TEROPONG
Oleh: Nurani Soyomukti*
Masa ujian nasional sudah berlalu. Anak-anak sekolah yang lulus tentunya akan meneruskan pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Orangtuapun juga mulai memikirkan tingkat kelanjutan dari pendidikan anak-anaknya. Kalau bisa setinggi mungkin. Orangtua yang anaknya lulus SMU atau yang sederajat, misalnya, tentunya menginginkan melanjutkan di perguruah tinggi. Artinya, masyarakat telah paham bahwa pendidikan itu penting. Jika mampu (ada biaya) dan punya kesempatan, pendidikan akan ditempuh sebagaimana belajar adalah proses tiada akhir dari kehidupan manusia. Pendidikan seumur hidup! Long-life education!
Pendidikan merupakan proses tanpa akhir yang diupayakan oleh siapapun, terutama (sebagai tanggung jawab) negara. Sebagai sebuah upaya untuk meningkatkan kesadaran dan ilmu pengetahuan, pendidikan telah ada seiring dengan lahirnya peradaban manusia itu sendiri. Dalam hal inilah, letak pendidikan dalam masyarakat sebenarnya mengikuti perkembangan corak sejarah manusia itu sendiri. Tak heran jika R.S. Peters dalam bukunya The Philosophy of Education menandaskan bahwa pada hakekatnya pendidikan tidak mengenal akhir, karena kualitas kehidupan manusia terus meningkat.
Kemajuan pendidikan dalam masyarakat kapitalis saat ini adalah sejauh menghasilkan tenaga-tenaga kerja yang akan dapat membuat mesin-mesin industri berjalan. Ideologi kapitalis dalam dunia pendidikan dapat dengan mudah dilihat dari pelajaran yang dipecah-pecah menjadi kepingan-kepingan ilmu yang semuanya berujung dan berpangkal pada hubungan jual-beli. Hal ini secara nyata dapat dilihat dalam pelajaran ekonomi mulai tingkat TK, SD, SMP, SMU, hingga perguruan tinggi (S1, S2, S3, dst): prinsip ekonomi yang selalu harus dihafal dalam pelajaran ekonomi adalah dengan modal sekecil-kecilnya untuk memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya.
Lalu semua substansi pelajaran ekonominya adalah bagaimana membuat produk bagus yang dapat dijual untuk mencari keuntungan, bagaimana menciptakan pasar, hingga bagaimana agar orang hanya bisa beli. Bukankah ini murni perspektif kapitalis (pemilik dan penumpuk modal) yang merusak substansi pendidikan sebagai upaya mewujudkan kemanusiaan universal?
Kapitalisme mengorganisir kerja-kerja (ke)manusia(an) untuk diabdikan pada keuntungan dan kenikmatan hidup para penumpuk modal. Manusia diajarkan bahwa menghasilkan (berproduksi) bukan untuk dipakai demi kesejahteraan bersama, tetapi untuk diklaim secara pribadi dan dijual-belikan untuk mencari keuntungan. Pada hakekatnya, ketimpangan kelas masih langgeng sebagaimana ada pada jaman kerajaan (feodal). Maka tak heran, ideologi pendidikan yang ada diabdikan untuk pelanggengan sistem penindasan kelas ini.
Lembaga pendidikanpun hanya menciptakan peserta didik yang akan menjadi penggerak mesin penindasan itu. Kata Neil Postman, anak-anak masuk sekolah sebagai tanda tanya, keluar sekolah sebagai tanda titik.
Wajah pendidikanpun menjadi bengis. Keberhasilan kapitalisme dalam mempertahankan sistemnya berbanding lurus dengan terbaliknya hakikat pendidikan itu sendiri. Pendidikan yang (masih) dipercaya sebagai upaya memanusiakan manusia, justru mendehumanisasikannya. Anak dan orangtua yang bunuh diri karena tidak mampu membayar biaya sekolah; guru dan birokrasi pendidikan yang korup, berkualitas rendah, jadi antek negara yang membodohi rakyatnya (di jaman Orde Baru); kampus yang hanya jadi ajang bergaya hidup (trendi-trendian) di tengah serangan budaya pasar yang hanya menjadikan mahasiswa agar hanya bisa tampil keren, konsumtif, tidak produktif (apalagi kritis dan berlawan); privatisasi dan komersialisasi lembaga pendidikan; dan lain sebagainya adalah kepingan-kepingan gambar tentang lukisan buram wajah pendidikan kita.
Masih banyak orang yang berharap bahwa pendidikan akan mampu menyelesaikan persoalan meskipun pada kenyataannya justru memperumit persoalan. Juga ada yang sangat pesimis, meskipun jumlahnya tidak banyak. Yang jelas, kini banyak orang mulai kecewa dengan sistem pendidikan. Kian mahalnya biaya yang harus dibayar untuk mendapatkan pendidikan adalah yang paling menghantui masyarakat kita pada saat kehidupan ekonomi tak kunjung membaik.
Kita memang selalu telat mencatat, mungkin karena kondisi mencukupi kebutuhan yang mencekik atau karena terlanjur menjadi bangsa yang acuh dan cuek (bodoh), bahwa kejadian apapun di bagian dunia ini tidak ada yang lepas dari perhitungan kaum kapitalis yang teliti dengan pekerja-pekerjaanya dalam mengambil kemungkinan-kemungkinan untuk merekayasa kesadaran dan tingkahlaku masyarakat di manapun ia berada, terutama masyarakat yang akan menjadi bidikan bagi produk-produknya untuk memperoleh keuntungan. Dalam globalisasi sekarang ini kemungkinan perubahan kesadaran menurut model kapitalis selalu terjadi. Jika pendidikan terlambat dan tidak awas, apa lagi cuek sebagaimana pengambil kebijakan negara selalu hanya patuh pada diktum modal asing, maka apa yang terjadi pada generasi kita di masa mendatang? Apa yang akan terjadi pada bangsa ini dengan kekayaan alam dan sumber daya manusianya yang sudah dalam proses dikuras oleh modal di masa mendatang? Wallahualam!
*) Ketua Dept. Diklat Litbang Yayasan Komunitas Teman KATAKATA Jember.
Oleh: Nurani Soyomukti*
Masa ujian nasional sudah berlalu. Anak-anak sekolah yang lulus tentunya akan meneruskan pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Orangtuapun juga mulai memikirkan tingkat kelanjutan dari pendidikan anak-anaknya. Kalau bisa setinggi mungkin. Orangtua yang anaknya lulus SMU atau yang sederajat, misalnya, tentunya menginginkan melanjutkan di perguruah tinggi. Artinya, masyarakat telah paham bahwa pendidikan itu penting. Jika mampu (ada biaya) dan punya kesempatan, pendidikan akan ditempuh sebagaimana belajar adalah proses tiada akhir dari kehidupan manusia. Pendidikan seumur hidup! Long-life education!
Pendidikan merupakan proses tanpa akhir yang diupayakan oleh siapapun, terutama (sebagai tanggung jawab) negara. Sebagai sebuah upaya untuk meningkatkan kesadaran dan ilmu pengetahuan, pendidikan telah ada seiring dengan lahirnya peradaban manusia itu sendiri. Dalam hal inilah, letak pendidikan dalam masyarakat sebenarnya mengikuti perkembangan corak sejarah manusia itu sendiri. Tak heran jika R.S. Peters dalam bukunya The Philosophy of Education menandaskan bahwa pada hakekatnya pendidikan tidak mengenal akhir, karena kualitas kehidupan manusia terus meningkat.
Kemajuan pendidikan dalam masyarakat kapitalis saat ini adalah sejauh menghasilkan tenaga-tenaga kerja yang akan dapat membuat mesin-mesin industri berjalan. Ideologi kapitalis dalam dunia pendidikan dapat dengan mudah dilihat dari pelajaran yang dipecah-pecah menjadi kepingan-kepingan ilmu yang semuanya berujung dan berpangkal pada hubungan jual-beli. Hal ini secara nyata dapat dilihat dalam pelajaran ekonomi mulai tingkat TK, SD, SMP, SMU, hingga perguruan tinggi (S1, S2, S3, dst): prinsip ekonomi yang selalu harus dihafal dalam pelajaran ekonomi adalah dengan modal sekecil-kecilnya untuk memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya.
Lalu semua substansi pelajaran ekonominya adalah bagaimana membuat produk bagus yang dapat dijual untuk mencari keuntungan, bagaimana menciptakan pasar, hingga bagaimana agar orang hanya bisa beli. Bukankah ini murni perspektif kapitalis (pemilik dan penumpuk modal) yang merusak substansi pendidikan sebagai upaya mewujudkan kemanusiaan universal?
Kapitalisme mengorganisir kerja-kerja (ke)manusia(an) untuk diabdikan pada keuntungan dan kenikmatan hidup para penumpuk modal. Manusia diajarkan bahwa menghasilkan (berproduksi) bukan untuk dipakai demi kesejahteraan bersama, tetapi untuk diklaim secara pribadi dan dijual-belikan untuk mencari keuntungan. Pada hakekatnya, ketimpangan kelas masih langgeng sebagaimana ada pada jaman kerajaan (feodal). Maka tak heran, ideologi pendidikan yang ada diabdikan untuk pelanggengan sistem penindasan kelas ini.
Lembaga pendidikanpun hanya menciptakan peserta didik yang akan menjadi penggerak mesin penindasan itu. Kata Neil Postman, anak-anak masuk sekolah sebagai tanda tanya, keluar sekolah sebagai tanda titik.
Wajah pendidikanpun menjadi bengis. Keberhasilan kapitalisme dalam mempertahankan sistemnya berbanding lurus dengan terbaliknya hakikat pendidikan itu sendiri. Pendidikan yang (masih) dipercaya sebagai upaya memanusiakan manusia, justru mendehumanisasikannya. Anak dan orangtua yang bunuh diri karena tidak mampu membayar biaya sekolah; guru dan birokrasi pendidikan yang korup, berkualitas rendah, jadi antek negara yang membodohi rakyatnya (di jaman Orde Baru); kampus yang hanya jadi ajang bergaya hidup (trendi-trendian) di tengah serangan budaya pasar yang hanya menjadikan mahasiswa agar hanya bisa tampil keren, konsumtif, tidak produktif (apalagi kritis dan berlawan); privatisasi dan komersialisasi lembaga pendidikan; dan lain sebagainya adalah kepingan-kepingan gambar tentang lukisan buram wajah pendidikan kita.
Masih banyak orang yang berharap bahwa pendidikan akan mampu menyelesaikan persoalan meskipun pada kenyataannya justru memperumit persoalan. Juga ada yang sangat pesimis, meskipun jumlahnya tidak banyak. Yang jelas, kini banyak orang mulai kecewa dengan sistem pendidikan. Kian mahalnya biaya yang harus dibayar untuk mendapatkan pendidikan adalah yang paling menghantui masyarakat kita pada saat kehidupan ekonomi tak kunjung membaik.
Kita memang selalu telat mencatat, mungkin karena kondisi mencukupi kebutuhan yang mencekik atau karena terlanjur menjadi bangsa yang acuh dan cuek (bodoh), bahwa kejadian apapun di bagian dunia ini tidak ada yang lepas dari perhitungan kaum kapitalis yang teliti dengan pekerja-pekerjaanya dalam mengambil kemungkinan-kemungkinan untuk merekayasa kesadaran dan tingkahlaku masyarakat di manapun ia berada, terutama masyarakat yang akan menjadi bidikan bagi produk-produknya untuk memperoleh keuntungan. Dalam globalisasi sekarang ini kemungkinan perubahan kesadaran menurut model kapitalis selalu terjadi. Jika pendidikan terlambat dan tidak awas, apa lagi cuek sebagaimana pengambil kebijakan negara selalu hanya patuh pada diktum modal asing, maka apa yang terjadi pada generasi kita di masa mendatang? Apa yang akan terjadi pada bangsa ini dengan kekayaan alam dan sumber daya manusianya yang sudah dalam proses dikuras oleh modal di masa mendatang? Wallahualam!
*) Ketua Dept. Diklat Litbang Yayasan Komunitas Teman KATAKATA Jember.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar