Senin

Menanti Perlindungan Hukum TKI

WACANA
Oleh: Romi Rohmatin*

Kasus penganiayaan tenaga kerja wanita (TKW) Indonesia terjadi kembali. Perempuan bernama Ceriyati menderita siksaan fisik oleh majikannya di negeri Jiran Malaysia. Kasus ini menambah daftar panjang penderitaan yang seringkali dialami para TKW Indonesia, bukan hanya di Malaysia tetapi juga di negara-negara lain.
Selain rentan terhadap ancaman fisik, Tenaga Kerja Indonesia (TKI) pun selalu dibayang-bayangi ancaman kematian. Sebelumnya, ada 16 TKI di Malaysia terancam hukuman mati. Celakanya, negara kita (pemerintah) seringkali tidak berdaya untuk melindungi warganya. Para TKI diakui sebagai ‘pahlawan devisa, tetapi secara kasat mata keselamatan mereka seringkali diabaikan.
Para TKI umumnya berasal dari desa-desa yang tertinggal secara ekonomi. Upah yang didapat dari luar negeri dikirim buat keluarganya di kampung. Itulah sebabnya sirkulasi perekonomian di pedesaan bisa berkembang lancar. Secara tidak langsung, TKI turut membantu meringankan beban pemerintah dalam pemberdayaan ekonomi desa-desa miskin.
Berkat ‘bantuan devisa’ luar negeri itulah, daya beli masyarakat pedesaan meningkat. Sektor swasta (investor) besar maupun kecil berbondong-bondong masuk daerah pedesaan yang kian dinamis.
Ironisnya, seringkali aktivitas buruh migran tersebut
tidak pernah dianggap sebagai sebuah keterlibatan dalam proses pembangunan, baik secara mikro maupun makro. Pemerintah pun belum mengagendakan secara matang suatu kebijakan publik yang menjamin hak-hak dasariah pekerja kita di luar negeri mulai dari proses perekrutan, pelatihan, pengiriman dan kontrak kerja.
Kontribusi nyata TKI berasal dari tetesan keringat dan kerja keras tidak dapat dipandang sebagai sebuah sumbangan gratis yang dapat begitu saja diterima secara politis maupun ekonomis. Sejatinya, para pekerja migran ini mendapatkan penghargaan dalam bentuk kebijakan.
Pelarian
Tingginya angka warga desa yang menjadi TKI sebenarnya mencerminkan ketidakberhasilan pemerintah (negara) menciptakan kesejahteraan kepada rakyatnya. Negara gagal memberikan pekerjaan (yang layak) bagi warga negaranya sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945. Kemiskinan di pedesaan dan kondisi ekonomi yang morat-marit membuat masyarakat pedesaan lari ke kota (urban) maupun kota luar negeri (menjadi TKW).
Banyaknya TKI yang menjadi buruh dan pembantu rumah tangga di berbagai belahan negara menunjukkan negara ini masih salah urus. Ketimpangan ekonomi kian merajalela dan jumlah rakyat miskin terus bertambah dari tahun ke tahun meski presiden berganti presiden. Lihatlah di jalanan, banyak gelandangan dan pengemis (gepeng) serta anak-anak jalanan yang hidup terlunta-lunta. Selain itu, jumlah angka kriminalitas bertambah. Hanya untuk bertahan hidup, orang terpaksa mencuri, menjambret, bahkan membunuh.
Di daerah perkotaan, pencurian kendaraan bermotor (curanmor) bukan lagi dilakukan secara sindikasi, tetapi sudah pada taraf inisiatif pribadi. Ini berarti bahwa tingkat ketertekanan ekonomi masyarakat kita memang kian parah.
Umumnya orang desa yang bekerja di luar negeri adalah mereka yang gerah dengan kemiskinan keluarganya. Mereka pun kerap terjebak oleh iming-iming kemewahan maupun rayuan-rayuan hedonisme yang sering dipopagandakan melalui media massa (terutama TV). Akhirnya, mereka nekat mencari uang ke luar negeri baik secara legal maupun illegal. Bukankah menjadi pelacur, lonte, pencuri, penjahat, atau membudak pada para tetangga yang kaya lebih memalukan? Lari ke negeri orang, meskipun tetap menjadi kuli, tidak akan dilihat oleh para tetangga. Toh, mereka akan pulang dengan membawa banyak uang. Itulah obsesi dari mereka yang memilih lari ke luar negeri untuk memperjuangkan kehidupannya.
Obsesi tersebut memang tidak selalu sesuai dengan
realitas yang dihadapi. Apalagi kalau berangkat ke luar negeri tanpa kelengkapan dokumen dan surat-surat resmi, keberadaan mereka di negara orang lain tidak aman. Mereka harus siap dikejar-kejar, ada yang ditangkap, disiksa, dan dipulangkan. Berangkat dengan membawa uang (bahkan uang yang didapat dari hutang), tetapi pulang tidak membawa apa-apa. Hidupnya semakin sengsara.
Nasib TKI wanita lebih riskan. Selain penganiayaan, pemerasan, kekerasan, hingga perlindungan hukum yang tidak jelas, tidak sedikit yang terjebak dalam praktik perdagangan manusia (trafficking).
Kebijakan dan perlindungan hukum yang jelas bagi TKI harus menjadi agenda yang mendesak. Pemerintah Indonesia harus melakukan langkah konkret untuk melindungi buruh migran dengan meratifikasi International Convention the Rights of All Migrant Workes and Members of Their Families of 1990. Sekarang hal itu belum dilakukan.
Berkaca pada berbagai macam kasus di atas, ada beberapa hal yang perlu dilakukan pemerintah. Pertama, mengevaluasi kebijakan ekonomi yang dibuat agar tercipta keadilan dan hilangnya ketimpangan, terutama yang berpilar pada penyediaan tenaga kerja bagi rakyat. Daerah pedesaan harus mendapatkan prioritas utama bagi pembangunan karena kebanyakan korban berasal dari pedesaan. Kedua, bila pengiriman TKI tetap menjadi pilihan, negara perlu menciptakan perangkat aturan yang jelas sebagai dasar hukum untuk melakukan kontrol serta melindungi seluruh aktivitas migrasi. Aturan hukum yang jelas, tegas, dan perlindungan hukum yang serius tidak harus senantiasa menjadi wacana setiap ada kasus kekerasan yang menimpa TKI di negeri orang.
*) Ketua Bidang Pemberdayaan Perempuan LSM BTNI (Barisan Tani Nelayan Indonesia) di Trenggalek Jawa Timur.

Tidak ada komentar:

Statistik pengunjung