OLEH: TATIK CHUSNIYATI*
“SEKIRANYA, tabunganku sudah mencapai tiga puluh juta, aku akan mempergunakannya untuk ongkos haji sebagai penyempurna amalku. Sepulang haji aku akan menghabiskan seluruh waktuku dalam beribadah kepada Tuhan dan pensiun dari segala urusan dunia.”
Ungkapan di atas sering kali keluar dari mulut para orang tua, khususnya yang tinggal di daerah-daerah pedesaan. Kebanyakan dari mereka mempersepsikan bahwa batas akhir dari pencarian harta dan pekerjaan adalah ketika mereka sudah mampu melaksanakan ibadah haji.
Untuk itu kecenderungan pak haji dan bu haji di pedesaan adalah mengurangi aktivitas kerjanya pasca haji. Seolah menjadikan haji sebagai ibadah masa tua, lalu berakhirlah perannya dalam pentas kehidupan dunia. Tentu pemaknaan haji semacam ini dapat mengurangi sakralitas haji sebagai salah satu pokok ajaran Islam.
Sebagai ajaran pokok, haji tidak saja menyangkut keimanan individual, akan tetapi juga terkait dengan kehidupan beragama secara menyeluruh. Karena itu dibutuhkan pemaknaan yang tepat terhadap pelaksanaan ibadah haji.
Memang tak dapat dipungkiri, ibadah haji merupakan ibadah termahal dari sisi material, khususnya bagi umat muslim yang tinggal di luar jazirah Arab, termasuk negeri kita. Sehingga tidak jarang keagungan ibadah tersebut justru diukur berdasarkan banyaknya materi yang telah dikeluarkan, bukan pada sejauh mana penjiwaan terhadap aktivitas ritual yang terkandung di dalamnya.
Hal tersebut tampak dari pengagungan masyarakat kita secara berlebihan terhadap gelar “Haji” dan pemakaian serban sebagai simbol kehajian, terutama mereka yang berdomisili di pedesaan. Islam memang mengajarkan bahwa haji adalah salah satu pilar ajaran agama. Bahkan menurut catatan sejarah, semua nabi Allah telah menziarahi Makkah dan menjadikan haji sebagai awal dari semangat baru untuk melakukan pencerahan, pembaruan dan perbaikan di tengah-tengah kaumnya. Nabi Muhammad sendiri memutuskan pelbagai perkara penting pasca ibadah haji terakhir yang kita kenal dengan haji wada’. Lebih jauh pasca haji wada’ Rasulullah lebih banyak memutuskan hal-hal yang berkaitan dengan masa depan umatnya.
Jika kita mau menoleh kepada masa lalu bangsa kita, akan kita temukan juga para pembaru bangsa ini lebih banyak terilhami setelah mereka pulang dari ibadah haji. Pembaruan ekonomi, pendidikan, keberagamaan dan budaya misalnya, dipelopori oleh tokoh-tokoh tanah air sehabis pulang dari tanah suci.
Itulah sebabnya saat itu perjalanan haji lebih banyak dilakukan oleh para pemuda yang masih aktif di masyarakat, bahkan kita jumpai betapa banyak orangtua menjual hartanya agar anaknya dapat pergi ke Makkah untuk berhaji, dengan harapan mereka pulang dengan membawa semangat baru untuk melakukan revolusi dan pencerahan.
Barangkali agak berbeda dengan persepsi manusia sekarang, yang lebih senang memberangkatkan orang tuanya untuk berhaji dengan niat agar terbebas dari siksa api neraka, tanpa melihat urgensitas haji atas kehidupan sosial.
Padahal makna haji sesungguhnya tidak dapat dilihat sebagai ibadah individual yang mesti dilakukan demi peningkatan keimanan personal semata, melainkan juga harus dipandang sebagai ibadah sosial guna membumikan nilai-nilai kebajikan dalam kehidupan masyarakat.
Karena itu, Nabi Muhammad sendiri tidak pernah menyatakan bahwa haji pada masa tua lebih mulia dari haji di waktu muda. Sebab, ibadah haji saat masih muda lebih memungkinkan seseorang untuk lebih progresif, cerdas dan bersemangat. Pendek kata, para haji muda sejatinya dapat melakukan revolusi di segala bidang pasca ibadah haji yang dilakukannya.
Bukankah pencerahan ekonomi, pendidikan dan bahkan semangat juang para pahlawan kita, masa itu, lebih banyak termotivasi oleh para jamaah haji yang baru pulang ke tanah air? Untuk itulah kita perlu menegaskan kembali relevansi haji dengan kreativitas dan progresivitas para jamaahnya.
Selanjutnya kita meyakini siapa saja yang telah pergi ke Makkah, maka keimanan dan kesalehannya akan meningkat. Lebih dari itu, kita pun berharap pasca pelaksanaan ibadah haji para jamaah dapat tampil di garda depan untuk memberikan pencerahan dan perbaikan di tengah-tengah masyarakatnya. Sebagian dari kita juga meyakini fungsi ibadah haji akan menyulap orang jahat menjadi saleh, koruptor menjadi taubat, penipu menjadi dermawan, dan sebagainya.
Sayangnya, sakralitas ritual haji dalam keyakinan masyarakat kita, cenderung menjadikan seorang haji menganggap dirinya golongan eksekutif di hadapan Tuhan, lalu ia mengurangi peran kekhalifahannya di muka bumi atau sampai-sampai mengikis habis sensitivitas sosialnya. Padahal seluruh rentetan aktivitas haji merupakan ilustrasi dari seseorang yang telah lulus daya vitalitas imannya dan solidaritas kemanusiaannya.
*) Pengajar Ma’had Abdurrahman bin ‘Auf Unmuh Malang, Jawa Timur
“SEKIRANYA, tabunganku sudah mencapai tiga puluh juta, aku akan mempergunakannya untuk ongkos haji sebagai penyempurna amalku. Sepulang haji aku akan menghabiskan seluruh waktuku dalam beribadah kepada Tuhan dan pensiun dari segala urusan dunia.”
Ungkapan di atas sering kali keluar dari mulut para orang tua, khususnya yang tinggal di daerah-daerah pedesaan. Kebanyakan dari mereka mempersepsikan bahwa batas akhir dari pencarian harta dan pekerjaan adalah ketika mereka sudah mampu melaksanakan ibadah haji.
Untuk itu kecenderungan pak haji dan bu haji di pedesaan adalah mengurangi aktivitas kerjanya pasca haji. Seolah menjadikan haji sebagai ibadah masa tua, lalu berakhirlah perannya dalam pentas kehidupan dunia. Tentu pemaknaan haji semacam ini dapat mengurangi sakralitas haji sebagai salah satu pokok ajaran Islam.
Sebagai ajaran pokok, haji tidak saja menyangkut keimanan individual, akan tetapi juga terkait dengan kehidupan beragama secara menyeluruh. Karena itu dibutuhkan pemaknaan yang tepat terhadap pelaksanaan ibadah haji.
Memang tak dapat dipungkiri, ibadah haji merupakan ibadah termahal dari sisi material, khususnya bagi umat muslim yang tinggal di luar jazirah Arab, termasuk negeri kita. Sehingga tidak jarang keagungan ibadah tersebut justru diukur berdasarkan banyaknya materi yang telah dikeluarkan, bukan pada sejauh mana penjiwaan terhadap aktivitas ritual yang terkandung di dalamnya.
Hal tersebut tampak dari pengagungan masyarakat kita secara berlebihan terhadap gelar “Haji” dan pemakaian serban sebagai simbol kehajian, terutama mereka yang berdomisili di pedesaan. Islam memang mengajarkan bahwa haji adalah salah satu pilar ajaran agama. Bahkan menurut catatan sejarah, semua nabi Allah telah menziarahi Makkah dan menjadikan haji sebagai awal dari semangat baru untuk melakukan pencerahan, pembaruan dan perbaikan di tengah-tengah kaumnya. Nabi Muhammad sendiri memutuskan pelbagai perkara penting pasca ibadah haji terakhir yang kita kenal dengan haji wada’. Lebih jauh pasca haji wada’ Rasulullah lebih banyak memutuskan hal-hal yang berkaitan dengan masa depan umatnya.
Jika kita mau menoleh kepada masa lalu bangsa kita, akan kita temukan juga para pembaru bangsa ini lebih banyak terilhami setelah mereka pulang dari ibadah haji. Pembaruan ekonomi, pendidikan, keberagamaan dan budaya misalnya, dipelopori oleh tokoh-tokoh tanah air sehabis pulang dari tanah suci.
Itulah sebabnya saat itu perjalanan haji lebih banyak dilakukan oleh para pemuda yang masih aktif di masyarakat, bahkan kita jumpai betapa banyak orangtua menjual hartanya agar anaknya dapat pergi ke Makkah untuk berhaji, dengan harapan mereka pulang dengan membawa semangat baru untuk melakukan revolusi dan pencerahan.
Barangkali agak berbeda dengan persepsi manusia sekarang, yang lebih senang memberangkatkan orang tuanya untuk berhaji dengan niat agar terbebas dari siksa api neraka, tanpa melihat urgensitas haji atas kehidupan sosial.
Padahal makna haji sesungguhnya tidak dapat dilihat sebagai ibadah individual yang mesti dilakukan demi peningkatan keimanan personal semata, melainkan juga harus dipandang sebagai ibadah sosial guna membumikan nilai-nilai kebajikan dalam kehidupan masyarakat.
Karena itu, Nabi Muhammad sendiri tidak pernah menyatakan bahwa haji pada masa tua lebih mulia dari haji di waktu muda. Sebab, ibadah haji saat masih muda lebih memungkinkan seseorang untuk lebih progresif, cerdas dan bersemangat. Pendek kata, para haji muda sejatinya dapat melakukan revolusi di segala bidang pasca ibadah haji yang dilakukannya.
Bukankah pencerahan ekonomi, pendidikan dan bahkan semangat juang para pahlawan kita, masa itu, lebih banyak termotivasi oleh para jamaah haji yang baru pulang ke tanah air? Untuk itulah kita perlu menegaskan kembali relevansi haji dengan kreativitas dan progresivitas para jamaahnya.
Selanjutnya kita meyakini siapa saja yang telah pergi ke Makkah, maka keimanan dan kesalehannya akan meningkat. Lebih dari itu, kita pun berharap pasca pelaksanaan ibadah haji para jamaah dapat tampil di garda depan untuk memberikan pencerahan dan perbaikan di tengah-tengah masyarakatnya. Sebagian dari kita juga meyakini fungsi ibadah haji akan menyulap orang jahat menjadi saleh, koruptor menjadi taubat, penipu menjadi dermawan, dan sebagainya.
Sayangnya, sakralitas ritual haji dalam keyakinan masyarakat kita, cenderung menjadikan seorang haji menganggap dirinya golongan eksekutif di hadapan Tuhan, lalu ia mengurangi peran kekhalifahannya di muka bumi atau sampai-sampai mengikis habis sensitivitas sosialnya. Padahal seluruh rentetan aktivitas haji merupakan ilustrasi dari seseorang yang telah lulus daya vitalitas imannya dan solidaritas kemanusiaannya.
*) Pengajar Ma’had Abdurrahman bin ‘Auf Unmuh Malang, Jawa Timur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar