Sabtu

Komunitas Gelandangan Jembatan Merah

Sudah Ada Empat Generasi

OLEH: WURI WIGUNANINGSIH

Kota Surabaya, salah satu kota industri di Indonesia yang maju pesat. Sebagai pusat perekonomian, Kota Pahlawan menjadi bidikan kaum urban untuk mengadu nasib. Di kota ini pula masih terawat situs-situs bersejarah mulai dari Tugu Pahlawan, Hotel Majapahit sampai Jembatan Merah. Namun, ada yang unik dari Jembatan Merah. Selain menjadi saksi sejarah perjuangan arek-arek Surabaya melawan penjajah, tempat tersebut kini dihuni kaum gelandangan. Mereka dikenal dengan nama komunitas gelandangan Jembatan Merah.
Komunitas kaum urban yang berasal dari daerah sekitar Surabaya ini sudah ada sejak jaman Belanda. Bahkan kehidupan mereka pernah difilmkan. Hingga sekarang komunitas ini masih eksis, meskipun berbagai upaya ‘penertiban’ telah dilakukan pemerintah daerah. Tercatat pula beberapa LSM giat berupaya memperbaiki masa depan mereka. Tapi kenyataannya, komunitas gelandangan ini tidak pernah hilang.
Bila menjelang sore hari, komunitas yang umumnya berprofesi sebagai pengemis, pemulung atau mencari sisa-sisa makanan di pasar ini akan berkumpul di sekitar Jembatan Merah. Awalnya mereka hanya beristirahat sambil tidur-tiduran. Ketika hari mulai malam, kardus-kardus mulai

mereka dirikan untuk melindungi diri dari angin malam yang dingin. Di Jembatan Merah inilah mereka beranak-pinak. Jumlah pastinya tidak ada yang tahu. Karena setiap hari ada yang datang dan pergi. Jika matahari pagi sudah mulai muncul di ufuk timur, mulailah mereka membokar kardus-kardus dan menyusunnya rapi di pinggir-pinggir gedung
atau di tempat-tempat yang agak tersembunyi. Mereka harus meninggalkan peraduan mereka, karena dari pagi sampai sore, lokasi tersebut dijadikan lahan parkir. Maklum saja, daerah tersebut adalah kawasan perkantoran.
Aktifitas sehari-hari kembali dijalani oleh komunitas gelandangan Jembatan Merah ini. Bahkan menurut keterangan beberapa anggota komunitas ini, ada yang hidup sudah empat generasi tetap tinggal di tempat tersebut. Seperti halnya gelandangan pada umumnya, mereka buta huruf dan tidak pernah mengenyam bangku pendidikan sama sekali.
Pemerintah daerah pernah membuat program untuk perbaikan taraf hidup mereka. Mereka dikumpulkan lalu diberi keterampilan agar kelak dapat hidup mandiri. Mereka juga diberikan rumah Perumnas yang letaknya jauh dari pusat kota. Awalnya program tersebut berjalan rapi. Jembatan mereka sempat terlihat ‘bersih’, tapi tidak bertahan lama. Para gelandangan lama kelamaan merasa tak betah di rumah barunya, mereka akhirnya memiliki kembali ke ‘kampung halaman tercinta’ sekitar daerah Jembatan Merah tersebut. Alasan mereka sangat klasik. Mata pencaharian dan sumber rejeki mereka ada di sekitar Jembatan Merah. Mereka tidak mungkin akan meninggalkan daerah yang memberi kehidupan kepada mereka.

Tidak ada komentar:

Statistik pengunjung