Senin

Menyoal Produktivitas Tenaga Kerja Indonesia

SOROT
Oleh: SUDJATMAKA*

Salah satu masalah ketenagakerjaan di Indonesia adalah aspek produktifitas tenaga kerja yang rendah. Untuk keluar dari krisis dan menghadapi era persaingan global, bangsa ini membutuhkan tenaga kerja yang produktif dan etos kerja yang tinggi.
Tidak zamannya lagi kita mengandalkan faktor-faktor keunggulan komparatif seperti tenaga kerja yang murah dan kekayaan alam yang melimpah. Sudah terbukti bahwa keunggulan komparatif tidak dapat memacu daya saing produk Indonesia di pasar internasional. Saat ini, Indonesia perlu mengembangkan keunggulan kompetitif dengan menghasilkan produk berkualitas tinggi yang didukung oleh sumber daya manusia (SDM) yang produktif.
Produktifitas tenaga kerja adalah tingkat kemampuan tenaga kerja dalam menghasilkan produk. Cara yang lazim digunakan adalah dengan membagi nilai tambah dengan jumlah tenaga bekerja yang terlibat dalam produksi tersebut (Pangestu, 1997: 41).
Sikap dasar tenaga kerja memiliki budaya mental produktif. Departemen Tenaga Kerja mendefinisikan produktifitas sebagai sikap mental untuk selalu melakukan perbaikan dan peningkatan dalam bekerja dan penghidupan pada umumnya (Modul Pemasyarakatan Produktifitas, Depnaker, 1998). Definisi tersebut memberikan tekanan bahwa produktifitas merupakan budaya yang mengarah pada sikap mental untuk selalu meningkatkan kinerja dengan mengembangkan sikap kompetitif dan disiplin yang tinggi.
Dibandingkan dengan negara lain, bahkan dalam kawasan ASEAN, Indonesia tercatat sebagai negara dengan tingkat produktifitas yang paling rendah. Banyak kalangan yang mengkaitkan rendahnya tingkat produktifitas ini dengan sikap mental tenaga kerja yang kurang mendukung bagi penciptaan produktifitas yang tinggi seperti etos kerja dan kedisiplinan yang rendah serta kurangnya semangat kompetitif.
Apakah kondisi tersebut merupakan watak alamiah masyarakat Indonesia yang diwariskan secara turun temurun atau kondisi sosial ketenagakerjaan memang telah menciptakan situasi yang sedemikian rupa sehingga produktifitas tenaga kerja Indonesia menjadi rendah? Sebagai bahan perbandingan, dapat kita lihat perkembangan tingkat produktifitas di beberapa negara Asia. Pada awalnya, Indonesia, Cina, India, Thailand dan Malaysia berangkat dari latar belakang sosial yang hampir sama. Kehidupan sosial dan ekonomi semua negara tersebut berbasiskan pada sistem agraris yang menggantungkan pada kondisi alam.
Pada masyarakat agararis, interaksi sosial, pola, serta aktifitas kerja menyesuaikan dengan kondisi lingkungan sekitarnya. Ketergantungan pada alam membuat masyarakat kurang mengembangkan sikap kompetitif karena segala kebutuhan hidup telah disediakan oleh alam sebagaimana tercermin pada falsafah masyarakat Jawa agraris seperti “mangan ora mangan kumpul” (makan tidak makan asal kumpul) atau “alon-alon waton kelakon” (pelan-pelan asal terlaksana).
Perkembangan industrialisasi menyebabkan berbagai aspek sosial kemasyarakatan dan perekonomian tradisional yang berbasis pertanian mengalami perubahan. Pertumbuhan industri dan manufaktur menyebabkan hubungan sosial, pola, serta sikap kerja dijiwai iklim kompetisi.
Hasil yang diperoleh tidak lagi tergantung dari pemberian alam namun sangat dipengaruhi oleh tingkat kinerja serta kemampuan orang melakukan rekayasa teknologi untuk memperoleh hasil yang semaksimal mungkin. Namun, meski sama-sama berangkat dari basis agraris dan mulai mengembangkan industrialisasi pada waktu yang hampir bersamaan, mengapa tingkat produktifitas di Indonesia tertinggal jauh dengan negara tetangga?
Kerangka struktural dan sistem yang melingkupi kondisi ketenagakerjaan menjadi suatu kajian pendekatan. Sistem ketenagakerjaan yang tertuang dalam peraturan perundangan di bidang ketenagakerjaan dapat mengarah pada penciptaan kondisi yang tidak mendorong tenaga kerja untuk menjadi lebih produktif. Lihat saja, ketentuan pengupahan di Indonesia selalu cenderung mengarahkan untuk memperhitungkan upah berdasarkan pada waktu kerja daripada hasil kerja.
Sebagian besar perusahaan di Indonesia lebih banyak membayar upah pekerja berdasarkan jam kerja atau berdasarkan berapa lama dia berada di tempat kerja tanpa memperhatikan bagaimana kualitas hasil kerja yang dapat disumbangkan kepada perusahaan.
Namun, dalam kenyataannya, sistem penggajian berdasarkan jam kerja kurang dapat mendorong pekerja untuk melakukan aktivitas maksimal karena berapapun hasil yang diperoleh tidak akan berpengaruh terhadap kompensasi upah yang diterima. Asalkan telah memenuhi jam kerja yang ditentukan termasuk over time, maka upah pokok dan lembur akan diterima sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku.
Untuk menyiasati kelemahan di atas, perusahaan disarankan memberlakukan sistem pengupahan berdasarkan hasil kerja untuk beberapa jenis pekerjaan tertentu melalui kesepakatan borongan kontrak. Dengan cara ini ternyata etos kerja serta tingkat produktifitas pekerja borongan kontrak akan lebih tinggi daripada karyawan tetap yang pengupahannya didasarkan pada jam kerja.
Selain itu, sifat hubungan kerja yang bisa memacu para pekerja untuk menjadi lebih profesional dan produktif harus diterapkan. Intinya, barang siapa yang memiliki kemampuan serta dapat menunjukkan kinerjanya dengan baik maka akan mampu memenangkan persaingan kerja dalam iklim yang kompetitif.
*) Aktif bergiat di bagian Divisi Sosial, Pusat Pengkajian Kebangsaan, Jogja.

Tidak ada komentar:

Statistik pengunjung