WACANA
Oleh: Choirul Mahfud*
Ada arus perubahan bergulir di lingkup pendidikan nasional. Mulai tahun pelajaran 2006/2007, Depdiknas meluncurkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) atau akrab disebut Kurikulum 2006. KTSP memberi keleluasaan penuh setiap sekolah mengembangkan kurikulum dengan tetap memperhatikan potensi sekolah dan potensi daerah sekitar.
Sebelum KTSP diluncurkan, Depdiknas mengumpulkan sejumlah sekolah negeri yang dinilai unggulan di Malang, Jawa Timur, untuk diberi penataran. Lembaga sekolah tersebut diminta menularkan ilmunya di daerah asalnya. Dengan sistem getok tular sederhana ini, misi dan visi Depdiknas mudah sampai ke akar rumput.
Pertanyaan mendasar, apakah KTSP akan dimanfaatkan semaksimal mungkin sekolah untuk meningkatkan potensi yang dimiliki? Perlu diingat, KTSP tidak berjalan maksimal jika para pejabat Depdiknas tidak berubah lebih dahulu. Tanpa semangat perubahan makna KTSP bak macan ompong.
Tafsir Konstruktif
Gonta-ganti kurikulum di negeri ini seiring perubahan angin politik (baca: pergantian menteri). Kurikulum yang pernah berlaku selama ini adalah Kurikulum 1968, Kurikulum 1975, Kurikulum 1984, Kurikulum 1994, Kurikulum 2004, dan mulai tahun ajaran 2006/2007 diberlakukan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Kebijakan ini berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 23/2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, dan Peraturan Menteri No. 22/2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah.
Pada tahun 2010 seluruh sekolah harus sudah melaksanakan KTSP. Pelaksanaan KTSP secara penuh diharapkan mulai tahun ajaran 2007. Permendiknas KTSP ditandatangani pada 23 Mei 2006 dan berlaku bagi sekolah standar nasional maupun sekolah nasional berstandar internasional. Perlu ditegaskan bahwa standar pendidikan tidak sama dengan kurikulum. Standar nasional itu meliputi delapan hal, yaitu standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan. Kini masing-masing sekolah bisa membuat silabus, kurikulum, dan indikator-indikatornya sendiri, bahkan kepala dinas tidak boleh ikut campur dalam pengembangan KTSP sekolah.
Hemat penulis, niat pemerintah lewat BSNP memang luhur dan cerdas, namun berdasarkan kenyataan di lapangan, tidaklah mudah untuk memberdayakan para guru lewat KTSP ini. Ada anggapan bahwa apa pun kurikulumnya, selama guru, sekolah, dan pengembang kurikulumnya berpikiran tradisional, kurikulum itu tidak akan berdampak besar. Pengembang kurikulum menggonggong, guru-guru berlalu dengan kulturnya.
Menurut Chaedar Alwasilah bahwa aliran konstruktif menawarkan solusi untuk menyulap suasana belajar secara 'berani' dan mendobrak kejumudan kurikulum lewat tujuh ayat pendidikan sebagai berikut. Pertama, kurikulum disajikan secara utuh, yakni menekankan konsep besar, lalu diikuti konsep-konsep kecil. Artinya, guru berpegang pada tujuan instruksional umum atau TIU, dan tidak terjebak oleh hal-hal kecil, atau keterampilan-keterampilan dasar, atau tujuan instruksional khusus atau TIK. Dalam konteks KTSP, pemahaman guru akan standar kompetensi dan standar isi adalah sebuah niscaya.
Kedua, kegiatan kurikuler mengandalkan sumber-sumber data primer dan juga materi-materi buatan yang bermakna. Alam sekitar adalah data-data primer yang memiliki potensi untuk dibermaknakan. Dengan begitu, buku teks tidak lagi menjadi sumber utama sebagimana terbiasa pada kurikulum tradisional. Jadi wajar, jika KTSP tidak mesyaratkan adanya buku teks baru. Singkatnya, untuk KTSP, bukunya yang ada saja.
Ketiga, siswa diperlakukan sebagai 'pemikir' muda yang belajar merumuskan teorinya sendiri ihwal dunia (baca: materi ajar). Keberanian siswa untuk bertanya dan berdebat adalah indikator keberhasilan belajar. Ini berbeda dengan kelas tradisional yang cenderung menempatkan siswa sebagai 'botol kosong' untuk diisi informasi oleh guru.
Keempat, guru mengajar secara interaktif, yakni antara lain dengan kepandaian menerjemahkan lingkungan sekitar sehingga dapat dipahami siswa. Ini berbeda dari guru tradisional yang cenderung berlagak didaktik dalam menyebarkan informasi kepada siswa.
Kebiasaan guru untuk mengejar target kurikuler sesuai dengan GBPP jelas tidak sejalan dengan prinsip konstruktif, sebab sebuah informasi belum tentu materi ajar yang bermakna (meaningful) dan terajarkan (teachable).
Kelima, guru mencari tahu sudut pandang siswa untuk memahami kadar pengetahuan siswa saat ini untuk dijadikan pijakan bagi pelajaran yang akan datang. Ini berbeda dari kelas tradisional, di mana guru mencari jawaban yang benar untuk memvalidasi pembelajaran siswa. Pembelajaran konstruktivis membangun ketersambungan antara pelajaran sebelumnya dengan pelajaran selanjutnya. Dan ini hanya mungkin jika guru mengetahui sudut pandang siswa.
Keenam, siswa bekerja dalam kelompok. Ini berbeda dari kelas-kelas tradisional di mana siswa belajar secara mandiri. Justru dalam kelompoklah mereka bersosialisasi dan berkolaborasi, sehingga secara kolektif memperoleh pencerahan lewat social reconstructivism. Bila siswa bekerja dalam kelompok-kelompok kecil, guru dan pengembang kurikulum pun berkolaborasi dengan para pemangku peran dalam merumuskan KTSP. Jadi, siswa, guru, bahkan manajemen sekolah mengamalkan ajaran social reconstructivism.
Ketujuh, penilaian pembelajaran siswa dilakukan secara terintegrasi dalam pengajaran dan dilakukan lewat observasi guru terhadap proses belajar siswa dalam kelompoknya dan dengan mencermati portofolio siswa. Mekanisme ini berbeda dengan pendidikan tradisional yang memisahkan penilaian dari pembelajaran, dan terlembaga secara formal lewat tes. Dengan demikian, keberadaan UN sebagai satu-satunya penentu kelulusan siswa memang tidak relevan dengan semangat konstruktif tersebut.
*) Pemerhati masalah pendidikan nasional, tinggal di Surabaya.
Oleh: Choirul Mahfud*
Ada arus perubahan bergulir di lingkup pendidikan nasional. Mulai tahun pelajaran 2006/2007, Depdiknas meluncurkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) atau akrab disebut Kurikulum 2006. KTSP memberi keleluasaan penuh setiap sekolah mengembangkan kurikulum dengan tetap memperhatikan potensi sekolah dan potensi daerah sekitar.
Sebelum KTSP diluncurkan, Depdiknas mengumpulkan sejumlah sekolah negeri yang dinilai unggulan di Malang, Jawa Timur, untuk diberi penataran. Lembaga sekolah tersebut diminta menularkan ilmunya di daerah asalnya. Dengan sistem getok tular sederhana ini, misi dan visi Depdiknas mudah sampai ke akar rumput.
Pertanyaan mendasar, apakah KTSP akan dimanfaatkan semaksimal mungkin sekolah untuk meningkatkan potensi yang dimiliki? Perlu diingat, KTSP tidak berjalan maksimal jika para pejabat Depdiknas tidak berubah lebih dahulu. Tanpa semangat perubahan makna KTSP bak macan ompong.
Tafsir Konstruktif
Gonta-ganti kurikulum di negeri ini seiring perubahan angin politik (baca: pergantian menteri). Kurikulum yang pernah berlaku selama ini adalah Kurikulum 1968, Kurikulum 1975, Kurikulum 1984, Kurikulum 1994, Kurikulum 2004, dan mulai tahun ajaran 2006/2007 diberlakukan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Kebijakan ini berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 23/2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, dan Peraturan Menteri No. 22/2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah.
Pada tahun 2010 seluruh sekolah harus sudah melaksanakan KTSP. Pelaksanaan KTSP secara penuh diharapkan mulai tahun ajaran 2007. Permendiknas KTSP ditandatangani pada 23 Mei 2006 dan berlaku bagi sekolah standar nasional maupun sekolah nasional berstandar internasional. Perlu ditegaskan bahwa standar pendidikan tidak sama dengan kurikulum. Standar nasional itu meliputi delapan hal, yaitu standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan. Kini masing-masing sekolah bisa membuat silabus, kurikulum, dan indikator-indikatornya sendiri, bahkan kepala dinas tidak boleh ikut campur dalam pengembangan KTSP sekolah.
Hemat penulis, niat pemerintah lewat BSNP memang luhur dan cerdas, namun berdasarkan kenyataan di lapangan, tidaklah mudah untuk memberdayakan para guru lewat KTSP ini. Ada anggapan bahwa apa pun kurikulumnya, selama guru, sekolah, dan pengembang kurikulumnya berpikiran tradisional, kurikulum itu tidak akan berdampak besar. Pengembang kurikulum menggonggong, guru-guru berlalu dengan kulturnya.
Menurut Chaedar Alwasilah bahwa aliran konstruktif menawarkan solusi untuk menyulap suasana belajar secara 'berani' dan mendobrak kejumudan kurikulum lewat tujuh ayat pendidikan sebagai berikut. Pertama, kurikulum disajikan secara utuh, yakni menekankan konsep besar, lalu diikuti konsep-konsep kecil. Artinya, guru berpegang pada tujuan instruksional umum atau TIU, dan tidak terjebak oleh hal-hal kecil, atau keterampilan-keterampilan dasar, atau tujuan instruksional khusus atau TIK. Dalam konteks KTSP, pemahaman guru akan standar kompetensi dan standar isi adalah sebuah niscaya.
Kedua, kegiatan kurikuler mengandalkan sumber-sumber data primer dan juga materi-materi buatan yang bermakna. Alam sekitar adalah data-data primer yang memiliki potensi untuk dibermaknakan. Dengan begitu, buku teks tidak lagi menjadi sumber utama sebagimana terbiasa pada kurikulum tradisional. Jadi wajar, jika KTSP tidak mesyaratkan adanya buku teks baru. Singkatnya, untuk KTSP, bukunya yang ada saja.
Ketiga, siswa diperlakukan sebagai 'pemikir' muda yang belajar merumuskan teorinya sendiri ihwal dunia (baca: materi ajar). Keberanian siswa untuk bertanya dan berdebat adalah indikator keberhasilan belajar. Ini berbeda dengan kelas tradisional yang cenderung menempatkan siswa sebagai 'botol kosong' untuk diisi informasi oleh guru.
Keempat, guru mengajar secara interaktif, yakni antara lain dengan kepandaian menerjemahkan lingkungan sekitar sehingga dapat dipahami siswa. Ini berbeda dari guru tradisional yang cenderung berlagak didaktik dalam menyebarkan informasi kepada siswa.
Kebiasaan guru untuk mengejar target kurikuler sesuai dengan GBPP jelas tidak sejalan dengan prinsip konstruktif, sebab sebuah informasi belum tentu materi ajar yang bermakna (meaningful) dan terajarkan (teachable).
Kelima, guru mencari tahu sudut pandang siswa untuk memahami kadar pengetahuan siswa saat ini untuk dijadikan pijakan bagi pelajaran yang akan datang. Ini berbeda dari kelas tradisional, di mana guru mencari jawaban yang benar untuk memvalidasi pembelajaran siswa. Pembelajaran konstruktivis membangun ketersambungan antara pelajaran sebelumnya dengan pelajaran selanjutnya. Dan ini hanya mungkin jika guru mengetahui sudut pandang siswa.
Keenam, siswa bekerja dalam kelompok. Ini berbeda dari kelas-kelas tradisional di mana siswa belajar secara mandiri. Justru dalam kelompoklah mereka bersosialisasi dan berkolaborasi, sehingga secara kolektif memperoleh pencerahan lewat social reconstructivism. Bila siswa bekerja dalam kelompok-kelompok kecil, guru dan pengembang kurikulum pun berkolaborasi dengan para pemangku peran dalam merumuskan KTSP. Jadi, siswa, guru, bahkan manajemen sekolah mengamalkan ajaran social reconstructivism.
Ketujuh, penilaian pembelajaran siswa dilakukan secara terintegrasi dalam pengajaran dan dilakukan lewat observasi guru terhadap proses belajar siswa dalam kelompoknya dan dengan mencermati portofolio siswa. Mekanisme ini berbeda dengan pendidikan tradisional yang memisahkan penilaian dari pembelajaran, dan terlembaga secara formal lewat tes. Dengan demikian, keberadaan UN sebagai satu-satunya penentu kelulusan siswa memang tidak relevan dengan semangat konstruktif tersebut.
*) Pemerhati masalah pendidikan nasional, tinggal di Surabaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar