Senin

Revolusi Venezuela: Bantahan Tesis ‘Akhir Sejarah’

RESENSI BUKU “Revolusi Bolivarian, Hugo Chavez, dan Presiden Radikal”
Nurani Soyomukti, kolomnis produktif dan intelektual muda dari Jatim menulis buku dengan judul menantang, “Revolusi Bolivarian, Hugo Chavez, dan Presiden Radikal” dan diawali kata pengantar oleh Salahuddin Wahid alias Gus Solah. Buku setebal 234 halaman ini berusaha membantah bahwa kapitalisme adalah akhir dari sejarah. Dengan bukti-bukti teoritik dan data-data yang disajikan, ide palsu yang dilontarkan Francis Fukuyama tentang "Akhir dari Sejarah" telah rontok.
Penulis begitu elaboratif dalam menunjukkan kebuntuan kapitalisme, potensi bagi adanya sistem alternatif, dan munculnya tatanan lainnya di berbagai negara. Amerika Latin adalah contoh terbaik. Buku yang diterbitkan Resist Book, Yogyakarta (Mei, 2007) ini sampai pada upaya untuk mengangkat sebuah profil tatanan alternatif di sebuah negara yang kali ini sedang naik daun menjadi poros bagi keberanian melawan neoliberalisme (kapitalisme-global). Naiknya Hugo Chavez sejak 1998 (yang kemudian diikuti oleh beberapa tokoh kiri yang memenangkan pemilu di negaranya masing-masing seperti Evo Morales, Daniel Ortega, dll) menjadi tanda bahwa "akhir dari sejarah" telah berakhir. maka lahirlah tesis baru dari Naomi Klein, seorang teoritisi dan pengamat sosial politik, tentang adanya "akhir dari akhir sejarah".
Buku ini menggali sosok dan pola kepemimpinan Hugo Chavez. Bagaimana, sang presiden pernah coba dikudeta oleh kelompok "kaum" pemodal. Karena mereka merasa, jika Hugo Chavez memimpin terus dengan ide-ide sosialis, maka kehidupan mereka akan terancam. Sepak terjang sang presiden sangat memihak kaum miskin, terbukti banyak
perusahaan negara yang dulu dikuasai oleh pihak asing kini di nasionalisasikan. Selain itu, peraturan dan undang-undang yang di jalankan di sana berdasarkan sistem referendum.
Hugo Chavez, memiliki program di televisi nasional (baca: Indonesia semacam TVRI) Hallo President. Dalam acara ini, rakyat bisa menyampaikan "masalah" kepada
presiden, selain itu acara ini juga mengambarkan aktivitas sang presiden selama seminggu. Selain itu, untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat, maka dibuatlah
misi-misi khusus yang bertugas menangani bidang-bidang publik yang bertujuan untuk memfokuskan kerja pada bidang masing-masing. Misalnya, Mission Robinson I, yaitu
pemberantasan buta huruf bagi mereka yang terpaksa drop-out karena miskin mampu untuk dijalankan. Program ini adalah program pemerantasan buta huruf pertama kali dalam 102 tahun dan selesai Juni tahun lalu setelah 1.230.000 orang dianjarkan membaca. Dilanjutkan dengan Mission Robinson II mengajarkan 900.000 orang dewasa yang buta huruf hingga tingkat enam.
Program pembangunan sekolah dan beasiswa bagi anak-anak orang miskin adalah Mission Ribas dan Sucre, program pembangunan pusat-pusat kesehatan di tiap barrio
(kampung-kampung kumuh dan miskin) Mission Bario Adentro I, program kredit bagi petani kecil tak bertanah dan bertanah kecil Mission Vuelvan Caras, program pemastian
makanan/sembako murah bagi rakyat miskin Mission Mercal, program pembuatan tanda identitas (cedullas) gratis bagi orang-orang yang sudah tinggal di Venezuela 20-30 tahun
namun tak memperoleh hak perlindungan sebagai warga Negara.
Mission Bario Adentro II ditetapkan untuk melanjutkan pembangunan pusat-pusat diagnosa kesehatan guna semakin mengintensifkan misi yang pertama. Hasilnya, adalah berdiri 3000 sekolah Bolivarian yang baru, memasukkan 1,5 juta rakyat kesekolah-sekolah gratis. Program ini adalah yang pertama kali dalam 102 tahun. Menetapkan sistem pendidikan tinggi gratis, mendirikan Universitas Simon Bolivar, untuk mayoritas rakyat miskin yang selama ini menganggap pendidikan tinggi adalah barang mewah (rakyat miskin mendapat buku teks pelajaran gratis, transportasi ke universitas gratis, makanan gratis). Mahasiswa dan staf universitas juga bekerja bersama secara demokratis untuk membuat kurikulum (Mission Robinson I, Mission Robinson II Mission Ribas dan Sucre ).
Misi Robinson berhasil membebaskan Venezuela dari buta huruf di tahun 2005 lalu (data UNICEF) dan meluluskan 900.000 orang yang drop out sekolah dasar di tahun 2004.
Mission Ribas menyekolahkan orang-orang yang drop out SLTA, dan Sucre memberi beasiswa untuk orang miskin masuk ke Perguruan Tinggi. Secara simultan juga membangun 200 Universitas Simon Bolivar di kota-kota. Selama 102 tahun rakyat tak pernah membayangkan program-program sosial ini dapat dinikmati dengan gratis.
Mission Science diluncurkan pada bulan Maret 2006 dengan investasi lebih dari 400 juta US $ untuk menciptakan jaringan-jaringan penelitian baru di universitas-universitas Venezuela. Salah satu tujuannya adalah ‘mendemokratiskan’ ilmu pengetahuan, dalam rangka untuk dapat dijangkau sekaligus untuk melayani masyarakat.
Hugo Chavez juga memiliki program yang memihak terhadap perempuan. Isu-isu soal kesehatan dan pendidikan selalu di tekankan di sana.Baru-baru ini, sang Presiden juga menutup stasiun televisi RCTV (media anti Chavez). Penulis, Nurani Soyomukti, menilai apa yang terjadi di Venezuela tentunya kita harus kritis dan tidak sekedar memandangnya secara hitam-putih. Para pakar komunikasi tentunya paham bahwa tidak akan ada berita yang tidak memihak. Hubungan Chavez dengan TV (secara khusus) dan media massa lainnya (secara umum) di Venezuela harus dilihat dari aspek kepentingan ekonomi-politik. Pertentangan antara Chavez yang ingin membawa Venezuela ke jalan alternatif selain sosialisme dengan kaum oposisi yang pada kenyataannya memang menguasai kepemilikan media merupakan kondisi yang tidak bisa diabaikan untuk memahami demokrasi politik di Venezuela.
TV swasta yang dikuasai oleh kelompok oposisi (pengusaha) memang menjadi penghambat bagi pelaksanaan program-program perjuangan Hugo Chavez untuk melakukan transformasi sosial di negerinya. Karena itu salah satu program Chavez ketika naik menjadi presiden adalah merebut kembali televisi nasional (semacam TVRI di Indonesia) yang dapat digunakan untuk membalas penilaian-penilaian buruk dan serangan-serangan dari media Barat dan swasta yang dikuasai oleh kelompok kontra-revolusi.
Membaca buku ini anda akan terhenyak kaget! Ternyata ada sistem alternatif dengan praktek-praktek ekonomi menarik yang dipaparkan cukup detail dalam buku ini. Bisakah Indonesia seperti Venezuela? (Peresensi: Ratih Indri Hapsari)

Tidak ada komentar:

Statistik pengunjung