dan dilupakan, tetapi tidak hilang dalam jalinan psikologis dan hal ikhwal emosinya, yaitu menguap dalam perasaan (bawah sadar) melalui mekanisme pengalihan yang membentuk watak, obsesi-obsesi dan kesimpulan baru, dendam-dendam dan "kegilaan", atau ambisi dan keinginan lama dan baru yang biasa dianut manusia normal, yang obsesi-obsesinya memang tidak jauh dari kebutuhan-kebutuhan konkrit kehidupannya.
Kegagalan dalam memenuhi kebutuhan sebagai sebab-sebab penderitaan biasanya bisa disangkal, dilupakan, atau ditekan dengan mekanisme kerja psikologis, yang menurut Freud, seperti ini: (1) pembelokannya sangat kuat, yang menyebabkan kita menganggap enteng penderitaan kita; (2) kepuasan pengganti, yang akan mengurangi penderitaan tersebut; (3) substansi-substansi yang memabukkan, yang membuat kita tidak mengindahkan penderitaan.
Tetapi orang yang dalam hari-harinya memang tidak pernah bersentuhan dengan analisa psikologis dalam dirinya sendiri memang tidak merasa, dan biasanya mereka menghadapkan perasaannya terhadap realitas hidupnya berdasarkan subjektifitas mereka. Pada hal, faktanya justru kompleksitas psikologis itu yang justru mengendalikan kita dalam aktivitas sehari-hari.
Cara-cara pengalihan kegagalan memang bermacam-macam. Orang menciptakan lagu-lagu untuk menghibur diri dari penderitaan, menciptakan kegiatan dan kata-kata untuk meromantisir keadaan yang dihadapinya; tetapi juga ada yang beraktivitas politik, budaya dan berkesenian, baik untuk membebaskan maupun untuk memenuhi ilusi-ilusi yang berkebalikan dengan realitas. Ada juga yang beraktivitas ilmiah untuk mengetahui realitas diri dan lingkungannya, serta ada yang mendobrak sumber penderitaan-ini inilah yang akan mengetahui kemunafikan-kemunafikan dari dunia ini dan menjadi dasar bagi dimulainya penataan kehidupan baru yang dianggap baik bagi potensi jiwa manusia.
Kebahagiaan seakan memang begitu sulit dialami oleh masyarakat ketika sistem penindasan begitu melembaga baik secara material-produksi maupun oleh kebodohan, kepengecutan, ketakutan, dan kemunafikan orang-orang yang ada. Ketidakbahagiaan jauh lebih mudah dialami. Kita ditakdirkan menderita bukan oleh sesuatu yang berada di luar (ide atau kehendak) kita, tetapi oleh material konkrit dan perasaan-perasaan yang dibentuknya. Masih menurut Freud, penderitaan dalam hal ini mengancam dari tiga (3) arah: dari tubuh kita sendiri, yang ditakdirkan untuk rusak dan menua dan membusuk, dan bahkan tanda-tanda peringatan untuk itupun selalu berupa rasa sakit dan kegelisahan; dari dunia luar, yang mungkin melanda kita dengan kekuatan merusak yang melimpah tanpa ampun (kontradiksi alam); dan dari hubungan kita dengan orang lain-ujung-ujung dari kesemuanya ini adalah (apa kalau bukan) pada hubungan manusia dan sistem (struktur) sosial.
Sebenarnya budaya yang maju dibangun dari keberadaan individu-individu yang secara mental sehat dan produktif bagi budayanya. Dan kebudayaan yang lahir dari sistem sosial-ekonomi yang kontradiktif bagi tiap-tiap individu juga akan menghasilkan kebudayaan yang "miskin" atau tidak manusiawi. Setiap orang menghendaki dirinya menjadi manusia yang bermartabat, "kaya" dengan cara "menjadi", atau-meminjam Nietzsche-menjadi "manusia unggul" (Ubermansch).
Yang bisa dilakukan barangkali adalah menghilangkan ketakutan akan kehancuran tubuh kelak (mati), bersikap sesuai dengan kecenderungan material (analisa material); menghilangkan kegelisahan dengan ide-ide yang konstruktif dan maju; mengatasi dan menuntaskan kegelisahan dan emosi yang memusuhi baik keliaran maupun kepasrahan instink-instink.
*) Ketua Departemen Diklat-Litbang Yayasan TAMAN KATAKATA (TK) Jember.

Tidak ada komentar:

Statistik pengunjung