Senin

Pesantren Dan Perjuangan Kaum Sub-Altern

OPSI
Oleh: SRI PRAPTIANINGSIH*

Memperbincangkan dunia pesantren memang tidak pernah ada habisnya. Setelah keterlibatan sebagian besar pesantren dalam arus politik praktis beberapa waktu yang lalu banyak digugat, hari ini kembali pesantren diminta membenahi peran sosialnya di tengah maraknya konflik sosial (etnis, ras, agama) dan problem-problem lingkungan. Isu etnis, agama dan isu lingkungan nampaknya kedepan akan menjadi isu sensitif di tengah percaturan global. Di sinilah peran pesantren dianggap sebagian masyarakat sebagai komponen penting dan sentral dalam masyarakat. Predikat seperti ini bukan melekat begitu saja pada diri pesantren, akan tetapi sejarahlah yang mencatat bahwa keampuhan pesantren, sekaligus tokohnya (baca: kyai), selalu mendapat posisi tawar guna menyelesaikan problem-problem sosial kemasyarakatan tadi. Dalam konteks seperti ini, pesantren pernah diilustrasikan secara oleh George Bartons dalam bukunya "Radikalisme Radikal".
Dalam orasi ilmiah Wisuda Sarjana IAI Nurul Jadid-Probolinggo-Jawa Timur tahun lalu, Bisri Effendi, peneliti senior LIPI, yang juga alumni pesantren, mengemukakan tesis menarik tentang pesantren kaitannya dengan percaturan global. Dia memulai analisisnya dari model dan orieantasi pendidikan pesantren yang memang memiliki karakteristik berbeda dengan lembaga-lembaga pendidikan lain di tanah air.
Menurutnya, sejarah pendidikan pesantren beberapa dekade telah menentukan lain. Dari tahun ke tahun sejak 1937-an pendidikan pesantren mulai tergoda oleh "gemerlap"nya pendidikan Barat. Satu persatu dan kemudian berbondong-bondong, pesantren menyongsong pendidikan model Barat dan semakin melupakan model pendidikan yang menjadi karakteristiknya sejak awal (khittah pendidikan pesantren). Banyak pesantren mengadopsi sistem pendidikannya dengan sistem pendidikan Kolonial. Meskipun ada sebagian pesantren yang tetap bertahan dengan khittahnya serta menerima konsekuensinya. Akibatnya, jangan heran jika sekarang teramat jarang pesantren yang mampu melahirkan ilmuwan yang bukan saja tangguh dalam penguasaan ilmu, tetapi juga jelas dan patut dicontoh kepribadiannya. Kebanyakan pesantren sekarang menjadi tak begitu berbeda dengan sekolah-sekolah umum di luar pesantren. Bahkan tidak sedikit pesantren yang tak ubahnya seperti sebuah asrama sekolah.
Kita semakin kesulitan menemukan tradisi munadharah, syawir, takrar, bahtsul masail, atau apapun namanya di pesantren, sesuatu yang dahulu menjadi karakter intelektual pesantren yang paling menonjol. Dalam pengajian kitab-kitab kuning, kutubul mu'tabarah, kita mulai kesulitan menjumpai tradisi menengok dan membaca syarah dan syahrul-syarah, sesuatu yang sesungguhnya meluaskan pandangan tentang berbagai hal bagi santri.(Bisri Effendi, 2005)
Bukan dalam rangka membenarkan apa yang diutarakan Bisri Effendi di atas, namun merenungkan apa yang menjadi kegelisahan beliau tidaklah salah. Fakta sosial yang mungkin masih layak untuk dibuka kembali adalah saat sebagian besar pesantren telah begitu jauh terseret dalam ranah politik praktis. Spontan pro-kontra keterlibatan pesantren dalam arus ini pun bermunculan. Sementara, di luar sana, banyak kelompok masyarakat yang secara sosial, ekonomi, etnis, agama justru terabaikan. Meminjam istilah yang pernah dipakai Antonio Gramsci, kelompok inilah yang disebut kaum sub-altern.
Sub-Altern
Gramsci memakai istilah ini ketika merujuk kepada mereka yang secara sosial, politik dan ekonomi terpinggirkan. Mereka adalah buruh pabrik, buruh bangunan, buruh migran, buruh tani yang kesemuanya tidak memiliki ruang akses berhadapan dengan dominasi kekuasaan dan kapital. Lalu dimanakah suara mereka?
Ada dua kemungkinan. Pertama, sejatinya suara mereka tetap nyaring untuk didengar namun sayangnya pemegang kebijakan (atau bahkan kita) tidak peduli dengan suara, jeritan, tangis mereka. Kita terlalu asyik dengan urusan kita sendiri.
Kedua, suara mereka sengaja dibungkam dan ditiadakan agar kekuasaan kelas dominan (penguasa) ini tetap aman. Bahkan untuk yang satu ini, tidak segan-segan menggunakan cara-cara represif dan sarat dengan kekerasan.
Melihat kemungkinan-kemungkinan di atas, akan membuka gagasan yang pernah ditulis Spivak tentang bagaimana seharusnya suara-suara mereka dapat disuarakan dan kemudian bisa didengar oleh publik penting dilakukan. Menurutnya, harus ada sekelompok orang yang intensif mendengarkan suara-suara mereka. Sehingga di antara mereka terjalin solidaritas sebagai sesama kelompok yang terpinggirkan.
Pesantren bisa menjadi penyuara kaum sub-altern ini dengan semua jaringan yang banyak memiliki kesempatan dan energi. Sumber Daya Manusia (SDM) yang bertebaran di mana-mana, tidaklah sulit melakukan kajian-kajian dan pendampingan secara intensif. Karena dalam banyak kesempatan, pesantren pun selalu dilirik untuk ikut menyumbangkan pemikiran, tenaga dan semua potensi yang dimilikinya, meskipun sangat disayangkan ketika tenaga pesantren hanya dicurahkan untuk proyek pengembangan fisik tetapi mengindahkan sesuatu yang sifatnya mengembangkan intelektualitas santri.
Dengan demikian, tidak terlalu mengandai jika kita berharap pesantren kembali meraih peran sosialnya sebagai penyuara kaum sub-altern. Dengan harapan, basis sosial yang dimiliki pesantren akan mampu menyokong suara-suara kaum minoritas tersebut agar dunia yang masih penuh pesona ini juga menjadi milik mereka, kaum sub-altern.
*) Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jember.

Tidak ada komentar:

Statistik pengunjung