WACANA
Oleh: Muhammad Ainun Najib*
Pemanasan global dan bencana alam ternyata tidak menyurutkan intensitas kejahatan lingkungan. Pembalakan liar, pencemaran lingkungan dan eksploitasi sumber daya alam memasuki tahap yang sangat mengkhawatirkan. Tragisnya, kasus kejahatan lingkungan hanya dipandang sebagai bentuk ordinary crime yang hukumannya cukup ringan, sehingga tidak menumbuhkan efek jera bagi pelaku.
Akibatnya kejahatan terhadap lingkungan kembali terulang kembali. Bahkan, beberapa kasus tidak tersentuh hukum lantaran penegakan hukum yang lembek dan intervensi politik. Bebasnya Adelin Lis secara vulgar mengindikasikan hal itu. Buronan yang tertangkap di Cina ini kembali masuk dalam daftar wanted kepolisian.
Sementara itu, masyarakat sepertinya dihinggapi apatisme yang akut terhadap kerusakan lingkungan karena pada umumnya awam terhadap persoalan lingkungan. Padahal, kejahatan terhadap lingkungan merupakan dosa sosial yang mempunyai implikasi sangat besar terhadap kualitas hidup serta merugikan masyarakat. Lebih dari itu, kesadaran ekologi masyarakat relatif rendah.
Di tengah apatisme dan rendahnya kesadaran ekologi masyarakat serta 'ketidakmampuan' hukum, kejahatan terhadap lingkungan masih dipandang sebelah mata. Para politisi pun tidak ada yang mengangkatnya sebagai isu politik yang layak ditawarkan kepada konsituen. Disadari atau tidak, isu lingkungan hidup memang tidak begitu menarik dibanding isu politik lainnya. Namun, pemanasan global yang disuarakan pelbagai kalangan, menempatkan isu lingkungan dalam jajaran isu politik yang menarik.
Atas dasar itulah, agama sebetulnya mempunyai kesempatan untuk menunjukkan eksistensinya bagi manusia. Setali tiga uang, agama kelihatannya bersikap apatis terhadap persoalan lingkungan. Agama apapun sepatutnya belajar kepada LSM yang mempunyai perhatian dan komitmen terhadap lingkungan, Walhi, misalnya.
Agama apapun mempunyai gagasan tentang lingkungan. Dalam konteks ini, sebuah agama menyembulkan apa yang disebut dengan teologi lingkungan. Sebagai bentuk respons, pada umumnya teologi lingkungan terlalu normatif dan tidak mendorong munculnya advokasi terhadap masyarakat yang dirugikan dengan adanya pencemaran lingkungan.
Teologi lingkungan sekadar berkutat membicarakan persoalan lingkungan dari perspektif hukum. Karena itu teologi lingkungan belum sepenuhnya mencerminkan perhatian terhadap isu-isu lingkungan. Teologi lingkungan didasarkan imperatif moral tentang larangan pengerusakan lingkungan karena akan mengakibatkan bencana bagi manusia. Dalam al Qur'an Surat Hud (11): 61 misalnya, dengan tegas menyatakatan bahwa "Allah telah menciptakan kamu (manusia) dari bumi (tanah) dan memerintahkan untuk memakmurkannya". Beberapa ayat lain juga melarang keras melakukan tindakan yang merusak alam.
Imperatif moral ini tak ubahnya warning atas kerusakan lingkungan yang mengakibatkan bencana. Karenanya teologi lingkungan belum mampu menyembulkan tekanan publik terhadap isu lingkungan. Agaknya mendesak menyusun teologi lingkungan dengan blue print yang ditegakkan atas kesadaran ekologis yang dilambari dengan sprituality for combat (spiritual perlawanan).
Spiritual perlawanan bukan spiritual yang bersifat defensif, yang mengandung segepok rumusan keagamaan demi memenuhi kebutuhan spritual yang bersifat individual semata. Dengan begitu teologi lingkungan tidak berada di menara gading dan bersifat elitis, melainkan mengelorakan spiritual yang memberi kekuatan kepada manusia untuk melakukan advokasi dan memecahkan persoalan lingkungan. Sayang memang, wacana teologi lingkungan kelihatannya berhenti pada tataran normatif-spekulatif.
Padahal, sebagai bagian dari khazanah, teologi lingkungan menjalankan peran agama bagi manusia. Merujuk Paul Tillich (1956) agama merupakan dimensi kedalaman dari seluruh fungsi kehidupan spiritual manusia demi kehidupan yang lebih baik.
Deskripsi Paul Tillich tersebut satu tarikan nafas yang sama dengan fungsi syariat Islam bagi manusia. Menurut ahli hukum Islam, secara substansial syariat Islam berorientasi mewujudkan kesejahteraan sosial (tahqiq masalihul i'bad). Dalam tataran seperti ini, mengabaikan kesejahteraan sosial maka sama saja dengan mengingkari syariat Islam.
Kejahatan lingkungan merupakan tindakan kriminal yang dapat menurunkan dan bahkan mengancam hilangnya kualitas hidup masyarakat. Karenanya dibutuhkan teologi lingkungan yang memberikan landasan gerakan sosial bagi tumbuhnya perlawanan terhadap kejahatan lingkungan. Namun, hal ini tidak mungkin tanpa melibatkan pelbagai disiplin ilmu yang diperlukan untuk menganalisa terjadinya pencemaran lingkungan.
Akhirnya, teologi lingkungan akan memompakan semangat untuk melakukan advokasi dan class action terhadap kejahatan lingkungan. Teologi lingkungan yang berbasis pada spritual perlawanan adalah bukti konkret fungsi agama bagi manusia sehingga kehadirannya tidak dipandang sebelah mata dan tidak membiarkan diri larut dalam kehancuran akibat pemanasan global. Tanpa dilandasi spiritual perlawanan, teologi lingkungan hanya keisengan intelektual yang patut dicampakkan dalam keranjang sampah peradaban.
*) Alumnus Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel
Oleh: Muhammad Ainun Najib*
Pemanasan global dan bencana alam ternyata tidak menyurutkan intensitas kejahatan lingkungan. Pembalakan liar, pencemaran lingkungan dan eksploitasi sumber daya alam memasuki tahap yang sangat mengkhawatirkan. Tragisnya, kasus kejahatan lingkungan hanya dipandang sebagai bentuk ordinary crime yang hukumannya cukup ringan, sehingga tidak menumbuhkan efek jera bagi pelaku.
Akibatnya kejahatan terhadap lingkungan kembali terulang kembali. Bahkan, beberapa kasus tidak tersentuh hukum lantaran penegakan hukum yang lembek dan intervensi politik. Bebasnya Adelin Lis secara vulgar mengindikasikan hal itu. Buronan yang tertangkap di Cina ini kembali masuk dalam daftar wanted kepolisian.
Sementara itu, masyarakat sepertinya dihinggapi apatisme yang akut terhadap kerusakan lingkungan karena pada umumnya awam terhadap persoalan lingkungan. Padahal, kejahatan terhadap lingkungan merupakan dosa sosial yang mempunyai implikasi sangat besar terhadap kualitas hidup serta merugikan masyarakat. Lebih dari itu, kesadaran ekologi masyarakat relatif rendah.
Di tengah apatisme dan rendahnya kesadaran ekologi masyarakat serta 'ketidakmampuan' hukum, kejahatan terhadap lingkungan masih dipandang sebelah mata. Para politisi pun tidak ada yang mengangkatnya sebagai isu politik yang layak ditawarkan kepada konsituen. Disadari atau tidak, isu lingkungan hidup memang tidak begitu menarik dibanding isu politik lainnya. Namun, pemanasan global yang disuarakan pelbagai kalangan, menempatkan isu lingkungan dalam jajaran isu politik yang menarik.
Atas dasar itulah, agama sebetulnya mempunyai kesempatan untuk menunjukkan eksistensinya bagi manusia. Setali tiga uang, agama kelihatannya bersikap apatis terhadap persoalan lingkungan. Agama apapun sepatutnya belajar kepada LSM yang mempunyai perhatian dan komitmen terhadap lingkungan, Walhi, misalnya.
Agama apapun mempunyai gagasan tentang lingkungan. Dalam konteks ini, sebuah agama menyembulkan apa yang disebut dengan teologi lingkungan. Sebagai bentuk respons, pada umumnya teologi lingkungan terlalu normatif dan tidak mendorong munculnya advokasi terhadap masyarakat yang dirugikan dengan adanya pencemaran lingkungan.
Teologi lingkungan sekadar berkutat membicarakan persoalan lingkungan dari perspektif hukum. Karena itu teologi lingkungan belum sepenuhnya mencerminkan perhatian terhadap isu-isu lingkungan. Teologi lingkungan didasarkan imperatif moral tentang larangan pengerusakan lingkungan karena akan mengakibatkan bencana bagi manusia. Dalam al Qur'an Surat Hud (11): 61 misalnya, dengan tegas menyatakatan bahwa "Allah telah menciptakan kamu (manusia) dari bumi (tanah) dan memerintahkan untuk memakmurkannya". Beberapa ayat lain juga melarang keras melakukan tindakan yang merusak alam.
Imperatif moral ini tak ubahnya warning atas kerusakan lingkungan yang mengakibatkan bencana. Karenanya teologi lingkungan belum mampu menyembulkan tekanan publik terhadap isu lingkungan. Agaknya mendesak menyusun teologi lingkungan dengan blue print yang ditegakkan atas kesadaran ekologis yang dilambari dengan sprituality for combat (spiritual perlawanan).
Spiritual perlawanan bukan spiritual yang bersifat defensif, yang mengandung segepok rumusan keagamaan demi memenuhi kebutuhan spritual yang bersifat individual semata. Dengan begitu teologi lingkungan tidak berada di menara gading dan bersifat elitis, melainkan mengelorakan spiritual yang memberi kekuatan kepada manusia untuk melakukan advokasi dan memecahkan persoalan lingkungan. Sayang memang, wacana teologi lingkungan kelihatannya berhenti pada tataran normatif-spekulatif.
Padahal, sebagai bagian dari khazanah, teologi lingkungan menjalankan peran agama bagi manusia. Merujuk Paul Tillich (1956) agama merupakan dimensi kedalaman dari seluruh fungsi kehidupan spiritual manusia demi kehidupan yang lebih baik.
Deskripsi Paul Tillich tersebut satu tarikan nafas yang sama dengan fungsi syariat Islam bagi manusia. Menurut ahli hukum Islam, secara substansial syariat Islam berorientasi mewujudkan kesejahteraan sosial (tahqiq masalihul i'bad). Dalam tataran seperti ini, mengabaikan kesejahteraan sosial maka sama saja dengan mengingkari syariat Islam.
Kejahatan lingkungan merupakan tindakan kriminal yang dapat menurunkan dan bahkan mengancam hilangnya kualitas hidup masyarakat. Karenanya dibutuhkan teologi lingkungan yang memberikan landasan gerakan sosial bagi tumbuhnya perlawanan terhadap kejahatan lingkungan. Namun, hal ini tidak mungkin tanpa melibatkan pelbagai disiplin ilmu yang diperlukan untuk menganalisa terjadinya pencemaran lingkungan.
Akhirnya, teologi lingkungan akan memompakan semangat untuk melakukan advokasi dan class action terhadap kejahatan lingkungan. Teologi lingkungan yang berbasis pada spritual perlawanan adalah bukti konkret fungsi agama bagi manusia sehingga kehadirannya tidak dipandang sebelah mata dan tidak membiarkan diri larut dalam kehancuran akibat pemanasan global. Tanpa dilandasi spiritual perlawanan, teologi lingkungan hanya keisengan intelektual yang patut dicampakkan dalam keranjang sampah peradaban.
*) Alumnus Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel
Tidak ada komentar:
Posting Komentar