Senin

Logika “Hukum Besi” Konversi Energi

WACANA
OLEH: SULIS STYAWAN*
Sejak harga bahan bakar minyak (BBM) melambung tinggi (mencapai 150 persen) pada tahun 2005 lalu, pemerintah merasa sangat terbebani dengan besarnya anggaran subsidi BBM. Nah, salah satu upaya untuk mengurangi besarnya subsidi BBM yang cenderung meningkat setiap tahun (rata-rata Rp50 triliun), pemerintah mencanangkan program pengalihan (konversi) pemakaian energi dari minyak tanah ke liquified petroleum gas (LPG/gas elpiji).
Dengan program konversi tersebut, anggaran subsidi BBM diharapkan turun, mengingat subsidi untuk elpiji lebih rendah dibanding subsidi minyak tanah. Lebih dari itu, elpiji adalah energi yang bersih dan ramah lingkungan. Dalam implementasi program konversi energi ini, pemerintah membagikan secara gratis paket tabung elpiji 3 kg beserta isinya, kompor, selang, dan regulator.
Melalui program konversi ini, diharapkan dalam 3-4 tahun ke depan, setidaknya 80 persen konsumsi minyak tanah dapat dialihkan ke elpiji. Untuk tahun ini, Pertamina menargetkan sedikitnya 6 juta KK di seluruh Jawa dan Bali bisa menerima paket ini.
Celakanya, dalam implementasinya di lapangan, kebijakan tersebut tidak sepenuhnya bisa berjalan dengan lancar, lebih karena programnya yang memang tidak disusun secara matang, terpola, dan terkoordinasi. Bahkan, hal yang paling urgen terkait pelaksanaan konversi energi tersebut, yakni masalah sosialisasi kepada masyarakat luas, senyatanya terkesan amburadul dan serampangan.
Hingga akhirnya, kebijakan konversi energi bukan saja malah menyulitkan, membingungkan, dan memberatkan masyarakat, namun juga telah “mengorbankan” kultur masyarakat karena notabene masyarakat kita telah terbiasa menggunakan minyak tanah sebagai sumber energi sejak 30 tahun silam.
Penerapan program konversi energi yang tak jelas juntrung-nya ini telah memicu terjadinya berbagai kekisruhan dan kekacauan di tengah masyarakat akibat terjadinya kelangkaan minyak tanah di pasaran. Penyebabnya, demi memuluskan jalannya program konversi, minyak tanah bersubsidi di daerah sasaran konversi ditarik dari pasaran tanpa ada perhitungan. Bisa ditebak, minyak tanah menjadi langka, sementara gas elpiji belum sepenuhnya tersedia. Langkanya minyak tanah, membuat masyarakat mau tak mau harus antre dan atau “berburu” minyak tanah ke pangkalan-pangkalan minyak, bahkan kalau perlu harus keluar daerah untuk memperoleh minyak tanah.
Kita akui, kebijakan pemerintah mengonversi minyak tanah dengan gas memang sangat bagus dan lebih menguntungkan. Selain bisa menghemat anggaran negara, juga bisa menjadi titik awal dalam mengembangkan diversifikasi energi. Namun senyatanya, dua hal tersebut tidak bisa dilihat secara bersamaan untuk diterapkan dalam satu paket kebijakan.
Terlepas dari amburadulnya implementasi program konversi energi yang disebabkan oleh berbagai faktor seperti tersebut di atas, jika kita menyoroti masalah kelangkaan minyak tanah yang terjadi belakangan ini, sepertinya amat sulit untuk menampik kemungkinan dugaan bahwa memang ada unsur “kesengajaan” atau semacam “rekayasa” dari pihak pemerintah dengan menciptakan kelangkaan minyak tanah. Artinya, memang ada upaya dari pemerintah untuk ‘memaksa’ masyarakat agar berhenti mengonsumsi minyak tanah.
Pengurangan jumlah pasokan minyak tanah lebih dari 50 persen di daerah sasaran konversi di saat pembagian tabung elpiji kepada warga belum sepenuhnya selesai, bahkan penarikan pasokan dilakukan jauh hari sebelum program konversi digelar, menjadi bukti paling “sahih” betapa rekayasa dan “kesengajaan” itu memang tengah dilakukan pemerintah.
“Kesuksesan” menciptakan kelangkaan minyak tanah di pasaran, menurut pemerintah, memungkinkan “skenario” konversi yang telah dirancang dapat berjalan dengan mulus. Pasalnya, kelangkaan minyak tanah, cepat atau lambat akan “memaksa” masyarakat untuk segera beralih ke gas elpiji. Jika sedemikian halnya yang terjadi saat ini, maka sungguh ironis! Betapa kejamnya pemerintah kita! Masuk akalkah cara yang ditempuh oleh pemerintah itu?
Dalam konteks ini, kita bisa mengkajinya dari dua sudut pandang. Di lihat dari sisi etika, pemerintah telah menggunakan cara yang “tidak sehat” untuk menekan rakyatnya sendiri, agar mengikuti apa kata pemerintah. Demi keberhasilan program yang sudah dicanangkan. Pemerintah, dengan tegasnya, justru menjadikan masyarakat sebagai “kelinci” percobaan hingga harus dihantui perasaan tertekan dan menderita.
Sudut pandang berikutnya, bahwa tindakan pemerintah dalam menerapkan kebijakan konversi energi ini lebih menekankan berlakunya logika “hukum besi”. Artinya, kalau ada “aksi” maka “reaksinya” sudah pasti akan bisa ditebak. Sayangnya pemerintah lupa, bahwa dalam banyak hal masyarakat kita sudah terbiasa tidak menggunakan aturan logika demikian.
Lihat saja. Pemerintah menggunakan asumsi bahwa yang akan terjadi adalah “pengalihan ke gas kalau masyarakat merasakan kesulitan”. Celakanya, pemerintah tak pernah memprediksi bahwa pengurangan pasokan minyak —guna menciptakan kondisi langka dan sulit itu— bukan hanya bisa terjadi sejak dari pusat eceran, tetapi bahkan akan menyebabkan penumpukan di tingkat pedagang lokal. Celakanya lagi, pemerintah juga tidak pernah bisa mengatasi berbagai persoalan yang muncul terkait keresahan akibat antrian yang muncul dan menjamur di mana-mana.
Bagaimana pun masalah ini memang sangat pelik. Pengurangan subsidi sudah tercantum dengan jelas dalam RAPBN 2008. Persiapan menuju ke sana sedang dilakukan oleh pemerintah. Hanya, kita berharap bahwa pemerintah tidak menghalalkan segala cara demi meng-golkan kebijakannya itu. Cukup sudah rupa-rupa penderitaan yang harus ditanggung rakyat. Jangan lagi beban dan nasib rakyat --yang sudah sangat berat ini--kian diperberat dengan berbagai kebijakan yang notabene memang selalu menyengsarakan rakyat.
*) Mahasiswa Jurdik Fisika, FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta (UNY)

Tidak ada komentar:

Statistik pengunjung