Selasa

Menakar Koalisi Golkar-PDIP

WACANA
Oleh: M. Husnaini*

Pertemuan dua partai politik besar, Golkar dan PDIP di Medan, Sumatera Utara, Rabu (20/6), menarik untuk diamati. Meski disebut hanya sebagai silaturrahim, sungguh pertemuan ini tidak bisa dianggap pertemuan biasa. Ini adalah pertemuan dua kekuatan politik besar yang berbeda haluan. Golkar adalah partai koalisi pemerintah saat ini. Sedangkan PDIP merupakan partai yang beroposisi terhadap pemerintah. Tidak heran, kalau kemudian berbagai spekulasi muncul ke permukaan menyusul dilaksanakannya pertemuan partai berlambang beringin dan kepala banteng tersebut. Banyak kalangan menilai pertemuan tersebut untuk kepentingan Pilpres 2009. Di samping itu, tidak sedikit pula yang menilai pertemuan itu sebagai upaya memuluskan program interpelasi terhadap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Sejatinya, koalisi adalah praktek yang lumrah (wajar) dalam panggung perpolitikan sebuah negara demokratis. Bukan suatu hal yang aneh bin ajaib jika ada dua, bahkan lebih partai politik yang sepakat melakukan koalisi untuk memerintah atau beroposisi. Semua itu sah-sah saja. Tidak ada yang bisa melarangnya. Namun, jika koalisi itu terjadi pada Golkar-PDIP, urusannya bisa jadi lain. Bagaimana mungkin, PDIP, yang sejak semula telah memposisikan diri sebagai partai oposisi pemerintah, kini justru bersepakat untuk "bergandengan tangan" dengan Golkar yang justru tengah berkuasa. Selain itu, Golkar dan PDIP juga dua partai yang selalu berhadap-hadapan sejak Orde Baru. Dan, semua orang tahu itu. Inilah yang menarik untuk diamati. Sebagian kalangan bahkan melihat ada agenda besar yang sedang dirilis kedua partai politik tersebut. Namun, apakah agenda besar di balik pertemuan itu? Tentu masih butuh waktu untuk menjawabnya. Yang jelas, di intern kedua partai politik itu sendiri belum satu suara dalam menyikapi kemungkinan pertemuan itu akan berlanjut ke koalisi permanen. Di lingkungan PDIP, banyak pihak yang pesimistis, bahkan menolak mentah-mentah, jika PDIP bersekutu dengan Golkar. Alasannya jelas, di tingkat grass-roots masih banyak kader yang sulit dipersatukan dengan Golkar. Di lain pihak, Golkar juga demikian. Wakil Ketua Umum DPP Partai Golkar, Agung Laksono, secara tegas, membantah kalau acara silaturrahim di Medan itu disebut sebagai langkah awal menuju koalisi. Menurut Agung, acara tersebut tidak pernah dibicarakan dalam rapat DPP Golkar. Jika benar demikian, lalu untuk apa pertemuan yang melibatkan Ketua Dewan Penasehat DPP Partai Golkar, Surya Paloh dan Ketua Dewan Pertimbangan DPP PDIP, yang juga suami Mantan Presiden RI Megawati Soekarnoputri, Taufik Kiemas tersebut. Pengamat politik dari Soegeng Soerjadi Syndicates, Sukardi Rinakit, Jum'at (22/6), memiliki empat analisis tentang pertemuan yang melibatkan tokoh kunci kedua partai besar tersebut. Pertama, Golkar dan PDIP sepakat terhadap konsensus nasional baru bahwa Pancasila adalah satu-satunya ideologi untuk membendung sektarianisme yang akhir-akhir ini marak terjadi. Kedua, Golkar dan PDIP sepakat untuk mengawal demokrasi hingga 2009. Artinya, keduanya siap mempertahankan pemerintahan SBY-MJK sampai akhir masa jabatan. Upaya ini dimaksudkan, agar tidak terjadi pemotongan kekuasaan di tengah jalan. Ketiga, pertemuan Golkar dan PDIP itu diartikan sebagai konsensus informal. Artinya, jika nanti salah satu kandidat yang mereka calonkan dalam Pilpres 2009 tidak lolos, maka di putaran kedua mereka akan berkoalisi. Keempat, PDIP sedang menimbang, karena selama ini, banyak kandidat yang akan dipasangkan dengan PDIP dalam Pilpres 2009. Dari pertemuan ini, ada kemungkinan PDIP akan 'meminang' Golkar, seperti Surya Paloh, sebagai calon pasangan untuk mendampingi Megawati Soekarnoputri dalam Pilpres 2009 mendatang. Sementara itu, kesepahaman sikap keduanya paling tidak dalam sejumlah masalah di parlemen akan mempengaruhi jalannya pemerintahan SBY sekarang. Bukan mustahil, Pemerintahan SBY, akan dengan sangat mudah menggolkan kebijakan, karena PDIP yang selama ini beroposisi bisa dijinakkan oleh mitra kerjanya Golkar. Namun, yang perlu dikhawatirkan, jika PDIP-lah yang justru akan menjinakkan Golkar agar berpihak pada kubu oposisi. Jika ini yang terjadi, Golkar, yang mempunyai 126 kursi, dan PDIP, yang mempunyai 109 kursi, bersatu melawan pemerintah bisa dipastikan, keduanya akan memenanginya. Karena, keduanya hanya memerlukan 16 suara tambahan untuk meraih mayoritas. Sampai sekarang, hanya PDIP, yang secara tegas, menyatakan diri sebagai partai oposisi pemerintah. Di luar PDIP, semua partai menyatakan diri berkoalisi dalam pemerintahan SBY-MJK. Konsekuensinya, PDIP tidak menempatkan, atau memperjuangkan kadernya untuk duduk dalam kabinet. Sayangnya, kultur oposisi selama ini belum terwujud betul dalam diri PDIP, misalnya, membentuk kabinet bayangan. Dengan tidak adanya kabinet bayangan, sikap oposisi yang ditunjukkan PDIP menjadi lemah, bahkan sangat lemah. Di sisi lain, sikap koalisi yang ditunjukkan oleh beberapa partai politik lain juga, tidak saja longgar, tetapi juga tidak memiliki fatsun berpolitik. Lihat saja beberapa pemimpin partai politik yang berkoalisi menyatakan diri abstain atau menentang kebijakan pemerintah. Interpelasi tentang Iran di DPR adalah contoh koalisi tanpa fatsun dan etika itu. Koalisi yang berfatsun dan beretika seharusnya tidak boleh bersikap gamang. Sebagai anggota koalisi, pilihan sikap partainya hanya satu, yaitu berpihak kepada kebijakan pemerintah. Jika tidak, maka ia harus keluar dari barisan koalisi dan memperkuat barisan oposisi. Secara kelembagaan, pemerintahan SBY seharusnya sangat kuat karena didukung koalisi yang melampaui 70 persen. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Akibat koalisi yang sangat longgar dan tidak taat pada visi dan platform partai, telah menyebabkan pemerintahan SBY menjadi sangat lemah. Tampaknya, pertemuan Golkar-PDIP merupakan koreksi untuk realitas politik yang ambivalen dan paradoksal itu. Pemerintah yang kuat memang harus (pula) didukung koalisi dan oposisi yang kuat. Paradoks yang terjadi di Indonesia saat ini adalah pemerintahan yang lemah berhadapan dengan oposisi yang lemah pula. Padahal, pemerintahan yang lemah dengan oposisi yang lemah juga, akan membuat jalannya pemerintahan nyaris loyo, tanpa semangat, gejolak, dan koreksi. Jangan heran kalau pemerintah selama ini tidak bisa berbuat banyak untuk kesejahteraan rakyatnya. Toh, tidak akan ada yang mengkritik apa yang dilakukan pemerintah, karena memang oposisinya juga lemah, tidak kuat. Adanya oposisi yang kuat harus diapresiasi. Karena dengan demikian, akan membuat kinerja pemerintah juga semakin kuat, tidak loyo, kurang semangat, dan kurang gairah. Wallahu a'lam bish-shawaab.
*) Mahasiswa Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Surabaya

Tidak ada komentar:

Statistik pengunjung