Oleh: Fitriana Utami Dewi*
Raden Ajeng Kartini wafat pada 17 September 1904 dalam usia teramat muda 25 tahun, empat hari setelah dia melahirkan putra pertama sekaligus terakhir yang diberi nama R. M. Soesalit.
Kini, setelah 102 tahun, apa yang diperjuangkan Kartini yaitu kondisi kaumnya yang lebih baik, dalam beberapa hal belum tercapai. Hal itu antara lain tecermin dari masih tingginya angka kematian ibu saat melahirkan dan belum terpenuhinya hak-hak atas kesehatan reproduksi perempuan.
Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari mengatakan, angka kematian ibu sepanjang tahun lalu mencapai 291 jiwa tiap 100.000 kelahiran hidup. Itu berarti, setiap jam terjadi dua kematian ibu! Sebagian besar terjadi akibat perdarahan pada persalinan yang tidak dibantu tenaga kompeten.
Data yang dimiliki Provinsi Jawa Barat jauh lebih mencengangkan. Kasubdin Pelayanan Kesehatan Dinkes Jabar dr. Fita Rosemary mengatakan, angka kematian ibu di Jabar melampaui angka nasional yakni 321 jiwa tiap 100.000 kelahiran hidup. Tingginya angka kematian juga terjadi karena 70% persalinan masih ditolong oleh tenaga yang tidak kompeten.
Kematian ibu didefinisikan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebagai "kematian selama masa kehamilan atau dalam 42 hari setelah persalinan, terlepas dari lama dan letak kehamilan dari setiap penyebab yang berhubungan dengan atau diperburuk oleh kehamilan atau penanganannya, tetapi bukan karena kecelakaan".
Berdasarkan catatan WHO tahun 1999, sekira 80% kematian ibu akibat meningkatnya komplikasi selama kehamilan, persalinan, dan setelah melahirkan. Sisanya 20%, secara tak langsung disebabkan oleh anemia, malaria, hepatitis, sakit jantung, dan diabetes.
Sebagian besar kematian ibu sebenarnya dapat dicegah jika mereka memperoleh pertolongan dokter, bidan, atau perawat. Sayangnya, mereka terlambat mendapatkan pertolongan karena tidak mengenali tanda-tanda komplikasi yang mengancam jiwa, lambat mengambil keputusan mencari pertolongan, sangat jauh untuk mendapatkan perawatan yang memadai, dan pelayanan kesehatan di bawah standar.
Banyak faktor, baik politis maupun teknis, yang membuat teknologi kesehatan kurang dapat diterapkan mulus di tingkat masyarakat. Kemiskinan dan rendahnya status sosial ekonomi perempuan, ikuti andil dalam kondisi tersebut. Begitu juga keterbatasan kesempatan memperoleh informasi dan pengetahuan baru.
Pengguguran kandungan juga memiliki andil besar terhadap tingginya kasus kematian ibu. Saat ini, kasus aborsi di Indonesia masih cukup tinggi, mencapai 2,6 juta per tahun. Setengahnya merupakan kasus aborsi spontan, sementara sisanya adalah aborsi disengaja.
Guru Besar Universitas Parahyangan, Prof. Dr. Willa Chandrawilla mengatakan, aturan hukum soal pengguguran kandungan sampai saat ini belum berubah. UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mengatur bahwa tindakan pengguguran kandungan sebagai kejahatan.
Sementara itu, amendemen UU Kesehatan Nomor 23 Tahun 1992 yang antara lain dapat melegalkan pengguguran kandungan sangat sulit dilakukan. “Lagi pula, legalisasi pengguguran kandungan bertentangan dengan moral dan agama. Jadi, saya lebih condong pada tindakan preventif,” ujarnya.
Tindakan preventif yang dimaksud adalah kemudahan akses dan pelayanan kontrasepsi secara gratis. Pemerintah melalui BKKBN juga disarankannya untuk tidak terlalu birokratis dalam memberikan kontrasepsi.
Willa berkeyakinan bahwa R.A. Kartini ingin kaumnya pintar, dalam arti mengetahui segala hal. Termasuk dalam mendidik anak-anaknya agar tidak terjebak dalam prilaku seks bebas dan abortus.
Minimnya informasi atas hak reproduksi membuat tak sedikit perempuan remaja maupun dewasa yang melakukan berbagai tindakan yang mengancam jiwanya. Upaya peluruhan kandungan secara tradisional hingga ketidaktahuan atas penggunaan kontrasepsi, pada akhirnya membuat perempuan menjadi korban.
Soal penggunaan kontrasepsi pun sebenarnya merupakan wujud kesetaraan yang diinginkan Kartini yang belum terwujud. Egoisme kaum laki-laki yang enggan menggunakan kondom, terutama pada hubungan berisiko, tak jarang menjadikan perempuan sebagai korban.
Begitu juga soal kehamilan. Jika sang penanam benih tak menginginkan kehamilan, tak sedikit perempuan yang datang pada dukun pijat sampai akhirnya meregang nyawa. Inilah kondisi riil yang kita alami saat ini. Ironisnya, apa yang dialami pejuang hak-hak perempuan itu semasa hidupnya 102 tahun lalu, masih terjadi hingga saat ini.
*) Pemerhati gender, tinggal di Surabaya
Raden Ajeng Kartini wafat pada 17 September 1904 dalam usia teramat muda 25 tahun, empat hari setelah dia melahirkan putra pertama sekaligus terakhir yang diberi nama R. M. Soesalit.
Kini, setelah 102 tahun, apa yang diperjuangkan Kartini yaitu kondisi kaumnya yang lebih baik, dalam beberapa hal belum tercapai. Hal itu antara lain tecermin dari masih tingginya angka kematian ibu saat melahirkan dan belum terpenuhinya hak-hak atas kesehatan reproduksi perempuan.
Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari mengatakan, angka kematian ibu sepanjang tahun lalu mencapai 291 jiwa tiap 100.000 kelahiran hidup. Itu berarti, setiap jam terjadi dua kematian ibu! Sebagian besar terjadi akibat perdarahan pada persalinan yang tidak dibantu tenaga kompeten.
Data yang dimiliki Provinsi Jawa Barat jauh lebih mencengangkan. Kasubdin Pelayanan Kesehatan Dinkes Jabar dr. Fita Rosemary mengatakan, angka kematian ibu di Jabar melampaui angka nasional yakni 321 jiwa tiap 100.000 kelahiran hidup. Tingginya angka kematian juga terjadi karena 70% persalinan masih ditolong oleh tenaga yang tidak kompeten.
Kematian ibu didefinisikan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebagai "kematian selama masa kehamilan atau dalam 42 hari setelah persalinan, terlepas dari lama dan letak kehamilan dari setiap penyebab yang berhubungan dengan atau diperburuk oleh kehamilan atau penanganannya, tetapi bukan karena kecelakaan".
Berdasarkan catatan WHO tahun 1999, sekira 80% kematian ibu akibat meningkatnya komplikasi selama kehamilan, persalinan, dan setelah melahirkan. Sisanya 20%, secara tak langsung disebabkan oleh anemia, malaria, hepatitis, sakit jantung, dan diabetes.
Sebagian besar kematian ibu sebenarnya dapat dicegah jika mereka memperoleh pertolongan dokter, bidan, atau perawat. Sayangnya, mereka terlambat mendapatkan pertolongan karena tidak mengenali tanda-tanda komplikasi yang mengancam jiwa, lambat mengambil keputusan mencari pertolongan, sangat jauh untuk mendapatkan perawatan yang memadai, dan pelayanan kesehatan di bawah standar.
Banyak faktor, baik politis maupun teknis, yang membuat teknologi kesehatan kurang dapat diterapkan mulus di tingkat masyarakat. Kemiskinan dan rendahnya status sosial ekonomi perempuan, ikuti andil dalam kondisi tersebut. Begitu juga keterbatasan kesempatan memperoleh informasi dan pengetahuan baru.
Pengguguran kandungan juga memiliki andil besar terhadap tingginya kasus kematian ibu. Saat ini, kasus aborsi di Indonesia masih cukup tinggi, mencapai 2,6 juta per tahun. Setengahnya merupakan kasus aborsi spontan, sementara sisanya adalah aborsi disengaja.
Guru Besar Universitas Parahyangan, Prof. Dr. Willa Chandrawilla mengatakan, aturan hukum soal pengguguran kandungan sampai saat ini belum berubah. UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mengatur bahwa tindakan pengguguran kandungan sebagai kejahatan.
Sementara itu, amendemen UU Kesehatan Nomor 23 Tahun 1992 yang antara lain dapat melegalkan pengguguran kandungan sangat sulit dilakukan. “Lagi pula, legalisasi pengguguran kandungan bertentangan dengan moral dan agama. Jadi, saya lebih condong pada tindakan preventif,” ujarnya.
Tindakan preventif yang dimaksud adalah kemudahan akses dan pelayanan kontrasepsi secara gratis. Pemerintah melalui BKKBN juga disarankannya untuk tidak terlalu birokratis dalam memberikan kontrasepsi.
Willa berkeyakinan bahwa R.A. Kartini ingin kaumnya pintar, dalam arti mengetahui segala hal. Termasuk dalam mendidik anak-anaknya agar tidak terjebak dalam prilaku seks bebas dan abortus.
Minimnya informasi atas hak reproduksi membuat tak sedikit perempuan remaja maupun dewasa yang melakukan berbagai tindakan yang mengancam jiwanya. Upaya peluruhan kandungan secara tradisional hingga ketidaktahuan atas penggunaan kontrasepsi, pada akhirnya membuat perempuan menjadi korban.
Soal penggunaan kontrasepsi pun sebenarnya merupakan wujud kesetaraan yang diinginkan Kartini yang belum terwujud. Egoisme kaum laki-laki yang enggan menggunakan kondom, terutama pada hubungan berisiko, tak jarang menjadikan perempuan sebagai korban.
Begitu juga soal kehamilan. Jika sang penanam benih tak menginginkan kehamilan, tak sedikit perempuan yang datang pada dukun pijat sampai akhirnya meregang nyawa. Inilah kondisi riil yang kita alami saat ini. Ironisnya, apa yang dialami pejuang hak-hak perempuan itu semasa hidupnya 102 tahun lalu, masih terjadi hingga saat ini.
*) Pemerhati gender, tinggal di Surabaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar