OLEH: Muh Kholid AS*
Dalam dunia perpolitikan Indonesia, kemiskinan merupakan isu seksi yang selalu aktual diperbincangkan. Kemiskinan bisa menjadi senjata bagi politisi untuk bertahan dari serangan lawan politik, sekaligus senjata untuk menghantam lawan. Jika jumlah orang yang terjerat derita kemiskinan berkurang, maka “singgasana” penguasa akan semakin aman. Sebaliknya, jika kemiskinan bertambah, maka sudah dipastikan berbagai “serangan” dari kompatriot akan semakin kencang dan frontal.
Begitu pentingnya kemiskinan, tidak heran jika publikasinya yang paling up to date selalu dinanti-nanti. Sehingga tidak heran jika pidato tahunan Presiden SBY tahun 2006 yang menyebutkan angka kemiskinan turun dari 23,4% pada 1999 menjadi 16% pada 2005, mendapatkan reaksi yang luar biasa. Para pakar ekonomi kritis yang tergabung Tim Indonesia Bangkit (TIB) menuduh Presiden memanipulasi data dan melakukan kebohongan terhadap publik karena menyajikan data yang kadaluwarsa karena mengutip data lama hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Februari 2005, bukan Susenas Maret 2006.
Seperti hendak mengulang kejadian satu tahun sebelumnya, kesemrawutan jumlah orang miskin kembali mengemuka di tahun 2007. Meski tidak ada argumen yang memuaskan rasional ekonomi dalam menjelaskan penurunan angka kemiskinan, tetapi Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data penduduk miskin Indonesia berkurang secara drastis. Dibandingkan dengan tahun 2006, angka kemiskinan 2007 mengalami penurunan sebesar 2,13 persen, atau atau 2,13 juta jiwa yang mampu meng(di)entaskan dari jerat kemiskinan.
Dengan menaikkan garis kemiskinan senilai 9,67 persen dari Rp 151.997 per kapita per bulan menjadi Rp 166.697, BPS menyebut penduduk miskin Indonesia tahun 2007 hanya 37,17 juta jiwa. Jumlah ini setara dengan 16,58 persen dari total seluruh penduduk Indonesia yang mencapai sekitar 225 juta. BPS merinci angka kemiskinan itu menjadi dua wilayah, yaitu kota dan pedesaan. Sekitar 23.61 jiwa, atau 63,52 persen, berada di pedesaan, dan 13.56 lainnya berada di wilayah perkotaan.
Penurunan data ini secara otomatis diragukan banyak pihak, bahkan pemerintah dan BPS dituding memanipulasi data. Tudingan ini bukan tidak berdasar sama sekali, karena data BPS itu memang cukup sulit dicarikan pembenarannya dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Menurut salah satu anggota TIB Iman Sugema, indikator angka penduduk miskin meliputi tiga hal, yaitu pendapatan, beban hidup, dan program antikemiskinan yang dijalankan pemerintah. Jika ketiganya mengalami perubahan menuju arah yang baik, adalah wajar jika kemiskinan bisa diturunkan, dan begitu sebaliknya.
Fakta menunjukkan, bahwa kesulitan hidup semakin mencekik, angka pertumbuhan ekonomi 2006 tidak seberapa, belum terciptanya lapangan kerja riil 2007 secara massif, penghentian bantuan langsung tunai (BLT), banyaknya pemutusan hubungan kerja (PHK), meluasnya kasus gizi buruk, bunuh diri karena himpitan ekonomi, dan lain-lainnya, selalu menjadi berita di negeri ini. Menurut TIB, jumlah penduduk miskin di Indonesia tahun 2007 ini seharusnya meningkat menjadi sekitar 50 jutaan.
Yang lebih fatal lagi, ternyata keterpihakan negara terhadap orang miskin memang kurang begitu terasa. Hal ini secara mudah bisa dilihat dari penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah (RAPBN/D) yang kurang memprioritaskan masalah dan kebutuhan riil masyarakat miskin. Hampir semua anggaran negara, baik di tingkat pusat maupun daerah, lebih banyak digunakan untuk membiayai para birokrat, teknokrat, serta kalangan legislatif dan kroni-kroninya dengan berbagai program ini dan itu.
Padahal kemiskinan bukan sekedar persoalan kekurangan makan atau rendahnya penghasilan. Kemiskinan adalah kondisi ketidakmampuan individu atau kelompok untuk keluar dari kesulitan ekonomi, sosial, dan politik dikarenakan struktur masyarakat yang menindas dan kebijakan pemerintah yang tidak pro kaum miskin. Ketiadaan inilah yang menyebabkan kemampuan masyarakat miskin untuk mengakses keputusan strategis negara sangat lemah dan cenderung tidak diberdayakan.
Contoh dari ketiadaan pro poor budget dalam APBN/D ini secara bisa dilihat dari berbagai kebijakan penggenjotan pendapatan dan penggunaan dana belanja. Dari segi pendapatan, hampir semua aparat negara berlomba-lomba untuk mengisi pendapatan dengan cara yang memberatkan orang miskin dan malah menambah jumlah orang miskin. Pemerintah selalu berlomba untuk mereka-reka berbagai pajak, berbagai retribusi, serta aneka kegiatan lainnya yang sangat membebani masyarakat miskin. Alih-alih mereka bisa mentas dari kubangan kemiskinan, mereka justru semakin miskin dan tidak berdaya secara sosial politik.
Adapun dari sisi belanja, ternyata banyak program yang justru memiskinkan orang miskin. Contoh mudahnya adalah alokasi rutin untuk menggusur pedagang kaki lima (PKL), salah satu kelas sosial yang terkategori miskin, hanya demi keindahan tata kota. Tetapi pada saat yang sama, belanja untuk program yang bisa dinikmati oleh masyarakat miskin seperti pendidikan dasar, kesehatan, kredit mikro, serta lain sebagainya justru mendapatkan alokasi yang sangat minim. Fenomena ini secara mudah bisa dilihat dari arogansi negara melanggar Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 31 Ayat (4), dengan tidak pernah menganggarkan dana untuk pendidikan minimal 20 persen dari APBN/D.
Yang lebih tragis lagi, masyarakat miskin juga harus ikut bertanggung jawab menanggung hutang luar negeri yang dilakukan negara. Pembayaran hutang negara yang sudah membebani sebagian besar terbesar belanja negara mengakibatkan semakin banyak program yang memihak rakyat dikurangi atau dibatalkan sama sekali. Pada sisi lain, mereka yang memanfaatkan hutang untuk kepentingan pribadi itu justru tidak pernah dituntut sepenuhnya untuk menutup dan melunasi hutangnya tersebut. Bahkan mereka justru disambut pemerintah layaknya pahlawan dengan menggelar karpet merah, sebagaimana yang dinikmati para pengemplang dana Bantuan Likuidasi Bank Indonesia (BLBI).
Adapun program pengentasan kemiskinan yang sering dilakukan oleh negara justru seringkali bersifat karikatif. Seperti bantuan tunai langsung (BLT) yang tidak pernah mendorong masyarakat miskin untuk produktif, tetapi malah dipenuhi dengan konflik kepentingan, tidak tepat sasaran, serta banyak dikorupsi. Begitu juga halnya dengan nasib bantuan operasional sekolah (BOS), ternyata tidak sama sekali meringankan beban biaya sekolah, serta tidak mendekatkan masyarakat miskin kepada akses pendidikan. Nasib serupa juga dialami oleh program asuransi kesehatan orang miskin (Askeskin), yang ternyata juga malah membuat pelayanan kesehatan memasuki ranah diskriminasi perlakuan yang akut.
Berdasarkan berbagai anomali ini, mungkinkah para stakeholders kebijakan publik benar-benar ingin mengentaskan kemiskinan atau sebaliknya? Toh, pengalaman selama ini telah membuktikan jika mereka telah berhasil mengembangbiakkan kemiskinan sedemikian rupa lewat berbagai keputusan yang tidak mengakomodir kepentingan masyarakat miskin. Kata seorang pejabat negara, kalau tidak mampu membeli elpiji, ya jangan pakai kompor gas. Lho?
*)Aktivis Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM)
Dalam dunia perpolitikan Indonesia, kemiskinan merupakan isu seksi yang selalu aktual diperbincangkan. Kemiskinan bisa menjadi senjata bagi politisi untuk bertahan dari serangan lawan politik, sekaligus senjata untuk menghantam lawan. Jika jumlah orang yang terjerat derita kemiskinan berkurang, maka “singgasana” penguasa akan semakin aman. Sebaliknya, jika kemiskinan bertambah, maka sudah dipastikan berbagai “serangan” dari kompatriot akan semakin kencang dan frontal.
Begitu pentingnya kemiskinan, tidak heran jika publikasinya yang paling up to date selalu dinanti-nanti. Sehingga tidak heran jika pidato tahunan Presiden SBY tahun 2006 yang menyebutkan angka kemiskinan turun dari 23,4% pada 1999 menjadi 16% pada 2005, mendapatkan reaksi yang luar biasa. Para pakar ekonomi kritis yang tergabung Tim Indonesia Bangkit (TIB) menuduh Presiden memanipulasi data dan melakukan kebohongan terhadap publik karena menyajikan data yang kadaluwarsa karena mengutip data lama hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Februari 2005, bukan Susenas Maret 2006.
Seperti hendak mengulang kejadian satu tahun sebelumnya, kesemrawutan jumlah orang miskin kembali mengemuka di tahun 2007. Meski tidak ada argumen yang memuaskan rasional ekonomi dalam menjelaskan penurunan angka kemiskinan, tetapi Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data penduduk miskin Indonesia berkurang secara drastis. Dibandingkan dengan tahun 2006, angka kemiskinan 2007 mengalami penurunan sebesar 2,13 persen, atau atau 2,13 juta jiwa yang mampu meng(di)entaskan dari jerat kemiskinan.
Dengan menaikkan garis kemiskinan senilai 9,67 persen dari Rp 151.997 per kapita per bulan menjadi Rp 166.697, BPS menyebut penduduk miskin Indonesia tahun 2007 hanya 37,17 juta jiwa. Jumlah ini setara dengan 16,58 persen dari total seluruh penduduk Indonesia yang mencapai sekitar 225 juta. BPS merinci angka kemiskinan itu menjadi dua wilayah, yaitu kota dan pedesaan. Sekitar 23.61 jiwa, atau 63,52 persen, berada di pedesaan, dan 13.56 lainnya berada di wilayah perkotaan.
Penurunan data ini secara otomatis diragukan banyak pihak, bahkan pemerintah dan BPS dituding memanipulasi data. Tudingan ini bukan tidak berdasar sama sekali, karena data BPS itu memang cukup sulit dicarikan pembenarannya dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Menurut salah satu anggota TIB Iman Sugema, indikator angka penduduk miskin meliputi tiga hal, yaitu pendapatan, beban hidup, dan program antikemiskinan yang dijalankan pemerintah. Jika ketiganya mengalami perubahan menuju arah yang baik, adalah wajar jika kemiskinan bisa diturunkan, dan begitu sebaliknya.
Fakta menunjukkan, bahwa kesulitan hidup semakin mencekik, angka pertumbuhan ekonomi 2006 tidak seberapa, belum terciptanya lapangan kerja riil 2007 secara massif, penghentian bantuan langsung tunai (BLT), banyaknya pemutusan hubungan kerja (PHK), meluasnya kasus gizi buruk, bunuh diri karena himpitan ekonomi, dan lain-lainnya, selalu menjadi berita di negeri ini. Menurut TIB, jumlah penduduk miskin di Indonesia tahun 2007 ini seharusnya meningkat menjadi sekitar 50 jutaan.
Yang lebih fatal lagi, ternyata keterpihakan negara terhadap orang miskin memang kurang begitu terasa. Hal ini secara mudah bisa dilihat dari penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah (RAPBN/D) yang kurang memprioritaskan masalah dan kebutuhan riil masyarakat miskin. Hampir semua anggaran negara, baik di tingkat pusat maupun daerah, lebih banyak digunakan untuk membiayai para birokrat, teknokrat, serta kalangan legislatif dan kroni-kroninya dengan berbagai program ini dan itu.
Padahal kemiskinan bukan sekedar persoalan kekurangan makan atau rendahnya penghasilan. Kemiskinan adalah kondisi ketidakmampuan individu atau kelompok untuk keluar dari kesulitan ekonomi, sosial, dan politik dikarenakan struktur masyarakat yang menindas dan kebijakan pemerintah yang tidak pro kaum miskin. Ketiadaan inilah yang menyebabkan kemampuan masyarakat miskin untuk mengakses keputusan strategis negara sangat lemah dan cenderung tidak diberdayakan.
Contoh dari ketiadaan pro poor budget dalam APBN/D ini secara bisa dilihat dari berbagai kebijakan penggenjotan pendapatan dan penggunaan dana belanja. Dari segi pendapatan, hampir semua aparat negara berlomba-lomba untuk mengisi pendapatan dengan cara yang memberatkan orang miskin dan malah menambah jumlah orang miskin. Pemerintah selalu berlomba untuk mereka-reka berbagai pajak, berbagai retribusi, serta aneka kegiatan lainnya yang sangat membebani masyarakat miskin. Alih-alih mereka bisa mentas dari kubangan kemiskinan, mereka justru semakin miskin dan tidak berdaya secara sosial politik.
Adapun dari sisi belanja, ternyata banyak program yang justru memiskinkan orang miskin. Contoh mudahnya adalah alokasi rutin untuk menggusur pedagang kaki lima (PKL), salah satu kelas sosial yang terkategori miskin, hanya demi keindahan tata kota. Tetapi pada saat yang sama, belanja untuk program yang bisa dinikmati oleh masyarakat miskin seperti pendidikan dasar, kesehatan, kredit mikro, serta lain sebagainya justru mendapatkan alokasi yang sangat minim. Fenomena ini secara mudah bisa dilihat dari arogansi negara melanggar Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 31 Ayat (4), dengan tidak pernah menganggarkan dana untuk pendidikan minimal 20 persen dari APBN/D.
Yang lebih tragis lagi, masyarakat miskin juga harus ikut bertanggung jawab menanggung hutang luar negeri yang dilakukan negara. Pembayaran hutang negara yang sudah membebani sebagian besar terbesar belanja negara mengakibatkan semakin banyak program yang memihak rakyat dikurangi atau dibatalkan sama sekali. Pada sisi lain, mereka yang memanfaatkan hutang untuk kepentingan pribadi itu justru tidak pernah dituntut sepenuhnya untuk menutup dan melunasi hutangnya tersebut. Bahkan mereka justru disambut pemerintah layaknya pahlawan dengan menggelar karpet merah, sebagaimana yang dinikmati para pengemplang dana Bantuan Likuidasi Bank Indonesia (BLBI).
Adapun program pengentasan kemiskinan yang sering dilakukan oleh negara justru seringkali bersifat karikatif. Seperti bantuan tunai langsung (BLT) yang tidak pernah mendorong masyarakat miskin untuk produktif, tetapi malah dipenuhi dengan konflik kepentingan, tidak tepat sasaran, serta banyak dikorupsi. Begitu juga halnya dengan nasib bantuan operasional sekolah (BOS), ternyata tidak sama sekali meringankan beban biaya sekolah, serta tidak mendekatkan masyarakat miskin kepada akses pendidikan. Nasib serupa juga dialami oleh program asuransi kesehatan orang miskin (Askeskin), yang ternyata juga malah membuat pelayanan kesehatan memasuki ranah diskriminasi perlakuan yang akut.
Berdasarkan berbagai anomali ini, mungkinkah para stakeholders kebijakan publik benar-benar ingin mengentaskan kemiskinan atau sebaliknya? Toh, pengalaman selama ini telah membuktikan jika mereka telah berhasil mengembangbiakkan kemiskinan sedemikian rupa lewat berbagai keputusan yang tidak mengakomodir kepentingan masyarakat miskin. Kata seorang pejabat negara, kalau tidak mampu membeli elpiji, ya jangan pakai kompor gas. Lho?
*)Aktivis Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar