Senin

Menyikapi Tayangan Seks Dan Kekerasan

SOROT
Oleh: Ardhie Raditya*

Secara sepintas, keberadaan TV (Televisi) memang memiliki peran penting dalam kehidupan masyarakat abad ke-21. Hampir semua informasi di berbagai lini kehidupan bisa diakomodasikan dalam satu media yang bernama TV. Mulai dari peristiwa-peristiwa penting dalam dan luar negeri, bencana alam, analisis dari para pakar, hingga fenomena kemiskinan dan ketidakbecusan kinerja pemerintahan dapat diketahui masyarakat hanya dengan duduk-duduk dan sambil menyeruput kopi hangat di depan TV.
Namun, jika ditelusuri lebih jauh, ternyata keberadaan TV pun memiliki dampak yang tidak kalah buruknya dengan flu burung. Keberadaan TV itu bisa merusak keberadaban dan nilai-nilai kemanusiaan. Sebab, yang ditayangkan TV itu tidak hanya berkisar masalah pentranformasian informasi penting bagi masyarakat. Tetapi, tayangan TV kita kini telah mengandung tayangan yang sarat seks dan kekerasan. Dimensi seks dan kekerasan ini dapat dilihat dalam tayangan yang bertajuk sinetron, misalnya.
Menurut YKAI, ada salah satu sinetron yang mengandung seks dan kekerasan adalah sinetron remaja yang bertajuk Inikah Rasanya. Dalam sinetron itu ternyata tidak hanya menyuguhkan tentang arti penting sebuah solidaritas pertemanan (in-group) yang berbeda sosial-ekonominya. Bahkan, sinetron ini ternyata tidak hanya menyodorkan tentang bagaimana membangun hubungan sosial dengan anak-anak di luar komunitasnya (out-group) agar tercipta sebuah keseimbangan sosial (social equilibrium).
Tapi, dalam sinetron itu juga menampilkan fenomena seks seperti adegan ciuman, gaya pakaian kebarat-baratan yang memperlihatkan aurat dan kemolekan tubuh wanita, hingga aroma-aroma pemerkosaan. Yang sebetulnya adegan ini merangsang syahwat-syahwat para pemirsanya, baik secara implisit ataupun eksplisit. Sudah sarat muatan seks, tayangan sinteron remaja itu juga mempertontonkan berbagai adegan kekerasan. Seperti perkelahian, tawuran, bentuk makian, ancaman, pemerkosaan, pelecehan seksual, dll.
Memang, diakui bahwa fenomena seks dan kekerasan itu tidak hanya dapat dilihat dalam tayangan TV bertemakan sinetron saja. Tayangan seperti itu juga dapat kita lihat dalam drama-drama religi, konser musik, obrolan ringan dan reality show. Penelitian yang dilakukan KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) dari Oktober-Desember 2006, menunjukkan ada sejumlah acara yang berbau seks dan kekerasan.
Seperti, Fenomena dan Ketawa Special bulan November 2006 (di TV 7), Dorce Show bulan November 2006 (di Trans TV), Om Farhan 10 November, 1 dan 4 Desember (di ANTV), Curhat, Bisikan Nafsu dan Sinetron Sore (di Lativi), Prog. Hitam-Putih, Misteri Ilahi dan Aku Cemburu (di Indosiar), Panggung Hahahihi, Temulawak dan Suratan Takdir (di SCTV), Dewa-dewi dan Sinema Religi (di TPI), serta Panggung Emas 10 November (di RCTI) (Surya, 24/12/06).
Namun, apa pun tayangannya justru adegan kekerasan dan seksual yang ada didalamnya itu tanpa disadari mudah ditiru masyarakat, terutama kaum remaja dan anak-anak. Mereka mengangggap bahwa adegan seperti itu adalah tindakan yang dianggap benar. Karenanya, adegan tersebut menjadi pantas ditiru dan dihabituasi (diritualkan) dalam kehidupan sehari-hari. Proses imitasi ini akan menggurita dalam dirinya, ketika menonton sinetron tersebut mereka tak lagi didampingi para orang tua atau orang-orang dewasa yang dapat memberi pemahaman dan klarifikasi tentang adegan sinetron mana yang buruk (tak pantas ditiru) dan yang baik (pantas ditiru).
Penelitian yang dilakukan di AS, menunjukkan bahwa anak-anak dan para remaja yang menghabiskan waktu 3-4 jam/hari atau sekitar 21-28 jam/minggu di depan TV, menunjukkan sejumlah fakta yang sangat menyedihkan. Fakta itu berupa adanya mati rasa terhadap berbagai bentuk ancaman kekerasan (baik kekerasan bersifat fisik, psikologis apalagi seksual), suka menggunakan kekerasan dalam memecahkan persoalan, meniru berbagai bentuk kekerasan di TV, atau mengidentifikasi diri mereka sebagai aktor-aktor kekerasan.
Ironisnya, justru anak-anak dan para remaja kita, menonton TV dalam kadar waktu yang overload. Data tahun 2004 menunjukkan bahwa anak-anak di sini menonton TV dalam waktu 30-35 jam/minggu atau 1560-1820 jam/tahun. Padahal, waktu sekolah mereka tidak lebih dari 1000 jam/tahun.
Tentu, data itu jauh berbeda pada saat ini, di saat tayangan TV semakin semeriah, semenarik dan sekompleks sekarang. Itu berarti, jumlah waktu menonton anak-anak dan remaja kita saat ini kemungkinan besar jauh lebih tinggi dari tahun 2002. Kalau begitu faktanya, saya lantas bertanya-tanya, jika anak-anak di AS sudah banyak meniru adegan kekerasan karena hanya menonton TV dengan waktu 21-28 jam/minggu, maka bagaimana kondisi hidup anak-anak Indonesia yang waktu tontonnya sudah berkisar 30-35 jam/minggu? Mungkinkah bangsa ini tengah berjalan menuju bangsa yang berbudaya kekerasan dan mengamini prilaku seks? Atau, jangan-jangan ini sebuah lonceng kematian generasi penerus bangsa yang humanis dan civilis? Entahlah.
Tapi yang jelas, agar bangsa ini menjadi bangsa yang sehat, cerdas dan beradab, maka kita perlu mengkritik berbagai tayangan TV yang berbau seks dan kekerasan. Namun, yang perlu digarisbawahi bahwa aksi kritik itu tidak hanya berlaku saat ini saja. Pengkritikan tayangan TV yang sarat muatan seks dan kekerasan itu haruslah tanpa akhir, sepanjang zaman. Aksi kritik yang tak terbatas ruang-waktu.
Bagaimana menyalurkan kritikan itu? Tentu, tak lepas dari adanya interaksi yang sinambung dan berkelanjutan antara masyarakat dengan KPI. Artinya, masyarakat harus 'menyalak' ketika ada stasiun TV menayangkan tayangan bermuatan seks dan kekerasan. Dan nyalakan itu perlu disuarakan secara lantang dihadapan KPI. Dari nyalakan masyarakat inilah, kemudian KPI memberi teguran kepada TV yang bersangkutan.
Kalau ternyata pihak TV yang bersangkutan tidak mengindahkan tegoran, maka KPI itu pun perlu memejahijaukannya. Tak perlu takut, ragu-ragu apalagi ambigu. Sebab, TV yang menyuguhkan tayangan yang sarat muatan seks dan kekerasan itu jelas-jelas bertentangan dengan UU No. 32/2002 tentang Penyiaran. Dan langkah memejahijaukan itu, juga didukung masyarakat luas. Jadi, don't wory KPI. Namun, akankah hal ini terwujud secara nyata dalam implementasinya? Semoga!
*) Mahasiswa Pascasarjana Sosiologi UGM, kini ketua forum diskusi sosiologi (Fordis), Jogjakarta.

Tidak ada komentar:

Statistik pengunjung