Oleh: Romi Rohmatin*
Di negeri ini, nampaknya pembangunan hanya tetap akan menjadi mitos. Masih kita ingat di jaman Orde Baru, pembangunan yang dipropagandakan rejim benar-benar menjadi mitos palsu tanpa makna. Masalahnya, pembangunan dengan mengejar pertumbuhan ekonomi dan stabilitas politik (baca: depolitisasi) ternyata menghasilkan malapetaka kemiskinan yang merajalela. Kue-kue pertumbuhan hanya dinikmati oleh segelintir kalangan.
Tentu saja dewasa ini kita masih melihat bahwa kesejahteraan dan kemerataan belum tercipta. Bahkan sektor-sektor ekonomi yang seharusnya produktif untuk membiayai pelayanan publik justru dilelang pada kapitalis asing. Ketimpangan juga semakin nyata. Biaya pesta pengantin para keluarga konglomerat dan artis-selebritis juga masih setara dengan upah buruh pabrik dalam waktu kerja 200 tahun. Neoliberalisme (pasar bebas) semakin menambah penyengsaraan nasib rakyat.
Kalau kita lihat, mitos pembangunanpun masih dibuat oleh kaum penjajah. Dalam rangka menuntaskan masalah kemiskinan, tentunya diperlukan suatu strategi besar yang harus dimiliki oleh koperasi, apalagi kita adalah salah satu negara yang terlibat dalam upaya pengentasan kemiskinan melalui Millenium Development Goals (MDGs). Indonesia merupakan salah satu negara yang menyepakati program-program target-target pembangunan milenium tersebut. Tetapi akankah target untuk membawa perubahan pada kondisi yang lebih baik dapat terwujud?
Nampaknya, MDGs atau ‘target pembangunan milenium’ lahir sebagai respon kepanikan negeri-negeri maju dan lembaga-lembaga donor internasional akibat gagalnya resep ekonomi neoliberalisme yang mereka paksakan ke negeri-negeri dunia ketiga, seperti Indonesia. Resep ekonomi semacam itu terbukti membuat banyak negeri bangkrut dan jurang antara sedikit orang kaya dengan milyaran orang miskin semakin lebar. Itulah sebabnya setelah lima tahun, 8 cita-cita MDGs untuk menghapus kemiskinan tahun 2015, yang dideklarasikan oleh 189 negeri-negeri miskin, tidak satupun menunjukkan tanda-tanda keberhasilan.
Selama lima tahun, target MDGs tidak berhasil menurunkan kematian 500.000 kaum perempuan akibat melahirkan setiap tahunnya di negeri-negeri miskin. MDGs juga tidak mampu berbuat banyak terhadap 827 juta orang yang hidup dalam kemiskinan ekstrim pada 10 tahun mendatang, 50 negara yang sudah semakin miskin, serta 65 negeri yang beresiko menyusul miskin 35 tahun lagi (The Human Development Report: 2005).
Sekilas MDGs tampak manis dan menjanjikan; seakan-akan kemiskinan di negeri-negeri dunia ketiga adalah penyakit bawaan yang harus diobati oleh resep-resep dari pemerintah negeri-negeri maju, pemilik hak veto PBB. Sehingga mereka membidani deklarasi MDGs untuk ‘menolong’ negeri-negeri miskin. Seperti halnya Bank Dunia (WB) dan Bank Pembangunan Asia (ADB) yang ‘bermurah hati’ mendanai berbagai proyek-proyek MDGs lewat berbagai skenario utang baru maupun debt swap.
Namun alangkah palsunya kebaikan tersebut di hadapan kenyataan bahwa tata ekonomi dunia saat ini sangat merugikan negeri-negeri miskin. Ekonomi yang demikian membuat 2,5 miliar (40%) rakyat hidup di bawah 2 USD/hari, berbagi hanya 5% dari total pendapatan dunia, sementara 54% pendapatan tersebut masuk ke hanya 10% kantung orang-orang terkaya di negeri-negeri maju. Negeri-negeri miskin harus menanggung beban dan bunga utang yang luar biasa besar, sementara pemodal-pemodal asing negeri-negeri maju menguasai sumber-sumber alamnya yang seharusnya dapat membiayai kesejahteraan.
Inilah globalisasi ekonomi pasar bebas (neoliberalisme) yang bukan mengglobalkan kemakmuran, melainkan kemiskinan. Yang memudahkan penjajahan baru (neo-imperialisme) lewat pemaksaan syarat-syarat demi kemudahan investasi dan perdagangan bebas; membuat sumber-sumber kekayaan alam di negeri-negeri dunia ketiga habis dimiliki oleh asing (AS, Jepang, dan Eropa) dan keuntungannya masuk ke kantung-kantung asing; membuat barang-barang asing bebas masuk (impor beras, tekstil, dan barang konsumsi lainnya); subsidi pangan, pendidikan, kesehatan dicabut; perusahaan milik negara (Telkom, PDAM, Listrik, dsb) termasuk lembaga pendidikan (Universitas) dan Rumah Sakit dijual ke swasta asing yang membuatnya semakin mahal dari hari ke hari. Inilah sumber kesengsaraan petani, buruh, dan orang miskin di seluruh dunia, yang sudah terbukti membuat bangkrut banyak negeri di Amerika Latin.
MDGs nampaknya palsu dan bohong karena negeri-negeri sasarannya masih terus menerus dipaksa membayar utang luar negeri yang seharusnya bisa digunakan untuk biaya kesejahteraan. MDGs tidak bisa tercapai karena pemerintah diharuskan menjual perusahaan-perusahaan milik negara (BUMN) ke swasta asing. MDGs hanyalah angan-angan karena uang dari hasil sumber alam kita juga dimiliki asing. Bahkan Bank Dunia dan ADB memberikan kita utang baru untuk membiayai MDGs, yang harus kita bayar cepat atau lambat.
Bagi negeri kita, hambatan utama keberhasilan MDGs adalah besarnya beban utang luar negeri dan penguasaan sumber daya alam negeri-negeri miskin oleh modal asing. Selama kedua hal itu tidak dicarikan jalan keluarnya, maka MDGs hanya menjadi pajangan belas kasihan, bahkan wadah cuci tangan pemerintah, negeri-negeri maju kepada negeri-negeri miskin yang tak dapat merubah situasi kemiskinan secara struktural (mendasar). Tanpa penghapusan utang luar negeri, MDGs hanya sekedar membuat negeri miskin bangkrut untuk dapat membayar kembali utangnya kepada negeri-negeri maju.
Maka, tidaklah heran jika laporan pencapaian MDGs yang disusun Bank Pembangunan Asia (ADB) dan UNESCAP (Komisi Ekonomi dan Sosial PBB untuk Asia dan Pasifik) tanggal 16 Oktober 2006, menyatakan ‘Indonesia paling gagal’ dalam pencapaian MDGs bersama-sama Bangladesh, Laos, Mongolia, Myanmar, Pakistan, Papua Niugini, dan Filipina.
Kebijakan ekonomi makro Indonesia yang pro-neoliberalisme, tidak memberikan syarat bagi suksesnya target MDGs. Bank Dunia adalah salah satu pihak yang harus bertanggungjawab terhadap kegagalan MDGs Indonesia, karena Bank Dunia adalah pihak yang paling memaksa agar Indonesia melaksanakan paket-paket deregulasi pasar yang pada prakteknya berkontradiksi dengan cita-cita MDGs. Dari fakta tersebut nampaknya MDGs tidak lebih dari suatu ilusi yang diciptakan oleh penjajah global terhadap negara-negara miskin.
*)Ketua Bidang Pemberdayaan Perempuan LSM BTNI (Barisan Tani Nelayan Indonesia) dan pengurus NU di Trenggalek Jawa Timur.
Di negeri ini, nampaknya pembangunan hanya tetap akan menjadi mitos. Masih kita ingat di jaman Orde Baru, pembangunan yang dipropagandakan rejim benar-benar menjadi mitos palsu tanpa makna. Masalahnya, pembangunan dengan mengejar pertumbuhan ekonomi dan stabilitas politik (baca: depolitisasi) ternyata menghasilkan malapetaka kemiskinan yang merajalela. Kue-kue pertumbuhan hanya dinikmati oleh segelintir kalangan.
Tentu saja dewasa ini kita masih melihat bahwa kesejahteraan dan kemerataan belum tercipta. Bahkan sektor-sektor ekonomi yang seharusnya produktif untuk membiayai pelayanan publik justru dilelang pada kapitalis asing. Ketimpangan juga semakin nyata. Biaya pesta pengantin para keluarga konglomerat dan artis-selebritis juga masih setara dengan upah buruh pabrik dalam waktu kerja 200 tahun. Neoliberalisme (pasar bebas) semakin menambah penyengsaraan nasib rakyat.
Kalau kita lihat, mitos pembangunanpun masih dibuat oleh kaum penjajah. Dalam rangka menuntaskan masalah kemiskinan, tentunya diperlukan suatu strategi besar yang harus dimiliki oleh koperasi, apalagi kita adalah salah satu negara yang terlibat dalam upaya pengentasan kemiskinan melalui Millenium Development Goals (MDGs). Indonesia merupakan salah satu negara yang menyepakati program-program target-target pembangunan milenium tersebut. Tetapi akankah target untuk membawa perubahan pada kondisi yang lebih baik dapat terwujud?
Nampaknya, MDGs atau ‘target pembangunan milenium’ lahir sebagai respon kepanikan negeri-negeri maju dan lembaga-lembaga donor internasional akibat gagalnya resep ekonomi neoliberalisme yang mereka paksakan ke negeri-negeri dunia ketiga, seperti Indonesia. Resep ekonomi semacam itu terbukti membuat banyak negeri bangkrut dan jurang antara sedikit orang kaya dengan milyaran orang miskin semakin lebar. Itulah sebabnya setelah lima tahun, 8 cita-cita MDGs untuk menghapus kemiskinan tahun 2015, yang dideklarasikan oleh 189 negeri-negeri miskin, tidak satupun menunjukkan tanda-tanda keberhasilan.
Selama lima tahun, target MDGs tidak berhasil menurunkan kematian 500.000 kaum perempuan akibat melahirkan setiap tahunnya di negeri-negeri miskin. MDGs juga tidak mampu berbuat banyak terhadap 827 juta orang yang hidup dalam kemiskinan ekstrim pada 10 tahun mendatang, 50 negara yang sudah semakin miskin, serta 65 negeri yang beresiko menyusul miskin 35 tahun lagi (The Human Development Report: 2005).
Sekilas MDGs tampak manis dan menjanjikan; seakan-akan kemiskinan di negeri-negeri dunia ketiga adalah penyakit bawaan yang harus diobati oleh resep-resep dari pemerintah negeri-negeri maju, pemilik hak veto PBB. Sehingga mereka membidani deklarasi MDGs untuk ‘menolong’ negeri-negeri miskin. Seperti halnya Bank Dunia (WB) dan Bank Pembangunan Asia (ADB) yang ‘bermurah hati’ mendanai berbagai proyek-proyek MDGs lewat berbagai skenario utang baru maupun debt swap.
Namun alangkah palsunya kebaikan tersebut di hadapan kenyataan bahwa tata ekonomi dunia saat ini sangat merugikan negeri-negeri miskin. Ekonomi yang demikian membuat 2,5 miliar (40%) rakyat hidup di bawah 2 USD/hari, berbagi hanya 5% dari total pendapatan dunia, sementara 54% pendapatan tersebut masuk ke hanya 10% kantung orang-orang terkaya di negeri-negeri maju. Negeri-negeri miskin harus menanggung beban dan bunga utang yang luar biasa besar, sementara pemodal-pemodal asing negeri-negeri maju menguasai sumber-sumber alamnya yang seharusnya dapat membiayai kesejahteraan.
Inilah globalisasi ekonomi pasar bebas (neoliberalisme) yang bukan mengglobalkan kemakmuran, melainkan kemiskinan. Yang memudahkan penjajahan baru (neo-imperialisme) lewat pemaksaan syarat-syarat demi kemudahan investasi dan perdagangan bebas; membuat sumber-sumber kekayaan alam di negeri-negeri dunia ketiga habis dimiliki oleh asing (AS, Jepang, dan Eropa) dan keuntungannya masuk ke kantung-kantung asing; membuat barang-barang asing bebas masuk (impor beras, tekstil, dan barang konsumsi lainnya); subsidi pangan, pendidikan, kesehatan dicabut; perusahaan milik negara (Telkom, PDAM, Listrik, dsb) termasuk lembaga pendidikan (Universitas) dan Rumah Sakit dijual ke swasta asing yang membuatnya semakin mahal dari hari ke hari. Inilah sumber kesengsaraan petani, buruh, dan orang miskin di seluruh dunia, yang sudah terbukti membuat bangkrut banyak negeri di Amerika Latin.
MDGs nampaknya palsu dan bohong karena negeri-negeri sasarannya masih terus menerus dipaksa membayar utang luar negeri yang seharusnya bisa digunakan untuk biaya kesejahteraan. MDGs tidak bisa tercapai karena pemerintah diharuskan menjual perusahaan-perusahaan milik negara (BUMN) ke swasta asing. MDGs hanyalah angan-angan karena uang dari hasil sumber alam kita juga dimiliki asing. Bahkan Bank Dunia dan ADB memberikan kita utang baru untuk membiayai MDGs, yang harus kita bayar cepat atau lambat.
Bagi negeri kita, hambatan utama keberhasilan MDGs adalah besarnya beban utang luar negeri dan penguasaan sumber daya alam negeri-negeri miskin oleh modal asing. Selama kedua hal itu tidak dicarikan jalan keluarnya, maka MDGs hanya menjadi pajangan belas kasihan, bahkan wadah cuci tangan pemerintah, negeri-negeri maju kepada negeri-negeri miskin yang tak dapat merubah situasi kemiskinan secara struktural (mendasar). Tanpa penghapusan utang luar negeri, MDGs hanya sekedar membuat negeri miskin bangkrut untuk dapat membayar kembali utangnya kepada negeri-negeri maju.
Maka, tidaklah heran jika laporan pencapaian MDGs yang disusun Bank Pembangunan Asia (ADB) dan UNESCAP (Komisi Ekonomi dan Sosial PBB untuk Asia dan Pasifik) tanggal 16 Oktober 2006, menyatakan ‘Indonesia paling gagal’ dalam pencapaian MDGs bersama-sama Bangladesh, Laos, Mongolia, Myanmar, Pakistan, Papua Niugini, dan Filipina.
Kebijakan ekonomi makro Indonesia yang pro-neoliberalisme, tidak memberikan syarat bagi suksesnya target MDGs. Bank Dunia adalah salah satu pihak yang harus bertanggungjawab terhadap kegagalan MDGs Indonesia, karena Bank Dunia adalah pihak yang paling memaksa agar Indonesia melaksanakan paket-paket deregulasi pasar yang pada prakteknya berkontradiksi dengan cita-cita MDGs. Dari fakta tersebut nampaknya MDGs tidak lebih dari suatu ilusi yang diciptakan oleh penjajah global terhadap negara-negara miskin.
*)Ketua Bidang Pemberdayaan Perempuan LSM BTNI (Barisan Tani Nelayan Indonesia) dan pengurus NU di Trenggalek Jawa Timur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar