Senin

Sinetron Remaja Dan Pendidikan Konsumerisme

Oleh: Ken Ratih Indri Hapsari*
Konon, tak lebih dari 14 tahun setelah pertama kali televisi disiarkan secara komersial untuk umum (1946), dalam sebuah penelitian, tiga dari empat masyarakat Amerika menyatakan, televisi adalah sumber hiburan utama mereka. Tampaknya hal yang sama terjadi di berbagai penjuru negeri termasuk Indonesia. TV adalah suatu media penghibur yang saat ini paling dekat dengan setiap orang terutama anggota keluarga.
Kehadiran TV telah menggantikan hiburan rakyat yang lain. Kalau zaman dulu kesenian tradisi begitu tampil untuk merekatkan sifat “guyub rukun” seperti wayang dan ludruk yang belakangan di tahun 1980-an juga layar lebar di desa-desa juga tampil dalam bentuk layar tancap, maka panggung hiburan rakyat dalam bentuk teater kehidupan telah direbut secara seksama oleh TV.
Pada awal tahun 1990-an, sinetron Bella Vista tercatat sebagai drama TV pertama yang menandai bangkitnya minat masyarakat terhadap sinema di TV, yang kemudian hingga sekarang disebut sinema elektronik (sinetron).
Pertama kali tampil sebagai hiburan, sinetron bukannya hadir tanpa kritik dan pandangan negatif dari masyarakat. Hal itu juga sekaligus menunjukkan dampak positif dan negatif televisi agaknya telah menjadi topik paling hangat yang going on. Dari persoalan etika beriklan, berita hingga telenovela dan sinetron, yang biasanya dikaitkan dengan moralitas, kekerasan dan dampak-dampak bagi masyarakat lain. Pro kontra, dampak positif dan negatif itu tidak saja melibatkan komentar ibu-ibu rumah tangga, tetapi juga kalangan DPR hingga gubernur. Sebut saja, misalnya, pada waktu itu Gubernur DKI Jakarta Surjadi melontarkan kritik terhadap relasi “kumpul kebo” dalam sinetron Bella Vista.
Konsumerisme
Kelahiran acara televisi seperti sinetron memang tidak lepas dari perkembangan ekonomi pasar di Indonesia yang semakin mewarnai segala hubungan sosial yang ada. Perkembangan berbagai stasiun TV swasta juga tidak bisa dipisahkan dengan kebutuhan kapitalisme dewasa ini yang membutuhkan suatu tekanan utama dalam mempromosikan produk melalui periklanan. Berbeda dengan TVRI sebagai televisi negeri sebelumnya, acara-acara TV swasta selalu diselingi oleh iklan, dan iklan itulah yang sebenarnya menjadi sandaran hidup dari TV swasta.
Tidak heran jika cerita sinetron yang ditayangkan di televisi adalah cerita yang secara nyata harus mendukung perubahan budaya dan kondisi social, di mana masyarakat dapat dengan mudah mengenali dan mengonsumsi produk-produk yang diiklankan. Artinya, televisi dan cerita sinetronnya telah mempercepat perkembangan masyarakat pasar bebas di Indonesia yang kini secara politik juga diikuti kebijakan swastanisasi seperti pencabutan subsidi untuk rakyat, privatisasi perusahaan dan aset-aset negara, serta kian menyeruaknya gaya hidup liberal di masyarakat.
Jadi, upaya sinetron di televisi dalam mempercepat terciptanya budaya konsumen di masyarakat ini dapat terjadi melalui beberapa hal. Pertama, melalui iklan yang secara terang-terangan dan langsung mempromosikan produk-produknya yang bertujuan untuk merayu masyarakat untuk membeli (mengonsumsi). Kedua, cerita sinetron yang diangkat selalu menggambarkan kemewahan hidup dari kalangan masyarakat yang telah berkecukupan dan dapat memenuhi segala kebutuhannya. Hal ini dimaksudkan untuk membentuk logika berpikir masyarakat bahwa untuk bisa bergaya hidup sebagaimana yang di sinetron masyarakat harus mengonsumsi banyak barang-barang, harus sering ke mall dan swalayan-swalayan. Bahkan cerita sinetron yang dalam banyak hal menekankan pada aksesoris dan kostum mewah juga menawarkan suatu ajakan untuk membeli model-model fashion dan aksesoris seperti yang ada di dalamnya.
Secara umum, apa yang diceritakan dalam kisah sinetron sangat jauh berbeda dengan latarbelakang mayoritas masyarakat yang masih sangat kesulitan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup. Dalam hal ini, sinetron adalah tawaran gaya hidup dan citra dari kelas menengah ke atas yang dapat ditiru mayoritas masyarakat dan tentu dengan cara mengonsumsi. Mengonsumsi di sini bisa dalam bentuk produk yang dijual perusahaan yang mensponsori acara-acara sinetron maupun mengonsumsi budaya atau gaya hidup dalam cerita sinetron atau para pemain sinetron (artis selebritis).
Wajah Sinetron Remaja
Sulit diketahui secara persis kapan “sinetron remaja” dalam tayangan televisi mulai semarak. Yang jelas, sejak awal munculnya sinetron, kalangan remaja selalu mendapatkan tempat yang besar dalam kisah yang diangkatnya. Memang, kisah percintaan yang ada didominasi kaum remaja (seusia pelajar dan mahasiswa).
Bahkan belakangan, dunia remaja dalam kisah sinetron adalah angels (bidikan utama). Keberadaan orang tua hanyalah sebagai pelengkap dan figuran saja. Tidak heran jika setting tempat yang mendominasi di dalamnya adalah sekolah-sekolah dan kampus-kampus, lengkap dengan seragam, juga diiringi keterlibatan guru dan dosen. Meski banyak setting yang didominasi lingkungan pendidikan, hampir semua alur cerita diarahkan pada cerita seputar percintaan di kalangan remaja dan sekitar dinamika pacaran ala remaja. Selain sekolah dan kampus, mall juga mendominasi setting tempat.
Dari situ bisa ditebak bagaimana logika pencitraan yang hendak dibangun bersama budaya konsumerisme. Masalahnya, remaja memang menduduki peringkat pertama dalam bidikan pasar. Remaja adalah kalangan yang paling dinamis dan secara psikologis adalah kalangan yang paling mudah diarahkan oleh pencitraan-pencitraan masyarakat modern.
Akan tetapi sering aneka pencitraan yang ada dalam sinetron remaja juga melecehkan posisi dan peran pranata-pranata sosial yang ada. Dalam sinetron yang menceritakan anak-anak sekolah dan kampus misalnya, sosok guru dan dosen sering ditampilkan sebagai sosok yang jelek, mudah dipermainkan, hanya suka bikin humor di kelas. Dan yang pasti juga dicitrakan sebagai pendukung kebiasaan-kebiasaan kacangan murid dan mahasiswa dalam interaksi sosialnya.
Situasi sekolah dan kampus sebagai lembaga yang berfungsi sebagai pengemblengan mental kaum muda agar responsif dan kritis terhadap masyarakat juga dikebiri dalam kisah sinetron. Yang ditampilkan dari sosok kaum muda adalah mereka yang trendi, seksi, gaul atau --secara umum-- sesuai budaya pasar dan kondusif bagi gaya hidup konsumtif. Ini adalah tantangan yang harus segera dijawab semua elemen bangsa, karena produk kebudayaan mencerminkan sakitnya kebudayaan kita.
*) Aktif di KIPAS (Komite Independen Perempuan dan Anak untuk Aksi Sosial) Jember.

Tidak ada komentar:

Statistik pengunjung