Awalnya Kerja Serabutan, Lalu Belajar Mandiri
Oleh: Didik Purwanto & Heni Kurniawati
Tak tahu kapan sejarah awalnya, namun sekitar 30 tahun lalu, pinggiran Tukad Badung yang terletak di Banjar Jematang Pekambingan, Denpasar menjadi sasaran kaum pendatang asal Jawa, terutama yang tidak memiliki sanak keluarga sebelumnya. Mereka membangun rumah sederhana dari triplek atau bahan ala kadarnya sekadar untuk melindungi dari panas, hujan dan dinginnya malam. Rata-rata pendatang berasal dari Jember, Banyuwangi, Blitar dan Madura dengan pekerjaan sebagai pemulung, tukang pasang keramik, bor, penjual bakso dan mie. “Pekerjaan apapun dilakoni asal halal,” ungkap Haji Imam yang didaulat menjadi kepala kampung.
Pekerjaan yang serabutan terpaksa diambil karena masyarakat sama sekali tidak memiliki ketrampilan apalagi pendidikan yang memadai. Dari hasil pekerjaannya sehari, rata-rata mereka mendapatkan upah minimal Rp 20.000. “Mula-mula mereka ikut orang, selanjutnya mereka juga berusaha sendiri,” tambah bapak tiga anak ini.
Fatur Rohman (25), pemuda asal Gerung, Lombok Barat, salah satu perantau migran, yang menjejak kaki di Pulau Dewata dengan satu tekad; hidup mandiri dan kelak dapat membantu ekonomi keluarga. Lulusan SMA 1 Lombok mulai merasakan ‘kejamnya ibu tiri lebih kejam ibukota’. Tahun 2003, ia mulai mencari pekerjaan di Denpasar meski tanpa ketrampilan khusus. “Saya berharap dapat pekerjaan dengan gaji yang cukuplah untuk hidup dan memberi orangtua,” tuturnya.
Bekerja di sebuah perusahaan fotokopi di kawasan Panjer, Fatur menerima upah bulanan cukup kecil, Rp 300 ribu. Penghasilan yang diperolehnya tidak cukup bayar kos dan makan minum. Fatur memilih kerja sanbilan sebagai loper koran pada pagi hari sebelum berangkat kerja. Jalan hidup Fatur berubah ketika ia bertemu dengan seseorang yang mengajaknya bekerja di bengkel mesin di Ungasan, Kuta Selatan. Setelah satu setengah tahun berkecimpung di bengkel, Fatur mulai belajar tekun, sabar dan giat jadi montir. Kini Fatur sedikit tenang. Meski hidupnya masih pas-pasan, tapi ia sudah bisa mengirim uang untuk orangtua beberapa kali dalam setahun.
Rohmawati, wanita asal
Upah yang didapat hanya cukup untuk membayar sewa kos Rp 100 ribu. Rumah kos yang tidak bercat pun jadi pilihannya, berdinding bata dan papan tripleks menghiasi ruang yang berukuran kecil tersebut. Di kamar yang sempit itu, ia tinggal bersama dua anaknya yang masih kecil dan suaminya yang bekerja sebagai kuli bangunan. ”Penghasilan saya hanya cukup untuk sewa tempat ini. Biar kecil asal bisa buat istirahat dan berteduh sudah cukup bagi saya. Memang begini keadaannya mau gimana lagi. Untuk sewa kontrakan yang lebih luas tidak kuat bayar,” ungkapnya polos.
Sabtu
Kisah Perantuan Asal Jawa-Lombok (SUB)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar