OLEH: SULIS STYAWAN*
Tak dipungkiri, vonis dua tahun penjara yang diberikan oleh Mahkamah Agung (MA) bagi Nurdin Halid (pertengahan September 2007, terkait kasus korupsi dana minyak goreng), tak pelak membuat kondisi internal organisasi Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) juga ikut kelimpungan. Pasalnya, Nurdin, saat ini juga masih menjabat sebagai Ketua Umum organisasi sentral yang mengurusi masalah persepakbolaan nasional itu.
Kepemimpinan Tak Efektif
Kini, dengan dipenjarakannya Nurdin, amat sulit untuk menampik beragam kenyataan yang menjadi bukti betapa tidak efektifnya proses kepemimpinan sebuah organisasi yang dijalankan dari balik jeruji besi. Pastinya, banyak proses, program, dan kegiatan organisasi yang kemudian terhambat karena lebih dahulu harus dikonfirmasikan atau menunggu keputusan sang pemimpin yang notabene berada di dalam penjara.
Dengan fakta ini, tak aneh jika ada banyak pihak yang meragukan kelancaran penyelenggaraan roda sebuah organisasi, di mana pemimpinnya tidak berada di tengah-tengah organisasi tersebut. Bagaimana ketua umum bisa menentukan kebijakan dengan baik dan efektif, kalau yang bersangkutan mendekam di penjara?
Atas dasar itu pula, banyak kalangan meminta Nurdin Halid legowo, mundur dari jabatannya sebagai Ketua Umum PSSI. Hal ini memang tidak mudah, kecuali yang bersangkutan memang ikhlas untuk mengundurkan diri.
Tembok Kejumudan
Ironisnya, meski baru-baru ini FIFA juga telah meminta agar PSSI mencari figur pemimpin lain yang bukan seorang terpidana kasus tindak kriminal, sang ketua umum ternyata tetap bersikeras tak mau mundur. Pun, terkait kondisi sang ketua umum, pejabat teras PSSI (Komite Eksekutif PSSI) ternyata juga tetap bersikeras mempertahankan Nurdin sebagai ketua umum PSSI. Bahkan, sekadar untuk memutuskan perlu tidaknya menggelar Munaslub untuk membahas masa depan PSSI pasca keluarnya putusan MA saja, Komite Eksekutif PSSI terkesan enggan bersikap.
Jika dicermati, fenomena ”kejumudan” (kemandekan berpikir) dalam segala lini dan pola pikir sebuah organisasi, sepertinya sedang melanda PSSI. Bahkan secara lebih radikal bisa dikatakan, bahwa dalam tubuh PSSI sedang terbangun sebuah ”tembok kejumudan” yang amat kokoh. Selain menunjukkan bentuk loyalitas yang ”salah”, kasus Nurdin-PSSI ini juga membuktikan bahwa PSSI memang kuat dengan jaringan orang-orang yang patuh dan taat kepada pimpinannya.
Hal ini bukan tanpa bukti. Jika kita lihat aturan yang berlaku di Indonesia, ternyata tidak ada larangan ketua PSSI terlibat kasus pidana. Hal ini tentu bertentangan dengan ketentuan dalam artikel 32 poin 4 statuta organisasi sepak bola dunia (FIFA) yang menegaskan bahwa semua pengurus sepak bola di dunia tidak boleh tersangkut perkara pidana. Mereka harus tidak dinyatakan bersalah dalam perkara kriminal.
Celakanya, dalam Ketentuan dan Pedoman Dasar PSSI --yang ditetapkan saat Munas di Makassar, April 2007 lalu--, ketentuan itu ternyata ”dihilangkan”. Pertanyaannya, siapa yang bertanggung jawab atas itu semua? Kenapa peserta Munas PSSI saat itu, dengan gampang menyetujui untuk mengubah pedoman dasar hingga menyimpang dari ketentuan statuta FIFA? Seandainya pedoman dasar PSSI masih tetap mengacu pada aturan FIFA, tentu keberadaan Nurdin Halid tak perlu diperdebatkan karena otomatis dia akan tersingkir oleh peraturan.
Tak dipungkiri, orang yang memiliki posisi, apakah di pemerintahan, legislatif, swasta, atau di organisasi olahraga sekalipun, ternyata tidak bisa lepas dari ”interest” (kepentingan) pribadi. Apa alasan pengurus sepak bola di seluruh Indonesia menuruti dan mengikuti begitu saja kehendak untuk menghapus Artikel 32 poin 4 statuta FIFA? Di sinilah kiranya akar kejumudan itu dimulai.
Sepertinya, para pengurus sepak bola se-Indonesia semuanya sudah amat ”bebal” hingga tak mau mendobrak kejumudan yang mulai menggurita dalam tubuh PSSI --bahkan malah bersama--sama memperkokoh tembok kejumudan itu! Tak mungkin hal itu terjadi kalau tidak ada ”udang di balik batu”. Pasti ada interes tertentu yang menyebabkan pengurus ”gelap mata”, demi naiknya Nurdin Halid.
Padahal, untuk diketahui, Nurdin sebelumnya juga pernah menghuni hotel prodeo juga karena kasus korupsi, sehingga dia tak akan bisa menjadi Ketua PSSI jika aturannya tidak diubah. Dari sinilah pangkal ”akal-akalan” itu dimulai. Dan untuk memuluskan jalan ini, sulit untuk menampik dugaan adanya politik uang saat Munas itu berlangsung. Sungguh ironis!
Jiwa Kepemimpinan
Dalam bukunya, ”Primal Leadership”, Daniel Goleman, Richard Boyatzis, dan Annie McKee menyatakan, bahwa seorang pemimpin seharusnya memiliki kecerdasan sosial yang tinggi, mampu mengatasi dan mengelola konflik, tidak ”membangun” tembok melainkan membangun ”jembatan” guna menciptakan harmonisasi dalam kehidupan organisasi.
Pun, kita tentu ingat dengan sentilan Presiden SBY kepada Gubernur Bengkulu yang kurang sigap dalam hal penanganan bencana gempa Bengkulu beberapa waktu lalu. Ketika itu Presiden menyatakan, bahwa ketika ada musibah, seorang pemimpin harus berada di tengah-tengah rakyat yang dipimpinnya. Seharusnya ini juga berimplikasi terhadap kasus Nurdin dan PSSI-nya.
Galibnya, dunia olahraga yang notabene memiliki hidden agenda (agenda tersembunyi) yang amat mulia, yakni mendidik budaya dan watak kedisiplinan sekaligus sebagai wahana pencitraan karakter-kepribadian sebuah bangsa, seharusnya dijauhkan dari interes pribadi dan politik uang dalam pemilihan pengurusnya.
Jika kondisi ”kejumudan” seperti ini tetap dibiarkan tumbuh dan berkembang dalam dunia olahraga --tak terkecuali internal PSSI--, maka bisa dipastikan, PSSI tak akan pernah bisa maju. Bahkan, kalau pun PSSI bisa maju dan berkembang, pasti bagian dalamnya akan ”keropos”, karena kejumudan itu tak pernah terpecahkan.
Apakah kita tetap ingin PSSI maju dengan budaya koruptif dan kejumudan itu sebagai fondasinya? Jika demikian halnya, maka rakyat Indonesia --khususnya insan sepak bola nasional--, sejak sekarang sudah harus siap berhadapan dengan kekuatan ”dinasti’ persepakbolaan nasional yang sarat intrik, kejumudan, koruptif, dan manipulatif. Karena pada gilirannya, insan-insan produk olahraga yang dihasilkan dan berbaur dengan kita adalah juga orang-orang yang jumud dan manipulatif! Semoga tidak!
*) Mahasiswa FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), pegiat Center for Education Urgency Studies (CEUS),Jogjakarta
Tak dipungkiri, vonis dua tahun penjara yang diberikan oleh Mahkamah Agung (MA) bagi Nurdin Halid (pertengahan September 2007, terkait kasus korupsi dana minyak goreng), tak pelak membuat kondisi internal organisasi Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) juga ikut kelimpungan. Pasalnya, Nurdin, saat ini juga masih menjabat sebagai Ketua Umum organisasi sentral yang mengurusi masalah persepakbolaan nasional itu.
Kepemimpinan Tak Efektif
Kini, dengan dipenjarakannya Nurdin, amat sulit untuk menampik beragam kenyataan yang menjadi bukti betapa tidak efektifnya proses kepemimpinan sebuah organisasi yang dijalankan dari balik jeruji besi. Pastinya, banyak proses, program, dan kegiatan organisasi yang kemudian terhambat karena lebih dahulu harus dikonfirmasikan atau menunggu keputusan sang pemimpin yang notabene berada di dalam penjara.
Dengan fakta ini, tak aneh jika ada banyak pihak yang meragukan kelancaran penyelenggaraan roda sebuah organisasi, di mana pemimpinnya tidak berada di tengah-tengah organisasi tersebut. Bagaimana ketua umum bisa menentukan kebijakan dengan baik dan efektif, kalau yang bersangkutan mendekam di penjara?
Atas dasar itu pula, banyak kalangan meminta Nurdin Halid legowo, mundur dari jabatannya sebagai Ketua Umum PSSI. Hal ini memang tidak mudah, kecuali yang bersangkutan memang ikhlas untuk mengundurkan diri.
Tembok Kejumudan
Ironisnya, meski baru-baru ini FIFA juga telah meminta agar PSSI mencari figur pemimpin lain yang bukan seorang terpidana kasus tindak kriminal, sang ketua umum ternyata tetap bersikeras tak mau mundur. Pun, terkait kondisi sang ketua umum, pejabat teras PSSI (Komite Eksekutif PSSI) ternyata juga tetap bersikeras mempertahankan Nurdin sebagai ketua umum PSSI. Bahkan, sekadar untuk memutuskan perlu tidaknya menggelar Munaslub untuk membahas masa depan PSSI pasca keluarnya putusan MA saja, Komite Eksekutif PSSI terkesan enggan bersikap.
Jika dicermati, fenomena ”kejumudan” (kemandekan berpikir) dalam segala lini dan pola pikir sebuah organisasi, sepertinya sedang melanda PSSI. Bahkan secara lebih radikal bisa dikatakan, bahwa dalam tubuh PSSI sedang terbangun sebuah ”tembok kejumudan” yang amat kokoh. Selain menunjukkan bentuk loyalitas yang ”salah”, kasus Nurdin-PSSI ini juga membuktikan bahwa PSSI memang kuat dengan jaringan orang-orang yang patuh dan taat kepada pimpinannya.
Hal ini bukan tanpa bukti. Jika kita lihat aturan yang berlaku di Indonesia, ternyata tidak ada larangan ketua PSSI terlibat kasus pidana. Hal ini tentu bertentangan dengan ketentuan dalam artikel 32 poin 4 statuta organisasi sepak bola dunia (FIFA) yang menegaskan bahwa semua pengurus sepak bola di dunia tidak boleh tersangkut perkara pidana. Mereka harus tidak dinyatakan bersalah dalam perkara kriminal.
Celakanya, dalam Ketentuan dan Pedoman Dasar PSSI --yang ditetapkan saat Munas di Makassar, April 2007 lalu--, ketentuan itu ternyata ”dihilangkan”. Pertanyaannya, siapa yang bertanggung jawab atas itu semua? Kenapa peserta Munas PSSI saat itu, dengan gampang menyetujui untuk mengubah pedoman dasar hingga menyimpang dari ketentuan statuta FIFA? Seandainya pedoman dasar PSSI masih tetap mengacu pada aturan FIFA, tentu keberadaan Nurdin Halid tak perlu diperdebatkan karena otomatis dia akan tersingkir oleh peraturan.
Tak dipungkiri, orang yang memiliki posisi, apakah di pemerintahan, legislatif, swasta, atau di organisasi olahraga sekalipun, ternyata tidak bisa lepas dari ”interest” (kepentingan) pribadi. Apa alasan pengurus sepak bola di seluruh Indonesia menuruti dan mengikuti begitu saja kehendak untuk menghapus Artikel 32 poin 4 statuta FIFA? Di sinilah kiranya akar kejumudan itu dimulai.
Sepertinya, para pengurus sepak bola se-Indonesia semuanya sudah amat ”bebal” hingga tak mau mendobrak kejumudan yang mulai menggurita dalam tubuh PSSI --bahkan malah bersama--sama memperkokoh tembok kejumudan itu! Tak mungkin hal itu terjadi kalau tidak ada ”udang di balik batu”. Pasti ada interes tertentu yang menyebabkan pengurus ”gelap mata”, demi naiknya Nurdin Halid.
Padahal, untuk diketahui, Nurdin sebelumnya juga pernah menghuni hotel prodeo juga karena kasus korupsi, sehingga dia tak akan bisa menjadi Ketua PSSI jika aturannya tidak diubah. Dari sinilah pangkal ”akal-akalan” itu dimulai. Dan untuk memuluskan jalan ini, sulit untuk menampik dugaan adanya politik uang saat Munas itu berlangsung. Sungguh ironis!
Jiwa Kepemimpinan
Dalam bukunya, ”Primal Leadership”, Daniel Goleman, Richard Boyatzis, dan Annie McKee menyatakan, bahwa seorang pemimpin seharusnya memiliki kecerdasan sosial yang tinggi, mampu mengatasi dan mengelola konflik, tidak ”membangun” tembok melainkan membangun ”jembatan” guna menciptakan harmonisasi dalam kehidupan organisasi.
Pun, kita tentu ingat dengan sentilan Presiden SBY kepada Gubernur Bengkulu yang kurang sigap dalam hal penanganan bencana gempa Bengkulu beberapa waktu lalu. Ketika itu Presiden menyatakan, bahwa ketika ada musibah, seorang pemimpin harus berada di tengah-tengah rakyat yang dipimpinnya. Seharusnya ini juga berimplikasi terhadap kasus Nurdin dan PSSI-nya.
Galibnya, dunia olahraga yang notabene memiliki hidden agenda (agenda tersembunyi) yang amat mulia, yakni mendidik budaya dan watak kedisiplinan sekaligus sebagai wahana pencitraan karakter-kepribadian sebuah bangsa, seharusnya dijauhkan dari interes pribadi dan politik uang dalam pemilihan pengurusnya.
Jika kondisi ”kejumudan” seperti ini tetap dibiarkan tumbuh dan berkembang dalam dunia olahraga --tak terkecuali internal PSSI--, maka bisa dipastikan, PSSI tak akan pernah bisa maju. Bahkan, kalau pun PSSI bisa maju dan berkembang, pasti bagian dalamnya akan ”keropos”, karena kejumudan itu tak pernah terpecahkan.
Apakah kita tetap ingin PSSI maju dengan budaya koruptif dan kejumudan itu sebagai fondasinya? Jika demikian halnya, maka rakyat Indonesia --khususnya insan sepak bola nasional--, sejak sekarang sudah harus siap berhadapan dengan kekuatan ”dinasti’ persepakbolaan nasional yang sarat intrik, kejumudan, koruptif, dan manipulatif. Karena pada gilirannya, insan-insan produk olahraga yang dihasilkan dan berbaur dengan kita adalah juga orang-orang yang jumud dan manipulatif! Semoga tidak!
*) Mahasiswa FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), pegiat Center for Education Urgency Studies (CEUS),Jogjakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar