Senin

Saatnya Kaum Muda Memimpin

SOROT
Oleh: Benni Setiawan*

“Ketika moral pemuda rusak, robohlah bangsa ini.” Inilah sebuah adagium yang menunjukkan peran pemuda selaku tulang punggung bangsa. Di tangan pemudalah bangsa dan negara dipertaruhkan. Mempertahankan dan mengisi kemerdekaan adalah tanggung-jawab muliah kaum muda.
Sejarah mencatat, kaum muda selalu berada di garda terdepan perubahan dan pergerakan sosial. Bahkan, kemerdekaan bangsa ini adalah buah perjuangan pemuda. Budi Oetomo, WR Supratman, Soekarno, Hatta, Syahrir, Tan Malaka dan lainnya adalah tokoh muda yang berada dalam garis terdepan kemerdekaan bangsa ini. Ahmad Dahlan dan Hasyim Asy’ari mendirikan Muhammadiyah dan NU saat usia mereka masih relatif muda.
Usia mereka tidak lebih dari 40 tahun. Mereka mempunyai semangat juang dalam memerdekakan bangsa dan negara dari penjajah. Ketika mereka di penjara pun, aktivitas kepemudaan seperti menulis dan diskusi menjadi hal yang biasa. Tidak aneh jika Soekarno, Hatta, Tan Malaka dan Pram menulis buku-buku yang menjadi sejarah di balik jeruji besi.
Ketika mereka menjadi pemimpin, semangat kebangsaan selalu menjadi panglima. Saat kedaulatan bangsa mulai dilecehkan, maka Soekarno dengan lantang menyerukan “Ganyang Malaysia”. Hal ini tentunya berbeda dengan pemimpin Indonesia saat ini. Mereka tidak mempunyai nyali untuk menyatakan perang melawan kesewenang-wenangan Malaysia, walaupun sudah banyak korban berjatuhan di sana.
Sudah saatnya generasi tua di lingkungan elite politik dan kekuasaan lengser keprabon (turun tahta). Sebab bangsa ini membutuhkan kepemimpinan alternatif dengan semangat muda dan tidak terkontaminasi dengan virus-virus kekuasaan warisan Orde Baru. Wacana regenerasi tidak dipahami sebagai estafet kekuasaan dari tua kepada yang muda. Sebaliknya, regenerasi adalah sebuah visi kepemimpinan yang memiliki nyali untuk mempertahankan kedaulatan bangsa dan negara, termasuk sumber daya alam. Semangat ini hanya ada pada diri kaum muda.
Kesadaran untuk belajar
Pemuda yang mempunyai “ilmu linuwih” (ilmu pengetahuan tinggi) ini sudah saatnya tampil memperkenalkan diri. Jangan sampai kesempatan langka ini hilang begitu saja. Pertanyaannya bagaimana pemuda mempersiapkan segala sesuatunya dengan baik? Pertama, kesadaran pemuda untuk mau belajar. Belajar adalah aktivitas sepanjang masa. Belajar tidak mesti dalam bentuk formal di sekolah maupun perguruan tinggi. Belajar dapat dilakukan di luar sekolah, seperti orang lain, lingkungan dan alam. Hal ini sesuai dengan petuah Bapak Pendidikan Nasional Ki Hajar Dewantara. “Jadikanlah semua tempat sekolah dan semua orang guru”. Petuah sederhana sarat makna. Kita dapat belajar dari alam yang banyak mengajarkan arti kearifan, dan orang lain yang mengajarkan arti pengalaman hidup.
Kedua, gemar membaca dan menulis. Aktivitas membaca akan membuat pemuda menjadi cerdas. Membaca adalah jendela dunia. Dengan membaca pemuda akan mampu menangkap dan menganalisis apa yang terjadi. Tanpa membaca seseorang akan menjadi buta realitas. Pada akhirnya, ia akan mudah untuk dijajah oleh kepentingan asing.
Selain membaca, pemuda Indonesia harus bisa menulis. Menulis adalah aktivitas yang melibatkan banyak indera. Indera mata untuk melihat, tangan untuk menggerakkan, otak untuk berpikir dan seterusnya. Dengan menulis seseorang akan terhindar dari kepikunan. Hal ini dikarenakan menulis akan dapat meningkatkan daya ingat dan memori yang ada di dalam otak.
Aktivitas menulis juga dapat digunakan untuk melakukan advokasi terhadap masyarakat. Menulis juga sebagai “protes” terhadap kemapanan dan penindasan yang dilakukan secara sistematis oleh sistem negara (pemerintah). Dengan menulis seseorang akan dapat dikenal dan ide-idenya akan menjadi acuan gerak bagi orang lain. Dan inilah yang dilakukan oleh pemuda di era tahun 1930-an.
Ketiga, kaum muda tidak boleh apriori terhadap partai politik. Sebagaimana mencuat dalam diskusi “Ancaman Grontokrasi dan Proses Kepemimpinan Muda” di Gedung Pers (2/8/2007). Menurut Lili Romli, kalangan muda diminta tidak meninggalkan atau menjauhi partai politik karena merupakan elemen terpenting dalam demokrasi.
Sayangnya, banyak kaum muda potensial meninggalkan parpol sehingga malah memberi kesempatan bagi orang-orang yang tidak berkualitas, seperti para “preman politik” untuk masuk (Kompas, 4/08/2007).
Ketika telah ada kesadaran pemuda untuk tidak apriori terhadap parpol, harus ada pembenahan yang memadai dalam tubuh parpol. Di antaranya regenerasi. Menurut Kholis Malik dalam Imam Subhan (2003), strategi revitalisasi kaderisasi partai politik dapat dilakukan dengan cara: pertama, merubah karakter relasi internal partai menjadi lebih demokratis. Pada pengorganisasian partai yang kompleks, kewenangan dan struktur pengambilan keputusan semakin memusat pada petinggi-petinggi partai. Ini berarti bahwa dalam partai politik sendiri partisipasi para aktivis level bawah, apalagi para anggota sangatlah kecil.
Langkah demokratisasi internal partai ini pada dasarnya akan memberikan penguatan pada ”fungsi” partai politik. Bila ini telah ditempuh barulah partai politik dapat memulai langkah pendidikan politik ke sektor yang lebih luas, misalnya kepada para simpatisan dan akhirnya rakyat umum.
Kedua, mengorientasikan diri menjadi partai dengan program bersifat terbuka. Konsekuensi logisnya, partai politik dituntut untuk lebih banyak menawarkan program dibanding sekadar sentimen ideologi. Kompleksitas problem yang dialami masyarakat seperti pendidikan, kesehatan, kesejahteraan, dan lingkungan sangat tidak mungkin disekat ke dalam faksi-faksi ideologis karena seluruh masyarakat mengalaminya. Kepentingam program riil ini bukanlah diorientasikan untuk menomorsatukan fakta-fakta nyata (empirik) dibandingkan aspek nilai dan moral, melainkan untuk memberikan ruang masyarakat agar dapat mengkritisi secara langsung kebijakan parpol. Hal ini memungkinkan masyarakat lebih otonom dan partisipatif. Bagi parpol langkah ini bermanfaat untuk memperkuat ”peran” di tengah-tengah masyarakat.
Ketiga, menghentikan kebijakan reaksioner yang menghalangi partisipasi rakyat secara langsung. Berbagai kecenderungan partai sentris yang melalaikan kepentingan rakyat muncul pada beberapa agenda utama reformasi, seperti dalam amandemen UUD 1945 dan penyusunan UU Pemilu dan Sistem Kepartaian, menunjukkan adanya gejala reaksioner pada partai-partai politik utama. Ketakutan memberikan lebih banyak kewenangan pada masyarakat bersumber dari rasa kurang percaya diri kalangan parpol.
Karenanya kebijakan reaksioner ini mestinya dievalusi atau malah dihentikan sama sekali. Partai-partai poltik harus berani membuka diri pada kemungkinan membesarnya kesempatan partisipasi rakyat secara langsung dalam pengambilan keputusan maupun kontrol politik.
Dengan berbekal kemampuan yang selalu diasah dengan belajar, kaum muda harus menjadi pioner parpol yang masih dikuasai oleh kaum tua. Proses regenerasi parpol harus diisi oleh pemuda yang mempunyai semangat dan kelebihan untuk mau selalu belajar.
Regenerasi parpol juga berarti regenerasi kepemimpinan bangsa. Kepemimpinan bangsa yang diisi oleh kaum muda akan membawa perubahan yang berarti. Dengan dipegangnya estafet kepemimpinan oleh anak-anak muda maka bangsa ini akan siap bersaing dengan bangsa lain sebagaimana terjadi pada masa kepemimpian Soekarno, Hatta, dan Syahrir.
*)Peneliti pada Yayasan Nuansa Sejahtera.

Tidak ada komentar:

Statistik pengunjung