Senin

Di Mana Anak-Anak Miskin Sekolah?

Oleh: Edy Firmansyah*
Sulit untuk menyangkal bahwa semua orang kini punya keyakinan yang seragam bahwa sekolah yang bermutu haruslah mahal. Mau bukti? Tiap musim memilih sekolah, yang selalu jadi rebutan orangtua siswa dan calon siswa adalah sekolah negeri unggulan atau favorit. Padahal biaya pendidikan di sekolah tersebut jauh dari kesan murah.
Di Solo misalnya, sejumlah sekolah negeri favorit memasang tarif tinggi di balik kedok uang sumbangan sukarela orangtua siswa. Di jenjang SMU, tarif masuk sekolah berkisar antara Rp 12,5 15 juta, untuk SMP antara Rp 7,5 10 juta dan SD sekitar Rp 1-3 juta. Di Tangerang dan Jakarta kondisinya sama. Untuk SD dan SMP dkenai sumbangan rata-rata Rp 1-2 juta (Koran Tempo, 2 Juli 2002). Bayaran tersebut belum ditambah dengan dengan uang buku dan seragam, di mana sekolah bekerja sama dengan berbagai perusahaan penerbit serta pedagang kain.
Tapi pertanyaannya siapa saja siswa sekolah unggulan yang mahal itu? Tidak bisa tidak, sekolah-sekolah dengan mutu baik dan fasilitas lengkap dari TK hingga PT hanya bisa dimasuki oleh orang-orang kaya, selebritis, pejabat atau kelas sosial tertentu, sedangkan anak buruh dan rakyat biasa harus mengalah untuk masuk sekolah tersebut.
Untuk dapat terus mengenyam pendidikan, masyarakat miskin harus bangga berada di sekolah-sekolah gurem yang fasilitasnya sangat memprihatinkan. Tenaga pengajarnya kurang, kursi dan bangku banyak yang rusak. Sedangkan gedung sekolahnya terkesan ringkih. Tetapi apa boleh buat, hanya sekolah itulah yang bisa dijangkau oleh mereka. Ketimbang tidak sekolah sama sekali.
Memaksa masuk ke sekolah bermutu dengan biaya mahal semacam itu bagi kaum miskin justru menjadi petaka. Masih segar dalam ingatan kita kenekatan Ny. Junania Mercy warga Lowokwatu, Kota Malang. Hanya gara-gara tak sanggup lagi menanggung beban mahalnya biaya sekolah, yang mencapai Rp 1,6 juta per bulan, dia tega meracuni keempat putra-putrinya dengan racun potas. Kemudian bunuh diri (Jawa Pos, 12 Maret 2007). Belum lagi maraknya kasus bunuh diri pelajar hanya gara-gara tak mampu membayar biaya sekolah.
Sebenarnya pemerintah telah mengambil sikap. Setiap tahun pemerintah memang rajin membuat imbauan agar tidak ada lagi pungutan. Kalaupun tetap memungut, ditetapkan setelah murid diterima. Jenis dan jumlahnya pun didasarkan pada hasil musyawarah dengan orangtua. Tapi kenyataannya tidak demikian. Dalam melakukan rekrutmen, sekolah lebih memprioritaskan kemampuan finansial orangtua daripada kemampuan akademis murid. Secara tertutup harga telah dipatok jauh sebelum pendaftaran baru dimulai.
Sementara itu dana BOS yang sejatinya diarahkan pemerintah untuk meringankan mahalnya biaya pendidikan bagi masuyarakat miskin justru belum dinikmati secara penuh. Bukan rahasia umum lagi, jika penyaluran dana BOS justru diwarnai pungli di sana-sini. Sehingga lagi-lagi masyarakat miskinlah yang jadi korban.
Tak heran jika upaya mencetak SDM yang potensial sangatlah jauh dari berhasil. Selain masih banyaknya warga Indonesia yang buta huruf, juga ditunjukkan dengan semakin membludaknya APS (Angka Putus Sekolah).
Data dari pusat Informatika Balitbang Depdiknas menyatakan rata-rata angka putus sekolah SD (APS-SD) nasional sebbesar 3,57% atau sekitar 940.438 siswa, rata-rata angka putus sekolah SLTP (APS-SLTP) di tingkat nasional sebesar 7,66% atau 429.555 siswa. Ini artinya lebih besar dari APS-SD meski lebih kecil dalam kuantitas.
Kondisi ini jelas merupakan ironi. Seakan-akan tak ada peluang bagi masyarakat miskin untuk memperbaiki nasib. Mereka seperti beruputar-putar dalam lembah hitam kemiskinan seketat apapun mereka mencoba memperbaiki nasib. Padahal tujuan mereka menyekolahkan anak-anaknya agar generasi penerus mereka tidak lagi terjerembab dalam kemiskinan.
Tapi apa daya, pendidikan nasional, baik negeri maupun swasta, dari SD-PT, hanya menciptakan kesenjangan sosial sekaligus kemiskinan struktural. Sebab, anak-anak pintar dan miskin itu setelah lepas dari sekolah hanya bekerja sebagai buruh pabrik, buruh bangunan, buruh tani, buruh serabutan, atau pekerja sektor informal; yang pendapatannya selain kecil juga tidak stabil dan rawan pemutusan hubungan kerja (PHK) atau kena gusur. Mereka menikah dengan pasangan yang berasal dari kelas sosial sama rendah sehingga hanya mereproduksi kemiskinan.
Nilai tinggi dalam lembar ijazah ketika mereka sekolah tak memiliki arti banyak. Karena untuk bisa terserap dalam dunia kerja yang layak pun kadangkala sering diwarnai dengan permainan uang sebagai pelicin. Pintar tak lagi menjadi modal utama.
Sistem pendidikan semacam ini harus segera dihentikan. Pemerintah semestinya tidak mengistimewakan kelas kaum kaya yang seringkali menganggap semua hal menjadi mudah di hadapan uang, termasuk pendidikan. Bagaimana mungkin korupsi kolusi dan nepotisme bisa dihapuskan dari negeri ini, jika pendidikan yang menjadi fondasi awal mencetak generasi bangsa justru menjadi sarana langgengnya korupsi, kolusi dan nepotisme itu sendiri?
Pemerintah bisa melakukannya dengan menyebar guru-guru yang pintar ke sekolah pelosok. Serta memberikan fasilitas yang sama pada sekolah-sekolah negeri di pinggiran. Sehingga sekolah berfasilitas lengkap dengan tenaga pengajar yang pintar tidak terpusat di kota besar. Dan, satu hal yang penting tentu saja mengurangi beban pendidikan bagi masyarakat miskin. Sehingga pendidikan benar-benar menjadi hak semua warga negara; baik yang miskin, kaya, bodoh atau pintar.
*) Ketua FORDEM (Forum Demokrasi), Pamekasan, Madura dan Pengelola Sanggar Bermain Kata (SBK).

Tidak ada komentar:

Statistik pengunjung