OLEH: NURANI SOYOMUKTI*
Sebagaimana musim haji tahun 2006/ 1427 H telah tiba, hampir 200 ribu jemaah Indonesia siap berangkat menuju tanah suci Mekkah dan Madinah. Seperti tahun-tahun sebelumnya, banyak pemeluk Islam, terutama di Indonesia berbondong-bondong dan rebutan untuk melakukan ritualitas keagamaan ini. Menurut data yang ada, belum lagi seluruh jemaah pada musim haji tahun ini bertolak ke Tanah Suci, jumlah pendaftar jemaah haji untuk musim haji tahun 2007 pun sudah mencapai ratusan ribu. Bahkan di sejumlah daerah, kuota haji tahun 2007 telah terpenuhi.
Gejala semacam ini bisa dikatakan sebagai kuatnya umat Islam untuk melakukan ibadah dan memenuhi panggilan keagamaannya. Ghiroh melaksanakan rukun Islam (yang kelima) ini bisa dianggap sebagai tanda bahwa masyarakat Indonesia semakin religius. Meskipun demikian, harus diakui bahwa masih banyak juga para jemaah haji yang masih terjebak dalam simbolitas syarat, yaitu melaksanakan ibadah hanya karena ingin memenuhi rukun Islam. Mereka adalah kalangan yang menitikberatkan keagamaannya pada kepuasan individual dalam menjalankan ibadah agama.
Di masyarakat kita, ibadah haji memang masih merupakan ibadah yang langka karena pelaksananya harus memenuhi syarat-syarat tertentu, terutama kesiapan finansial. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa orang yang berhaji pastilah orang yang secara ekonomi berkecukupan atau berlebih. Jadi, secara kultural dan sosial, haji bukan hanya bermakna dalam statusnya secara religius, tetapi juga secara ekonomi dan budaya. Seorang yang mampu melakukan ibadah haji memiliki status yang tinggi di masyarakatnya.
Bahkan ibadah haji sendiri, baik bagi pelaku maupun masyarakat sekitarnya, masih dipenuhi berbagai mitos. Orang akan beranggapan bahwa setelah melakukan ibadah haji rejeki mereka akan lancar dan selalu dimudahkan dalam menjalankan kehidupan ekonomi. Seorang jemaah haji sudah pasti orang kaya di kampungnya, dan mereka akan semakin lancar dalam mencari kekayaan sepulang dari haji. Mitos ini menyesatkan karena tidak jarang orang yang kemudian melakukan ibadah haji agar rezekinya lancar dan kekayaannya menumpuk. Spirit semacam ini justru merupakan semangat ke-Islam-an yang layang diwaspadai karena tujuan beribadah nampaknya telah teracuni oleh gairah materialistik. Keagamaan diplintir menjadi suatu semangat iblis yang berupa nafsu keserakahan.
Dari titik inilah sebaiknya nilai-nilai keagamaan dalam hal ritualistik kita evaluasi kembali. Tekanan keagamaan yang hanya berupa simbol dan ritualitas nampaknya tidak pernah menyentuh pada hakekat keberagamaan itu sendiri. Islam adalah agama yang sangat menekankan pada kesalehan sosial sebagaimana kedatangannya hendak mentransformasikan struktur sosial yang menindas masyarakat, mengasingkan masyarakat dari nilai kemanusiaannya, termasuk yang membalikkan cara pandang-cara pandang yang palsu dan membodohi. Islam adalah agama penyelamat, dan tentunya menentang segala kebiasaan yang menghalangi semua manusia (tanpa melihat kelas atau status) untuk menjalani kehidupannya yang harmonis dan bebas dari belenggu-belenggu sejarah —yang biasanya dicirikan dengan masyarakat “jahiliyah”.
Masyarakat jahiliyah lama merupakan corak masyarakat Arab waktu itu yang menindas secara ekonomi, politik, maupun kebudayaan. Sumber-sumber ekonomi dan jalur perdagangan dikuasai oleh kelas ekonomi, segelintir orang-orang yang kebetulan dari suku Quraisy. Islam tidak memandang suku dan ras, tetapi hendak membebaskan semua manusia dari kontradiksi ekonomi dengan ajarannya yang “rahmatan lil alamin” (rahmat bagi seluruh alam). Islam menempatkan Allah sebagai pencipta yang tidak melihat manusia dari status atau simbolnya, kecuali mereka yang berserah diri secara ikhlas dan mau membebaskan kehidupan jahiliyah, tatanan kontradiktif, yang tidak manusiawi mengakibatkan manusia-manusia yang hidup di dalamnya menjadi jahat, serakah, saling membenci, dan merusak tatanan kemanusiaan.
Perbedaan identitas dan simbol tidak masalah bagi Allah. Bahkan Ia menciptakan manusia berbangsa-bangsa, bersuku-suku, laki-laki dan perempuan, dan berbagai perbedaan (bahkan agama) agar kita semua saling mengenal. Tetapi bukan berarti Allah berkompromi dengan perbedaan yang membuat masyarakat saling membenci dan memangsa, yaitu ketimpangan kelas (secara ekonomi). Ketimpangan dalam ranah material-ekonomis jelas menjadi dasar bagi terciptanya kecemburuan dan kebencian. Orang yang terpinggirkan secara ekonomi akan merasa cemburu dan benci, meskipun dalam banyak hal melampiaskan kebenciannya secara salah karena memakai sentimen keagamaan, kesukuan, dan kelompok —pada hal sebab-sebabnya adalah dalam ranah ekonomi yang tak mengenal identitas kecuali untuk menyembunyikan objektifitas yang ada. Lalu, orang kaya juga merasa bahwa statusnya juga datang begitu saja —tidak berkaitan dengan hubungannya dengan orang lain, terutama orang miskin yang dihisapnya— dan menyombongkannya, membangga-banggakan statusnya tersebut.
Status keagamaan memang akan dipandang dan bahkan bisa dijadikan modal untuk memperkaya (dan membanggakan) diri di hadapan orang lain. Dalam kasus ini, status haji juga menjadi modal bagi seseorang untuk menambah dan memperkuat statusnya di hadapan masyarakat sekitarnya. Itulah yang menyebabkan orang yang telah berhaji juga melakukannya berulang-ulang, pada hal hanya diwajibkan sekali saja dalam hidup —bagi yang mampu. Bukanlah akan lebih mulia jika para hartawan ini mendermakan hartanya untuk meningkatkan taraf hidup masyarakatnya yang sedang kesusahan ini? Atau untuk membiayai proyek pencerahan melalui pendidikan dan pembebasan umat manusia?
Mari kita berhitung, bila saja ada 10 ribu calon jemaah haji ulang bersepakat mendayagunakan dana haji ulangnya itu maka akan terkumpul dana tunai sekitar Rp 280 miliar (ONH tahun ini sekitar Rp 28 juta). Dana itu lalu dimanfaatkan untuk mengentaskan rakyat miskin, membuka lapangan kerja baru, atau mensubsidi biaya pendidikan anak jalanan. Betapa banyak anggota masyarakat yang "terselamatkan" hidupnya.
Berhaji, baik sekali atau berulang-ulang, nampaknya hanya untuk menegaskan ritualitas individu, memuasi diri karena telah memiliki dan memperkuat status, sekaligus menambah egoisme diri, bahkan kekuasaan tanpa mempedulikan apa pengaruh kekayaan pribadi dalam relasi sosialnya. Output dari berhaji idealnya membuat seseorang lebih mampu memahami makna keberagamaan dalam kehidupan sosial, politik, dan kebudayaan. Para jemaah haji ditantang dalam pemahaman keberagamaan konvensional yang individual. Para jemaah haji diuji untuk menyelesaikan berbagai macam konflik sosial dan ketimpangan yang ada di masyarakat. Apakah statusnya akan membuatnya terninabobokkan oleh ilusi keberagamaannya? Ataukah ia akan menjadi manusia baru? Wallahu’alam!
*) Pemerhati masalah budaya: kini Ketua Departemen Diklat-Litbang Yayasan TAMAN KATAKATA (TK) Jember; pernah menjadi peneliti tamu di ICIP (International Center for Islam and Pluralism) Jakarta.
Sebagaimana musim haji tahun 2006/ 1427 H telah tiba, hampir 200 ribu jemaah Indonesia siap berangkat menuju tanah suci Mekkah dan Madinah. Seperti tahun-tahun sebelumnya, banyak pemeluk Islam, terutama di Indonesia berbondong-bondong dan rebutan untuk melakukan ritualitas keagamaan ini. Menurut data yang ada, belum lagi seluruh jemaah pada musim haji tahun ini bertolak ke Tanah Suci, jumlah pendaftar jemaah haji untuk musim haji tahun 2007 pun sudah mencapai ratusan ribu. Bahkan di sejumlah daerah, kuota haji tahun 2007 telah terpenuhi.
Gejala semacam ini bisa dikatakan sebagai kuatnya umat Islam untuk melakukan ibadah dan memenuhi panggilan keagamaannya. Ghiroh melaksanakan rukun Islam (yang kelima) ini bisa dianggap sebagai tanda bahwa masyarakat Indonesia semakin religius. Meskipun demikian, harus diakui bahwa masih banyak juga para jemaah haji yang masih terjebak dalam simbolitas syarat, yaitu melaksanakan ibadah hanya karena ingin memenuhi rukun Islam. Mereka adalah kalangan yang menitikberatkan keagamaannya pada kepuasan individual dalam menjalankan ibadah agama.
Di masyarakat kita, ibadah haji memang masih merupakan ibadah yang langka karena pelaksananya harus memenuhi syarat-syarat tertentu, terutama kesiapan finansial. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa orang yang berhaji pastilah orang yang secara ekonomi berkecukupan atau berlebih. Jadi, secara kultural dan sosial, haji bukan hanya bermakna dalam statusnya secara religius, tetapi juga secara ekonomi dan budaya. Seorang yang mampu melakukan ibadah haji memiliki status yang tinggi di masyarakatnya.
Bahkan ibadah haji sendiri, baik bagi pelaku maupun masyarakat sekitarnya, masih dipenuhi berbagai mitos. Orang akan beranggapan bahwa setelah melakukan ibadah haji rejeki mereka akan lancar dan selalu dimudahkan dalam menjalankan kehidupan ekonomi. Seorang jemaah haji sudah pasti orang kaya di kampungnya, dan mereka akan semakin lancar dalam mencari kekayaan sepulang dari haji. Mitos ini menyesatkan karena tidak jarang orang yang kemudian melakukan ibadah haji agar rezekinya lancar dan kekayaannya menumpuk. Spirit semacam ini justru merupakan semangat ke-Islam-an yang layang diwaspadai karena tujuan beribadah nampaknya telah teracuni oleh gairah materialistik. Keagamaan diplintir menjadi suatu semangat iblis yang berupa nafsu keserakahan.
Dari titik inilah sebaiknya nilai-nilai keagamaan dalam hal ritualistik kita evaluasi kembali. Tekanan keagamaan yang hanya berupa simbol dan ritualitas nampaknya tidak pernah menyentuh pada hakekat keberagamaan itu sendiri. Islam adalah agama yang sangat menekankan pada kesalehan sosial sebagaimana kedatangannya hendak mentransformasikan struktur sosial yang menindas masyarakat, mengasingkan masyarakat dari nilai kemanusiaannya, termasuk yang membalikkan cara pandang-cara pandang yang palsu dan membodohi. Islam adalah agama penyelamat, dan tentunya menentang segala kebiasaan yang menghalangi semua manusia (tanpa melihat kelas atau status) untuk menjalani kehidupannya yang harmonis dan bebas dari belenggu-belenggu sejarah —yang biasanya dicirikan dengan masyarakat “jahiliyah”.
Masyarakat jahiliyah lama merupakan corak masyarakat Arab waktu itu yang menindas secara ekonomi, politik, maupun kebudayaan. Sumber-sumber ekonomi dan jalur perdagangan dikuasai oleh kelas ekonomi, segelintir orang-orang yang kebetulan dari suku Quraisy. Islam tidak memandang suku dan ras, tetapi hendak membebaskan semua manusia dari kontradiksi ekonomi dengan ajarannya yang “rahmatan lil alamin” (rahmat bagi seluruh alam). Islam menempatkan Allah sebagai pencipta yang tidak melihat manusia dari status atau simbolnya, kecuali mereka yang berserah diri secara ikhlas dan mau membebaskan kehidupan jahiliyah, tatanan kontradiktif, yang tidak manusiawi mengakibatkan manusia-manusia yang hidup di dalamnya menjadi jahat, serakah, saling membenci, dan merusak tatanan kemanusiaan.
Perbedaan identitas dan simbol tidak masalah bagi Allah. Bahkan Ia menciptakan manusia berbangsa-bangsa, bersuku-suku, laki-laki dan perempuan, dan berbagai perbedaan (bahkan agama) agar kita semua saling mengenal. Tetapi bukan berarti Allah berkompromi dengan perbedaan yang membuat masyarakat saling membenci dan memangsa, yaitu ketimpangan kelas (secara ekonomi). Ketimpangan dalam ranah material-ekonomis jelas menjadi dasar bagi terciptanya kecemburuan dan kebencian. Orang yang terpinggirkan secara ekonomi akan merasa cemburu dan benci, meskipun dalam banyak hal melampiaskan kebenciannya secara salah karena memakai sentimen keagamaan, kesukuan, dan kelompok —pada hal sebab-sebabnya adalah dalam ranah ekonomi yang tak mengenal identitas kecuali untuk menyembunyikan objektifitas yang ada. Lalu, orang kaya juga merasa bahwa statusnya juga datang begitu saja —tidak berkaitan dengan hubungannya dengan orang lain, terutama orang miskin yang dihisapnya— dan menyombongkannya, membangga-banggakan statusnya tersebut.
Status keagamaan memang akan dipandang dan bahkan bisa dijadikan modal untuk memperkaya (dan membanggakan) diri di hadapan orang lain. Dalam kasus ini, status haji juga menjadi modal bagi seseorang untuk menambah dan memperkuat statusnya di hadapan masyarakat sekitarnya. Itulah yang menyebabkan orang yang telah berhaji juga melakukannya berulang-ulang, pada hal hanya diwajibkan sekali saja dalam hidup —bagi yang mampu. Bukanlah akan lebih mulia jika para hartawan ini mendermakan hartanya untuk meningkatkan taraf hidup masyarakatnya yang sedang kesusahan ini? Atau untuk membiayai proyek pencerahan melalui pendidikan dan pembebasan umat manusia?
Mari kita berhitung, bila saja ada 10 ribu calon jemaah haji ulang bersepakat mendayagunakan dana haji ulangnya itu maka akan terkumpul dana tunai sekitar Rp 280 miliar (ONH tahun ini sekitar Rp 28 juta). Dana itu lalu dimanfaatkan untuk mengentaskan rakyat miskin, membuka lapangan kerja baru, atau mensubsidi biaya pendidikan anak jalanan. Betapa banyak anggota masyarakat yang "terselamatkan" hidupnya.
Berhaji, baik sekali atau berulang-ulang, nampaknya hanya untuk menegaskan ritualitas individu, memuasi diri karena telah memiliki dan memperkuat status, sekaligus menambah egoisme diri, bahkan kekuasaan tanpa mempedulikan apa pengaruh kekayaan pribadi dalam relasi sosialnya. Output dari berhaji idealnya membuat seseorang lebih mampu memahami makna keberagamaan dalam kehidupan sosial, politik, dan kebudayaan. Para jemaah haji ditantang dalam pemahaman keberagamaan konvensional yang individual. Para jemaah haji diuji untuk menyelesaikan berbagai macam konflik sosial dan ketimpangan yang ada di masyarakat. Apakah statusnya akan membuatnya terninabobokkan oleh ilusi keberagamaannya? Ataukah ia akan menjadi manusia baru? Wallahu’alam!
*) Pemerhati masalah budaya: kini Ketua Departemen Diklat-Litbang Yayasan TAMAN KATAKATA (TK) Jember; pernah menjadi peneliti tamu di ICIP (International Center for Islam and Pluralism) Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar