Oleh Muhammad Adib*
Sudah waktunya kita segera belajar kepada Prof Dr Muhammad Yunus, penerima hadiah Nobel Perdamaian 2006, dari Bangladesh. Belajar untuk mengentaskan kemiskinan yang melanda negeri ini. Karena lamanya kemiskinan mendera bangsa kita, membuat kita lengah atau bahkan “diam-diam” menikmati keterbelakangan ini.
Kita adalah bangsa yang suka terkejut. Kita terkejut ketika Bank Dunia mengumumkan, hampir 50% penduduk Indonesia berada di bawah garis kemiskinan. Karena patokannya adalah orang yang penghasilannya di bawah dua dollar AS per hari termasuk golongan masyarakat miskin. Angka Badan Pusat Statistik (BPS) adalah 17,5% (2006), meningkat 1,8% dibandingkan 2005 (16%).
Indonesia sebenarnya telah menurunkan angka kemiskinan, dari 40,1% (1976) menjadi 11,34% (1996). Namun angka itu meningkat lagi menjadi 23,4% (1999), ketika krisis melanda. Kemudian, turun menjadi 16% (2005), tetapi meningkat lagi menjadi 17,8% (2006) saat harga BBM naik. (Sulastomo: 2006)
Padahal kita tahu, tahun itu banyak program pemberantasan kemiskinan model baru yang diperkenalkan, seperti jaring pengaman sosial (JPS), bantuan langsung tunai (BLT), beras untuk rakyat miskin (raskin), serta pelayanan kesehatan gratis (askeskin).
Tetapi bagaimana hasilnya? Tentu perlu dievalusai dengan seksama. Alih-alih mengentaskan kemiskinan, malahan buat rebutan oknum untuk dikorupsi. Juga ternyata model-model seperti itu membuat rakyat miskin kian lemah. Karena ada ketergantungan yang kuat dengan pemerintah, tidak bisa memandirikan ekonominya, dan hanya bisa berlaku dalam jangka waktu yang pendek. Ibarat pepatah, “kita hanya memberikan kepadanya ikan yang tinggal dimamah, bukan kail untuk mencari ikan.”
Apa yang diterapkan oleh Yunus ini sangat menarik untuk dipelajari. Yunus mempunyai perspektif yang berbeda untuk mengentaskan kemiskinan. Ia benar-benar sosok cendekiawan dan intelektual yang merakyat. Ia tak hanya berpikir secara akademis, tapi juga menerapkan idenya untuk kepentingan masyarakat luas. Ia mengawali pinjaman dengan modalnya sendiri sebesar 27 dollar AS. Kini usahanya menjadi bank yang berwibawa dan dunia sangat mengenalnya, Grameen Bank. Dia adalah pendiri sekaligus Managing Director.
Yunus mengingatkan, pentingnya peranan bank untuk mengentaskan rakyat miskin. Belajar dari pengalamannya, diperlukan langkah berani untuk memihak kepada kalangan rakyat miskin. Ia sendiri tergugah untuk mendirikan Grameen Bank yang dikenal sebagai bank bagi rakayat miskin di pedesaan setelah mengetahui bank konvensional tak mau membantu rakyat miskin.
Menurut Yunus, bank konvensional hanya terpaku pada prinsip-prinsip standar. Bank hanya mampu memberi pinjaman berdasarkan kekayaan yang dimiliki nasabahnya. Sementara, rakyat miskin tak memiliki apa pun yang bisa dijaminkan di bank. Karena itulah, ia berani mendirikan Grameen Bank dengan prinsip-prinsip yang bertolak belakang dengan bank konvensional. Kalau bank konvensional membidik nasabah laki-laki, maka ia menarget nasabah wanita.
Lebih dari itu, bila bank konvensional hanya memfokuskan usahanya bagi nasabah di perkotaan, Yunus justru mengarah ke pedesaan. Jika bank mensyaratkan jaminan kepada nasabah, ia sama sekali tak memerlukannya. Bank yang dipimpinnya juga tidak membutuhkan kertas-kertas kontrak pemberian pinjaman.
Yunus juga mengritik bank konvensional hanya mau mengumpulkan uang dari pedesaan tanpa mau menyalurkan kembali. Melalui kantor cabangnya, bank mengumpulkan uang nasabahnya di pedesaan untuk dikumpulkan di kota-kota besar sehingga orang-orang di perkotaan saja yang menikmatinya. Praktik tersebut jelas berbeda dengan Grameen Bank yang mengumpulkan uang nasabah di pedesaan untuk kepentingan kegiatan ekonomi di pedesaan juga. Uang yang dimobilisasi Grameen Bank selalu disalurkan untuk penduduk miskin, terutama wanita, di pedesaan setempat.
Grameen Bank bersedia memberi pelayanan kepada para pengemis. Diakuinya, sebagian orang dari jutaan nasabahnya berasal dari kalangan yang kurang beruntung ini. Baginya, pengemis juga merupakan bagian dari wirausaha mikro yang perlu dibantu agar sanggup keluar dari belenggu kemiskinan. Sebuah langkah yang tak mungkin diambil oleh bank konvensional yang lain di mana pun.
Memang benar, masyarakat miskin tidak boleh hanya dijadikan obyek, tetapi harus terlibat aktif, menjadi subjek pemberantasan kemiskinan. Dengan menjadikan masyarakat miskin subyek pemberantasan kemiskinan, program tersebut akan tampak lebih bermartabat dan sesuai harkat kemanusiaan.
Kita punya UUD 1945 pasal 33 dan 34. Khusus masalah kemiskinan tertuang dalam pasal 34 ayat 1 dan 2. Pasal 34 ayat 2 berbunyi: “Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan orang yang lemah dan tidak mampu sesuai martabat kemanusiaan”. Juga telah dijabarkan dalam UU No.40/2004 tentang Jaminan Sosial Nasional yang terbit tahun 2004.
Dalam undang-undang tersebut, upaya mewujudkan kesejaheteraan atau memberantas kemiskinan, diupayakan dengan mewujudkan rasa aman setiap penduduk Indonesia, sejak lahir hingga ke liang kubur, dalam bentuk program perlindungan sosial di bidang kesehatan, kecelakaan kerja, hari tua, pensiun, dan kematian.
Tinggal sekarang bagaimana kesiapan kita untuk bisa menerapkan gagasan tersebut? Sebuah gagasan yang cemerlang dari seorang cendekiawan sekelas penerima Nobel Perdamaian. Karena itu saat ini yang kita butuhkan adalah jiwa-jiwa kepahlawanan yang mampu tampil di depan untuk memberantas kemiskinan dan keterbelakangan bangsa kita.
*) Alumnus UIN Jogjakarta, tinggal di Jogyakarta
Sudah waktunya kita segera belajar kepada Prof Dr Muhammad Yunus, penerima hadiah Nobel Perdamaian 2006, dari Bangladesh. Belajar untuk mengentaskan kemiskinan yang melanda negeri ini. Karena lamanya kemiskinan mendera bangsa kita, membuat kita lengah atau bahkan “diam-diam” menikmati keterbelakangan ini.
Kita adalah bangsa yang suka terkejut. Kita terkejut ketika Bank Dunia mengumumkan, hampir 50% penduduk Indonesia berada di bawah garis kemiskinan. Karena patokannya adalah orang yang penghasilannya di bawah dua dollar AS per hari termasuk golongan masyarakat miskin. Angka Badan Pusat Statistik (BPS) adalah 17,5% (2006), meningkat 1,8% dibandingkan 2005 (16%).
Indonesia sebenarnya telah menurunkan angka kemiskinan, dari 40,1% (1976) menjadi 11,34% (1996). Namun angka itu meningkat lagi menjadi 23,4% (1999), ketika krisis melanda. Kemudian, turun menjadi 16% (2005), tetapi meningkat lagi menjadi 17,8% (2006) saat harga BBM naik. (Sulastomo: 2006)
Padahal kita tahu, tahun itu banyak program pemberantasan kemiskinan model baru yang diperkenalkan, seperti jaring pengaman sosial (JPS), bantuan langsung tunai (BLT), beras untuk rakyat miskin (raskin), serta pelayanan kesehatan gratis (askeskin).
Tetapi bagaimana hasilnya? Tentu perlu dievalusai dengan seksama. Alih-alih mengentaskan kemiskinan, malahan buat rebutan oknum untuk dikorupsi. Juga ternyata model-model seperti itu membuat rakyat miskin kian lemah. Karena ada ketergantungan yang kuat dengan pemerintah, tidak bisa memandirikan ekonominya, dan hanya bisa berlaku dalam jangka waktu yang pendek. Ibarat pepatah, “kita hanya memberikan kepadanya ikan yang tinggal dimamah, bukan kail untuk mencari ikan.”
Apa yang diterapkan oleh Yunus ini sangat menarik untuk dipelajari. Yunus mempunyai perspektif yang berbeda untuk mengentaskan kemiskinan. Ia benar-benar sosok cendekiawan dan intelektual yang merakyat. Ia tak hanya berpikir secara akademis, tapi juga menerapkan idenya untuk kepentingan masyarakat luas. Ia mengawali pinjaman dengan modalnya sendiri sebesar 27 dollar AS. Kini usahanya menjadi bank yang berwibawa dan dunia sangat mengenalnya, Grameen Bank. Dia adalah pendiri sekaligus Managing Director.
Yunus mengingatkan, pentingnya peranan bank untuk mengentaskan rakyat miskin. Belajar dari pengalamannya, diperlukan langkah berani untuk memihak kepada kalangan rakyat miskin. Ia sendiri tergugah untuk mendirikan Grameen Bank yang dikenal sebagai bank bagi rakayat miskin di pedesaan setelah mengetahui bank konvensional tak mau membantu rakyat miskin.
Menurut Yunus, bank konvensional hanya terpaku pada prinsip-prinsip standar. Bank hanya mampu memberi pinjaman berdasarkan kekayaan yang dimiliki nasabahnya. Sementara, rakyat miskin tak memiliki apa pun yang bisa dijaminkan di bank. Karena itulah, ia berani mendirikan Grameen Bank dengan prinsip-prinsip yang bertolak belakang dengan bank konvensional. Kalau bank konvensional membidik nasabah laki-laki, maka ia menarget nasabah wanita.
Lebih dari itu, bila bank konvensional hanya memfokuskan usahanya bagi nasabah di perkotaan, Yunus justru mengarah ke pedesaan. Jika bank mensyaratkan jaminan kepada nasabah, ia sama sekali tak memerlukannya. Bank yang dipimpinnya juga tidak membutuhkan kertas-kertas kontrak pemberian pinjaman.
Yunus juga mengritik bank konvensional hanya mau mengumpulkan uang dari pedesaan tanpa mau menyalurkan kembali. Melalui kantor cabangnya, bank mengumpulkan uang nasabahnya di pedesaan untuk dikumpulkan di kota-kota besar sehingga orang-orang di perkotaan saja yang menikmatinya. Praktik tersebut jelas berbeda dengan Grameen Bank yang mengumpulkan uang nasabah di pedesaan untuk kepentingan kegiatan ekonomi di pedesaan juga. Uang yang dimobilisasi Grameen Bank selalu disalurkan untuk penduduk miskin, terutama wanita, di pedesaan setempat.
Grameen Bank bersedia memberi pelayanan kepada para pengemis. Diakuinya, sebagian orang dari jutaan nasabahnya berasal dari kalangan yang kurang beruntung ini. Baginya, pengemis juga merupakan bagian dari wirausaha mikro yang perlu dibantu agar sanggup keluar dari belenggu kemiskinan. Sebuah langkah yang tak mungkin diambil oleh bank konvensional yang lain di mana pun.
Memang benar, masyarakat miskin tidak boleh hanya dijadikan obyek, tetapi harus terlibat aktif, menjadi subjek pemberantasan kemiskinan. Dengan menjadikan masyarakat miskin subyek pemberantasan kemiskinan, program tersebut akan tampak lebih bermartabat dan sesuai harkat kemanusiaan.
Kita punya UUD 1945 pasal 33 dan 34. Khusus masalah kemiskinan tertuang dalam pasal 34 ayat 1 dan 2. Pasal 34 ayat 2 berbunyi: “Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan orang yang lemah dan tidak mampu sesuai martabat kemanusiaan”. Juga telah dijabarkan dalam UU No.40/2004 tentang Jaminan Sosial Nasional yang terbit tahun 2004.
Dalam undang-undang tersebut, upaya mewujudkan kesejaheteraan atau memberantas kemiskinan, diupayakan dengan mewujudkan rasa aman setiap penduduk Indonesia, sejak lahir hingga ke liang kubur, dalam bentuk program perlindungan sosial di bidang kesehatan, kecelakaan kerja, hari tua, pensiun, dan kematian.
Tinggal sekarang bagaimana kesiapan kita untuk bisa menerapkan gagasan tersebut? Sebuah gagasan yang cemerlang dari seorang cendekiawan sekelas penerima Nobel Perdamaian. Karena itu saat ini yang kita butuhkan adalah jiwa-jiwa kepahlawanan yang mampu tampil di depan untuk memberantas kemiskinan dan keterbelakangan bangsa kita.
*) Alumnus UIN Jogjakarta, tinggal di Jogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar