Senin

Menggugat Peran Negara Atas Lapindo

Oleh: Arief Fauzi Marzuki*
Belum ada kebijakan fundamental Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam menangani semburan lumpur panas PT Lapindo Brantas. Lumpur belum bisa dihentikan bahkan tanggul-tanggul yang digunakan untuk menahan laju lumpur, beberapa pekan lalu jebol. Desa Renokenongo dijadikan kolam lumpur berikutnya.
Tidak kurang dari 27.000 penduduk mengungsi ke tempat lain, dengan kehilangan sumber kehidupannya. Puluhan pabrik, desa, ratusan hektar sawah tenggelam sia-sia selama setahun lebih. Kerugian diperkirakan Rp 27,4 triliun.
Berawal dari pemberitaan media masa edisi 2 Desember 2006, Lapindo sanggup bertanggungjawab atas malapetaka yang disebabkannya. Semua proses diketahui dan juga disaksikan dan dikawal oleh pemerintah, ketika itu diwakili Wapres Yusuf Kalla. Wapres mengatakan, agar Lapindo Brantas murah hati dan jangan menawar. Namun, untuk tanah, bangunan, dan sawah milik penduduk yang terendam lumpur, dibeli dengan harga melebihi permintaan mereka sekitar 20 persen, agar mereka hidup nyaman.
Ternyata permintaan penduduk dipenuhi. Untuk tanah dihargai 1 juta per meter persegi, bangunan Rp. 1,5 juta per meter persegi, dan sawah Rp. 120.000 per meter persegi. Penduduk pun bersuka cita dan bersyukur. Tapi bagaimana pelaksanaannya? Masyarakat korban lumpur menjadi stres dan putus asa.
Sebagaimana yang dilaporkan di koran-koran, warga korban lumpur banyak yang stres bahkan ada yang meninggal. Ada warga yang minum kopi dicampur autan, ada yang sehari-hari memencet kalkulator untuk menghitung ganti rugi dan lain-lain. Hal ini diakibatkan pemerintah yang tidak konsisten dalam mengambil keputusan. Kesepakatan pembayaran ganti rugi 20 persen pada April 2007 dan 80 persen April 2008, belum juga usai, warga kian terombang-ambing. Lalu di mana peran negara?
Ali Azhar Akbar dalam bukunya, Konspirasi di Balik Lumpur Lapindo; dari Aktor hingga Strategi Kotor, (Galangpress 2007) menunjukkan, bahwa proses ganti rugi tanah penduduk dipenuhi kongkalikong sehingga terkatung-katung. Juga upaya (diam-diam) pengalihan saham perurasahaan Lapindo ke Freehold Group Limited --sebuah perusahaan di British Virgin Islands yang tak jelas pemiliknya.
Nanti, seandainya pembayaran ganti rugi itu sudah terpenuhi semua, apakah tanggungjawab Lapindo sudah usai? Apakah tanah yang tergenang lumpur menjadi milik Lapindo? Apakah penutupan jalan tol yang tergenang lumpur akan mendapat ganti rugi juga? Apakah dengan membayar semua ganti rugi, berarti para pemodal bisa seenaknya saja mengekploitasi kandungan alam? Saya khawatir kalau kasus Lapindo saat ini menjadi “pola percontohan” untuk menangani perusahaan yang cerobah dan merugikan banyak pihak.
Kejahatan lingkungan telah merajalela. Modal bisa menekuk hajat hidup orang banyak juga otoritas negara terkebiri. Masyarakat kocar-kacir. Kemudian yang terjadi adalah “bencana sosial”, di mana antara masyarakat yang satu dengan yang lainnya tidak akur lagi, hanya karena saling curiga soal jatah makan, selimut, uang ganti rugi dan lain-lain. Pengalaman ini pernah juga kita rasakan ketika menangani korban gempa di Jogja. Betapa psikologi masyarakat menjadi rawan konflik dengan saudaranya sendiri hanya karena kehilangan mie instan atau piring dalam hidup satu tenda.
Jadi wajar kalau dikatakan peran dan fungsi negara gagal dalam konteks lumpur Lapindo untuk melindungi kepentingan rakyat kecil. Kapitalisme menyandera peran negara dalam melindungi rakyat. Kapitalisme sudah menjadi raja Midas yang senantiasa lapar dan haus untuk mengembangkan modalnya. Ia tak peduli bahwa yang ia lakukan adalah membahayakan lingkungan, masyarakat sekitar, bahkan dirinya sendiri.
Untuk itu, perlu mengagendakan strategi pembangunan ekonomi yang memberi nisbah yang proposional bagi seluruh rakyat. Modal dengan segenap pirantinya tidak bisa dibiarkan berjalan tanpa koridor aturan main yang mengawalnya. Tanpa itu, pembangunan dengan jalan pengeksploitasian hanya akan menimbulkan kerusakan-kerusakan yang tak terperikan.
*) Peneliti pada Lembaga Kajian Kebangsaan (LKKb) Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

Statistik pengunjung