Senin

Mengamalkan Semangat Kartini

OLEH: Ken Ratih Indri Hapsari*

“Orang-orang Belanda itu menertawakan dan mengejek kebodohan kami, tapi kalau kami mencoba maju, tetapi kemudian mereka bersikap menantang terhadap kami”.
(Surat Kartini, 12 Januari 1990).

Kartini adalah manusia besar, perempuan besar dan agung, dalam sejarah negeri ini. Hari Kartini pada tanggal 21 April memang layak diperingati. Ia menjadi manusia yang dalam pikirannya menjumpai kontradiksi yang kemudian melahirkan pemikiran baru yang mendobrak kebuntuan cara berpikir dan pola tingkah-laku orang-orang di jamannya, terutama kaum perempuan yang harus menuruti pakem feodalisme kejawaan. Pakem lama yang didobrak itu menempatkan kaum perempuan sebagai “konco wingking”, second sex, ataupun kaum yang selalu terpinggir dan tersingkir.
Tersingkir dan berpikir adalah pakem historis dalam teori dialektika Karl Marx bahwa ketertindasan akan melahirkan perlawanan. Kesepian karena disingkirkan akan membuat orang secara maksimal menggunakan pikiran dan perasaannya untuk merespon dunia yang tidak diinginkan karena mengasingkan. Kartini menuliskan apa yang dipikirkan dan mengirimkan karya-karyanya kepada sahabat-sahabatnya terutama yang ada di Belanda. Karya-karya pikir yang bernuansa ideologis dan sastrawi tersebut, dalam buku “Habis Gelap Terbitlah Terang”, kelak akan memberikan amunisi bagi perjuangan melawan ketidakadilan gender dan perjuangan melawan penindasan antara manusia satu terhadap manusia lain (exploitation d’ll home par’ll home).
Setiap penguasa tidak menginginkan yang dikuasai mengungkit-ungkit hubungan kekuasaan. Mereka menginginkan yang dikuasai bodoh dan dapat dibodohi. Feodalisme Jawa yang berlangsung berabad-abad adalah tatanan yang menempatkan perempuan sebagai pelayan lelaki, tidak punya partisipasi aktif dan luas dalam kehidupan. Di manapun feodalisme identik dengan kekuasaan ekonomi-politik yang menganggap laki-laki lebih kuat dari pada perempuan.
Feodalisme benar-benar berdiri di atas fondasi kebodohan. Kartini pernah mengutip ucapan seorang pembesar pribumi yang seakan menjadi semboyan hidup para penguasa Jawa: “Pertahankan kebodohan khalayak ramai, orangpun akan tetap berkuasa atas mereka” (surat Kartini, Januari 1903).
Hari Kartini tidak boleh menjadi ajang atau seremoni yang justru memundurkan cara pandang dan tindakan kaum perempuan. Peringatan Kartini tidak boleh hanya dijadikan ajang untuk mengembalikan perempuan ke semangat feodalisme. Hakekat perjuangan Kartini adalah kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, bahkan kesetaraan antara sesama manusia.
Sangat disayangkan jika Hari Kartini hanya digunakan untuk ajang kompetisi feminitas dengan cara saling mengenakan kebaya, dandanan daerah (Jawa), atau bahkan kembali ke semangat perempuan sebagai kaum yang hanya berperan dalam ranah domestik. “(Ibu kita) Kartini” sebagai “putri sejati” dan “putri Indonesia” yang “harum namanya” adalah perempuan yang tidak ingin perempuan dipingit atau dipenjarakan dalam ranah domestik yang menghalang-halangi dirinya berpartisipasi dalam ranah publik secara luas sama dengan kaum laki-laki.
Makna partisipasi di luar rumah tangga harus diartikan secara benar. Sekarang ini masih saja anggapan bahwa membiarkan perempuan berperan di luar rumah yang dianggap mengabaikan peran merawat rumah tangga (rumah, suami, anak) adalah suatu kejahatan atau “dosa”. Penafsiran keagamaan yang fasistik memberi stigma negatif dan stereotip jahat bagi perempuan yang berpikir dan bertindak bebas dan membebaskan.
Sedangkan peran perempuan di ranah publik sendiri memang belum mencapai tingkat kesejatian kemanusiannya. Telah banyak perempuan ke luar dari rumah tetapi masih merelakan diri dimanfaatkan oleh kepentingan kekuasaan modal atau berposisi dan berperan dalam melanggengkan tatanan kapitalisme yang nyata-nyata meminggirkan perempuan dan rakyat secara umum, baik kaum perempuan tersebut sadar atau tidak.
Perempuan Indonesia dan perempuan di masyarakat lain memang telah lepas dari penjajahan feodalisme. Kalau dulu mereka harus melayani laki-laki dan bahkan dijadikan sesembahan (korban) agar tatanan dapat berjalan untuk melanggengkan kekuasaan, kini kaum perempuan juga belum terbebaskan sepenuhnya. Lihatlah mayoritar rakyat Indonesia yang sebagian besar adalah kaum perempuan. Sebagian besar mereka tidak menikmati posisi di publik kecuali hanya merawat anak dan melayani suami (bertanggungjawab pada rumah tangga) tetapi juga tidak jarang mendapatkan perlakuan buruk (kekerasan seksual, disakiti karena suami selingkuh atau poligami, dll). Sebagian kecil dari perempuan tersebut juga berperan di sektor produktif tetapi juga masih berada dalam hubungan eksploitasi yang berlebihan.
Eksploitasi tersebut berada pada dua aras utama. Pertama, peempuan Indonesia menjadi buruh (tenaga kerja) yang murah sehingga kapitalis (pemodal) dapat mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya. Hak-hak buruh perempuan tidak diberikan dan perlindungan terhadap mereka juga lemah. Di daerah-daerah seperti Jember dan Wonosobo, perempuan menjadi buruh di gudang-gudang tembakau dengan tingkat perlakuan yang sangat keji. Selain mendapatkan upah yang terlalu minim, di dalam gudang (tempat kerja) mereka kerapkali menjadi korban kekerasan dan pelecehan seksual.
Kedua, perempuan dijadikan alat untuk mencari keuntungan dengan berpilar pada penciptaan budaya konsumtif. Pemodal akan mendapatkan banyak keuntungan jika barang yang dijualnya laku. Perempuan adalah “benda” yang paling menarik untuk digunakan merayu massa agar membeli. Kapitalisme mutakhir yang tenaga produktifnya lemah tanpa penemuan produk-produk baru hanya bias memodifikasi dan memperbaharui citra produknya. Agar kapitalisme tidak runtuh karena barang tertumpuk di gudang (over-produksi), maka diperlukan kegiatan yang intensif dan massif untuk memperbaharui citra (image) produk atau jasa yang ditawarkan. Promosi adalah kegiatan yang paling mendapatkan tekanan besar dalam kapitalisme mutakhir yang naga-naganya akan hancur tersebut.
Promosi produk dan jasa, terutama melalui iklan, membutukan perempuan-perempuan muda untuk dijadikan sales promotion girls (SPG) atau bintang iklan yang merupakan “profesi” yang lebih dihormati dari pada profesi yang membutuhkan kekuatan pikiran dan mental seperti pengarang, intelektual, aktivis feminis, guru, dan lain-lain.
Tertariknya kaum perempuan yang terjun dalam dunia entertainmen (hiburan) ternyata justru memberikan warna penindasan lain bagi perempuan Indonesia. Kaum perempuan kemudian mendefinisikan kekuatannya berdasarkan logika pasar (modal). Kualitas perempuan hanya diukur berdasarkan kebutuhan pasar. Karena pasar membutuhkan perempuan-perempuan cantik secara fisik dan punya ketrampilan teknis yang mendukung kerja pengorganisiran kaptalistik, maja ideologi kapitalisme telah menyeruak dalam pola pikir perempuan saat mendefinsikan kualitas pribadi (kemanusiaan)-nya.
Tentu saja hanya sedikit sekali perempuan yang telah terseleksi untuk mengabdikan diri dalam dunia enterteinmen, yang kompensasinya adalah kemewahan hidup dan gaya hidup yang sesuai dengan standar pasar. Mayoritas kaum perempuan Indonesia tetaplah berada dalam penjara kemiskinan dan keterpinggiran. Mereka yang miskin ini bukan sekedar membutuhkan bantuan, tetapi juga perlu kekuatan untuk melawan tatanan penindasan karena mereka memang ditindas dan butuh perubahan menuju tatanan yang berkeadilan.
Meskipun demikian, kini ada gejala menarik bahwa kaum perempuan selebritis mulai mengalami kegamangan hidup dan merasakan kontradiksi. Mereka mulai menemukan sentiment-sentimen humanisme karena penindasan terhadap rakyat terlalu parah. Para perempuan yang menyabung hidup dalam dunia enterteinmen juga mulai banyak yang ingin berpartisipasi secara sosial-politik denga lebih luas. Sebagian dari mereka bahkan terjun langsung untuk membela hak-hak rakyat. Nama Rieke Dyah Pitaloka (Oneng) barangkali mewakili kalangan ini, yang selalu tampil di media, seminar, diskusi, bahkan di jalan-jalan untuk meneriakkan pembelaannya terhadap rakyat tertindas. Selain itu juga banyak lagi yang menumpahkan rasa humanismenya dengan cara menulis buku, membuat film-film yang membela perempuan, serta aktifitas-aktifitas lainnya untuk memajukan tuntutan dipenuhinya hak-hak perempuan, anak-anak, dan rakyat di negeri yang kian terpuruk ini.
Mereka yang bersuara untuk membela rakyat miskin dan kaum perempuan inilah—dan bukan mereka yang semata-mata membela kapitalisme secara membabi-buta—yang dapat kita katakan mampu dan mau mewarisi semangat Kartini, perempuan yang memang meletakkan dasar-dasar yang kuat bagi gerakan perempuan Indonesia.
*) Mahasiswi Sosiologi FISIP Universitas Jember; aktivis KiPaS (Komite Independen Perempuan dan Anak untuk Aksi Sosial).

Tidak ada komentar:

Statistik pengunjung