Senin

Parodi Politik!

SOROT
Oleh: Nurani Soyomukti*

Ada yang menarik dari perkembangan kebudayaan Indonesia akhir-akhir ini untuk kita perbincangkan. Saya lebih tertarik untuk menyederhanakannya dengan gejala adanya pertarungan antara keseriusan dan kegampangan, baik dalam hal berpikir maupun bertindak. Kedua watak ini sedang bertarung untuk memperebutkan masing-masing pengikut.
Beberapa waktu yang lalu, Menteri Komunikasi dan Informasi Sofyan Djalil lakukan ‘somasi’ terhadap acara Metro TV yang bertajuk ‘Republik Mimpi’ sebuah parodi politik yang melakukan kritikan-kritikan jenaka terhadap tokoh-tokoh di Indonesia dibumbui komentar ‘kocak’ terhadap perkembangan politik tanah-air.
Apa yang dilakukan oleh Menkoinfo (baca: juru bicara Presiden), menurut saya, sangatlah serius. Adanya kritik yang ditayangkan setiap minggu (dengan jumlah penonton yang tidak sedikit), tentu saja ada ketakutan di kalangan pemerintah. Karena pengaruh TV masih sangat besar bagi pembentukan opini publik. Orang masih banyak yang beranggapan bahwa realitas yang ditayangkan TV lebih ‘benar’ atau paling tidak lebih ‘menjelaskan’ karena TV memang teman intim sebagian besar rakyat. Legitimasi TV sangat besar, dibanding legitimasi realitas itu sendiri.
Nampaknya pemerintahan SBY sangat paham logika budaya itu. Bayangkan jika tiap minggu pemerintah dengan segala tindakan dan kebijakannya (yang memang tidak benar) terus saja dicaci lewat parodi. Dan parodi atau humor, sayangnya, selalu ‘lagi-lagi’ lebih dipercaya dari pada keseriusan. Lihat saja, pengikut Thukul Arwana dalam acara ‘Empat Mata’ di Trans 7 yang juga mendapatkan banyak ‘pengikut’ (baca: penonton militan). Penonton militan tentu saja adalah khalayak yang terideologisasi dengan wacana-wacana yang ditawarkan dalam wicara dan tingkahlaku yang dikonsumsinya. Ucapan “Tak sobek-sobek” (kurobek-robek) atau “Puas! Puas! Puas!” dari Thukulpun dengan cepat meluas di kalangan masyarakat. Apakah ini kalau bukan ideologisasi? Ideologisasi yang paling efektif pada kenyataannya memang menyebar dan mengalir melalui konsumsi bahasa. Selain itu, bahasa adalah simbol yang akhirnya membentuk citra. Menurut Djamaluddin Malik dan Subandy Ibrahim (1997: 61), keistimewaan bahasa adalah karena kehadirannya dalam jagad makna yang bisa digunakan untuk ‘membahasakan’ simbol-simbol yang lain. Bahasa yang telah terkontrol dan distandardisasi ini pada gilirannya menjadi instrumen kontrol perilaku dan jagad makna yang membangunkan kesadaran kita terhadap realitas sosial-politik yang ada.
Ideologi bahasa yang ditebarkan oleh ‘Republik Mimpi’ juga tak kalah dahsyatnya ditambah dengan muatannya yang nampaknya menggiring penonton untuk mentertawakan setiap tindakan, kebijakan, watak pemerintah khususnya dan elit-elit politik pada umumnya. Dan sebenarnya itu adalah khas psikologi parodi atau lawakan, yaitu selalu menertawakan segalanya.
Karenanya, reaksi yang datang dari pemerintah tentu saja mencerminkan ketakutan karena legitimasinya dirong-rong sedikit demi sedikit dan ajeg (konsisten) oleh para ‘tukang kritik’ yang kali ini memakai gaya humor dan parodi. Siapa yang tak kenal Butet Kertarajasa yang terkenal sebagai ‘tukang kritik’ sejak jaman Orde Baru yang akhirnya tumbang karena telah menekan kebebasan rakyat untuk berekspresi dalam ekonomi, politik, dan kebudayaan.
Dan, sebagian elit politik negeri ini, yang nyata-nyata gagal dalam memberikan kesejahteraan bagi rakyat, memang nampaknya akan ketakutan jika rakyat tidak lagi percaya pada apa yang mereka lakukan dan perbuat. Ketidakpercayaan yang diekspresikan dengan mempropagandakan pada rakyat bahwa ‘politik adalah humor’ atau ‘politik adalah kebohongan’ akan membahayakan. Jika rakyat sudah tak lagi percaya pada proses politik, apa jadinya pemilu 2009 nanti?
Wilhelm Raabe, novelis terkemuka dari Jerman pada abad ke-18, menulis, “Rasa humor adalah sabuk pengaman untuk mengarungi arus kehidupan.” Bagi pemerintah, tentunya justru terancam keamanan politiknya, dalam hal ini citranya di mata rakyat. Tetapi humor terlanjur menjangkiti masyarakat, yang bukan saja dapat digunakan untuk menyindir pemerintah, tetapi juga untuk menghibur (to entertain) sebagaimana acara-acara TV yang lain (infotainment, sinetron, dan iklan).
‘Republik Mimpi’ sebagai tayangan parodi ikut membantu rakyat menertawakan pemerintahnya, juga menertawakan dirinya sendiri. Orang yang susah dan sengsara memang harus menertawakan kondisinya agar ia melupakan hidup yang kian hari kian menekan. Menertawakan diri adalah ‘sabuk pengaman’ bagi jiwa agar tak mudah marah dan benci terhadap suatu yang membuatnya sengsara. Dengan demikian juga ‘sabuk pengaman’ bagi pemerintah karena ikut membantu dalam menangani persoalan keamanan. Bayangkan jika rakyat tidak bisa melampiaskan penderitaannya melalui humor dan fatalitas nasib (sebagaimana ajaran keagamaan fatalis yang juga semarak di TV-TV), tentu saja pemerintah akan menghadapi kemarahan rakyat yang bisa jadi dilampiaskan dalam bentuk kekerasan, kerusuhan (chaos), dan hal ini membuat keberlangsungan pemerintahan menjadi terganggu. Bukankah dalam hal ini pemerintah juga terbantu dengan adanya tayangan humor dan parodi apapun?
*) Peneliti di IRED (Institute of Research and Education for Democracry), tinggal di Jakarta Selatan.

Tidak ada komentar:

Statistik pengunjung