Senin

Rokok Dan Kurikulum Sekolah

OLEH: Saiful Amin Ghofur*
ADA yang aneh dengan bangsa ini ketika berbicara rokok. Jika bangsa-bangsa lain menunjukkan tren menurun seputar konsumsi rokok, Indonesia justru sebaliknya. Lebih celaka lagi, biaya yang dikeluarkan masyarakat untuk konsumsi rokok jauh lebih besar dibanding anggaran kesehatan per kapita. Konsumsi rokok Indonesia setiap tahun mencapai 199 miliar batang rokok atau urutan kelima setelah RRC (1.679 miliar batang), AS (480 miliar), Jepang (230 miliar) dan Rusia (230 miliar).
Dalam 10 tahun terakhir, konsumsi rokok di Indonesia meningkat 44,1% dengan total warga perokok sebanyak 70%. Yang lebih menyedihkan, 60% di antara perokok adalah kelompok berpenghasilan rendah (Susenas 2001). Tingginya konsumsi merokok diyakini bakal menimbulkan implikasi negatif yang luas, baik terhadap kualitas kesehatan, juga kehidupan sosial dan ekonomi.
Rokok memang bak buah simalakama. Secara ekonomis, rokok memberikan kontribusi yang signifikan bagi pemasukan negara. Setiap tahun, pemerintah mendapat masukan dari pos penerimaan cukai rokok dan minuman keras sekitar Rp 27 triliun. Angka ini menyumbang 98% penerimaan cukai negara sehingga urusan kesehatan dan menyelamatkan anak negeri sering tergilas oleh setoran puluhan triliunan uang. Sebenarnya, negeri ini sudah menjadi korban keganasan pasar internasional. Produsen rokok terbesar dunia, sebut saja dari negara-negara maju, memasarkan produknya ke negara-negara dunia ketiga (termasuk Indonesia).
Pemasarannya dibarengi strategi propaganda untuk menarik konsumen. Negara-negara Eropa dan AS dalam 10 tahun terakhir memberlakukan berbagai kebijakan untuk menekan jumlah pecandu rokok. Juga negeri-negeri tersebut memberlakukan pembatasan terhadap iklan rokok. Kebijakan itulah yang kemudian mendorong pabrik-pabrik rokok di negara-negara Barat memasarkan produknya ke negara-negara dunia ketiga.
Diakses Anak-anak
Propaganda dan iklan rokok selalu dikemas menarik. Secara global, industri tembakau seluruh dunia mengeluarkan lebih dari US$ 8 miliar setiap tahun untuk iklan dan pemberian sponsor sebagai ajang utama promosi. Kegiatan promosi melalui kegiatan remaja mereka percaya secara tidak langsung dapat mendorong kaum muda untuk bereksperimen dengan tembakau dan coba merokok. ‘’Remaja hari ini adalah calon pelanggan tetap hari esok,” tulis sebuah produsen rokok internasional seperti dikutip jurnal WHO.
Sebetulnya, Peraturan Pemerintah (PP) No 19/2003 sudah melarang pembagian produk contoh secara gratis. Namun fakta di lapangan, pembagian kupon diskon dan penjualan rokok batangan sering terjadi. Fakta tercecer ini memperbesar akses remaja dan anak terhadap rokok. Apalagi hingga kini tidak sedikit media cetak atau elektronik yang masih enggan promosikan pesan-pesan pengendalian tembakau karena khawatir kehilangan pendapatan dari iklan rokok. Potret ini terkategori sebagai upaya menciptakan ketidakseimbangan pemberian nformasi akurat bagi konsumen.
Permasalahan menjadi kian mengkhawatirkan kala barang ini dari tahun ke tahun semakin mudah diakses anak-anak. Survei yang dilakukan Universitas Padjadjaran (1978) melaporkan, usia pertama kali merokok pada anak adalah 12 tahun. Sekitar 11 tahun kemudian, penelitian Universitas Airlangga (1989) melaporkan fakta baru bahwa angka 12 itu sudah bergerak ke angka 8 tahun. Yang terbaru, penelitian yang dilakukan bersama antara Universitas Andalas, Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Universitas Padjajaran, usia anak pertama kali merokok telah menyentuh angka 7 tahun.
Di Indonesia, perusahaan rokok besar sedang in berlomba-lomba memberikan sponsor pada kegiatan olahraga, acara remaja dan konser musik. Dalam promosinya, rokok diasosiasikan dengan keberhasilan dan kebahagiaan. Peningkatan drastis konsumsi tembakau para remaja terjadi pada tahun 2001 mencapai 24,2% dari semula 13,7% pada 1995. Persentase peningkatan itu terjadi pada remaja laki-laki 15-19 tahun yang kemudian menjadi perokok tetap.
Jika kita sadari bahaya rokok seperti dilansir Badan Proteksi Lingkungan (EPA) Amerika Serikat yang memastikan bahwa asap rokok memuat 4.000 senyawa kimia, --200 toksik (beracun), 43 pemicu kanker, dan secara global, konsumsi rokok membunuh satu orang setiap 10 detik. Menurut catatan WHO, pada tahun 2020 penyakit yang berkaitan dengan rokok akan menjadi masalah kesehatan utama di sejumlah negara. Dan, bahkan kebiasaan merokok dianggap menjadi entry point pada penyalahgunaan narkotik.
Kurikulum Sekolah
Yang harus diperhatikan adalah para perokok pasif, --orang yang tidak merokok tapi tercemar asap rokok. Pencemaran terjadi dalam rumah, ruangan kantor, kendaraan dan tempat umum. Sebuah survei membuktikan, lebih dari 90% perokok aktif mengaku merokok di dalam rumah saat bersama anggota keluarga. Artinya, sekitar 70% penduduk Indonesia berumur 0-14 tahun sudah terpapar asap rokok sejak lahir (perokok pasif). Ini menunjukkan betapa besarnya prevalensi perokok pasif dengan akibat yang lebih parah.
Untuk itu, berbagai langkah perlu segera dilakukan pemerintah, baik upaya penanganan terhadap zona perokok aktif maupun pasif. Pertama, membuat dan memasukkan materi bahaya merokok pada kurikulum di sekolah dasar dan menengah, sekolah kedokteran atau sekolah paramedis. Kedua, membuat kegiatan yang mendukung anti rokok dan bahaya merokok pada usia sekolah. Ketiga, membangkitkan kesadaran tentang bahaya merokok, kecanduan rokok, dampak sosial ekonomi akibat rokok pada publik (terutama anak-anak dan remaja). Keempat, melakukan counter marketing guna mengurangi atau meniadakan keterlibatan industri rokok, terutama pada usia anak dan remaja.
Ketentuan publik tentang larangan merokok bagi anak perlu segera disusun, minimal memasukkan substansi larangan anak merokok dalam rencana aturan. Hingga kini, aturan spesifik melarang anak merokok dan membeli rokok serta sanksi bagi pihak penjual atau pemberi rokok pada anak belum ada. Masyarakat Indonesia melalui para wakil rakyatnya (DPR dan DPRD), memang sudah sering memiliki berbagai gonta-ganti peraturan perundangan tentang perlindungan anak, tapi tidak ada satu ketentuan pun yang secara tersirat apalagi spesifik yang menyebutkan tentang larangan anak merokok.
Berikut sejumlah langkah preventif untuk menolong perokok pasif. Pertama, pengenalan dan pemberlakukan daerah bebas rokok di berbagai tempat. Kedua, pemberlakukan daerah dilarang merokok di institusi sekolah dan institusi kesehatan. Ketiga, melakukan pendidikan pada publik tentang bahaya perokok pasif. Keempat, yang juga perlu adalah larangan iklan rokok pada media elektronik maupun non elektronik baik secara langsung atau tidak langsung; membatasi promosi dan penguatan merek atau sponsor pada kegiatan olah raga maupun kegiatan publik lain, baik yang bersifat lokal, nasional maupun internasional.
*) Pemerhati Pendidikan, tinggal di Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

Statistik pengunjung