REFLEKSI
Oleh: Nurani Soyomukti*
Kekerasan dalam dunia pendidikan terus saja terjadi. Jika beberapa bulan yang lalu kita diramaikan dengan kasus smack down yang dilakukan oleh murid-murid sekolah dasar (SD), juga kasus kekerasan fisik yang dilakukan oleh guru pada muridnya, kali ini aksi kekerasan di dalam kampus Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN).
Cliff Muntu seorang praja di IPDN meninggal dunia akibat dianiaya seniornya. Ini bukan kasus pertama di kampus yang hendak mendidik calon birokrat ini. Seorang sumber dari kalangan internal IPDN mengatakan, tragedi yang menimpa Cliff Muntu disebabkan masih kuatnya tradisi kekerasan di korps drumband dan pataka IPDN. Korps tersebut dikenal tidak pernah melepaskan tradisinya melakukan latihan fisik yang berat diikuti dengan aksi kekerasan seperti pukulan dan tendangan.
Kasus kekerasan dalam dunia pendidikan adalah sangat ironis. Masalahnya pendidikan adalah upaya untuk membangun mental manusia yang kondusif bagi harmoni peradaban. Artinya, tidak ada yang menginginkan sekolah, kampus, atau lembaga pendidikan lainnya melahirkan manusia-manusia yang gemar membunuh, yang jahat dan suka menyakiti orang lain. IPDN sendiri bukanlah kampus militer, bukan lembaga yang melahirkan tentara-tentara yang berperang dan dalam banyak hal siap untuk membunuh dan dibunuh.
Sosialisasi kekerasan dalam dunia pendidikan harus disingkirkan sejauh mungkin. Sekali orang melihat kekerasan, telah muncul konstruksi di otaknya tentang kekerasan. Apalagi seorang siswa dikenai kekerasan dan melakukan kekerasan, hal itu tentunya akan membangun konstruksi kekerasan dalam dunia pendidikan.
Seorang guru bahkan tidak boleh mengajar dengan memakai pendekatan fisik seperti menjewer kuping atau menyabet dengan penggaris bagi siswa yang tidak mengerjakan pekerjaan rumah (PR) atau melakukan kesalahan di sekolah. Mengembangkan kepribadian dan kemampuan melalui metode menghukum adalah tindakan yang salah. Pendidikan dan pengajaran harus membuat anak menyukai apa yang diajarkan, sehingga seorang pengajar (pendidik) harus pandai-pandai untuk menggunakan pendekatan persuasif agar dengan sendirinya anak didik terangsang untuk menyukai apa yang diinginkan oleh sang guru.
Konsep pendidikan untuk pembebasan yang digagas dan dipraktekkan Paulo Freire barangkali cukup menarik untuk dijadikan acuan. Pada dasarnya manusia, termasuk peserta didik dan pendidik, sedang menghadapi dunia yang sama, dunia yang kontradiktif. Tujuan pendidikan adalah membebaskan manusia dari kontradiksi. Pertama-tama adalah kontradiksi dalam hal cacatnya pengetahuan manusia akibat ideologi palsu yang dicekokkan oleh penguasa. Kemudian adalah kontradiksi material berupa tatanan penindasan yang dihadapi oleh manusia.
Kontradiksi yang nyata dan objektif belum tentu disadari oleh masyarakat. Tugas pendidikan untuk menyingkap selubung kepalsuan tersebut, kemudian dengan teori dan praktek mengubahnya agar sumber dari persoalan yang mendehumanisikan (tidak memanusiakan) dapat dihancurkan. Metode pendidikan semacam itu membutuhkan metode dialogis yang menempatkan pengajar dan peserta didik (serta semua anggota dari suatu komunitas pendidikan) berada dalam posisi setara. Pendekatan inilah yang akan menjadi model alternatif dari sistem pendidikan yang otoriter, tidak demokratis, militeristik, yang diharapkan akan menjadi fondasi bagi tatanan yang demokratis.
Sangat tidak masuk akal jika untuk mempersiapkan generasi yang siap mengabdi pada negara dan masyarakat, model pendidikan dilakukan dengan pendekatan yang militeristik, pembangunan kedisiplinan lewat hukuman kekerasan fisik. Pelembagaan kekerasan ternyata justru menghasilkan anggota komunitas pendidikan yang menganggap kekerasan dan hukuman sebagai suatu kebanggaan dan nilai yang dijunjung tinggi. Kesalahan anggota (terutama yunior) selalu dicari-cari dan dibuat-buat. Kesalahan dicari untuk dapat melampiaskan hukuman dengan cara kekerasan. Instink kekerasanpun diasah.
Bagaimana mungkin mereka yang mengasah instink kekerasan dalam masa pendidikannya akan menjadi lulusan yang anti-kekerasan? Pertanyaan ini seharusnya menjadi dasar bagi IPDN untuk menghilangkan model kekerasan yang sebenarnya membawa akibat yang fatal. Seharusnya kasus-kasus sebelumnya, yang juga mengakibatkan kematian, dapat dijadikan pelajaran. Kalau memang kelebihan kampus IPDN adalah tradisi kekerasannya, tidak salah jika banyak pihak menuntut kampus ini dibubarkan. Tidak ada gunanya melembagakan kekerasan dalam suatu pendidikan yang akan mencetak mereka yang akan diabdikan untuk masyarakat sipil. Penekanan pada pendidikan anti-korupsi dan nilai-nilai sipil (civic values) mungkin akan lebih berguna.
*) Peneliti di IRED (Institute of Research and Education for Democracy) Jember, tinggal di Jember.
Oleh: Nurani Soyomukti*
Kekerasan dalam dunia pendidikan terus saja terjadi. Jika beberapa bulan yang lalu kita diramaikan dengan kasus smack down yang dilakukan oleh murid-murid sekolah dasar (SD), juga kasus kekerasan fisik yang dilakukan oleh guru pada muridnya, kali ini aksi kekerasan di dalam kampus Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN).
Cliff Muntu seorang praja di IPDN meninggal dunia akibat dianiaya seniornya. Ini bukan kasus pertama di kampus yang hendak mendidik calon birokrat ini. Seorang sumber dari kalangan internal IPDN mengatakan, tragedi yang menimpa Cliff Muntu disebabkan masih kuatnya tradisi kekerasan di korps drumband dan pataka IPDN. Korps tersebut dikenal tidak pernah melepaskan tradisinya melakukan latihan fisik yang berat diikuti dengan aksi kekerasan seperti pukulan dan tendangan.
Kasus kekerasan dalam dunia pendidikan adalah sangat ironis. Masalahnya pendidikan adalah upaya untuk membangun mental manusia yang kondusif bagi harmoni peradaban. Artinya, tidak ada yang menginginkan sekolah, kampus, atau lembaga pendidikan lainnya melahirkan manusia-manusia yang gemar membunuh, yang jahat dan suka menyakiti orang lain. IPDN sendiri bukanlah kampus militer, bukan lembaga yang melahirkan tentara-tentara yang berperang dan dalam banyak hal siap untuk membunuh dan dibunuh.
Sosialisasi kekerasan dalam dunia pendidikan harus disingkirkan sejauh mungkin. Sekali orang melihat kekerasan, telah muncul konstruksi di otaknya tentang kekerasan. Apalagi seorang siswa dikenai kekerasan dan melakukan kekerasan, hal itu tentunya akan membangun konstruksi kekerasan dalam dunia pendidikan.
Seorang guru bahkan tidak boleh mengajar dengan memakai pendekatan fisik seperti menjewer kuping atau menyabet dengan penggaris bagi siswa yang tidak mengerjakan pekerjaan rumah (PR) atau melakukan kesalahan di sekolah. Mengembangkan kepribadian dan kemampuan melalui metode menghukum adalah tindakan yang salah. Pendidikan dan pengajaran harus membuat anak menyukai apa yang diajarkan, sehingga seorang pengajar (pendidik) harus pandai-pandai untuk menggunakan pendekatan persuasif agar dengan sendirinya anak didik terangsang untuk menyukai apa yang diinginkan oleh sang guru.
Konsep pendidikan untuk pembebasan yang digagas dan dipraktekkan Paulo Freire barangkali cukup menarik untuk dijadikan acuan. Pada dasarnya manusia, termasuk peserta didik dan pendidik, sedang menghadapi dunia yang sama, dunia yang kontradiktif. Tujuan pendidikan adalah membebaskan manusia dari kontradiksi. Pertama-tama adalah kontradiksi dalam hal cacatnya pengetahuan manusia akibat ideologi palsu yang dicekokkan oleh penguasa. Kemudian adalah kontradiksi material berupa tatanan penindasan yang dihadapi oleh manusia.
Kontradiksi yang nyata dan objektif belum tentu disadari oleh masyarakat. Tugas pendidikan untuk menyingkap selubung kepalsuan tersebut, kemudian dengan teori dan praktek mengubahnya agar sumber dari persoalan yang mendehumanisikan (tidak memanusiakan) dapat dihancurkan. Metode pendidikan semacam itu membutuhkan metode dialogis yang menempatkan pengajar dan peserta didik (serta semua anggota dari suatu komunitas pendidikan) berada dalam posisi setara. Pendekatan inilah yang akan menjadi model alternatif dari sistem pendidikan yang otoriter, tidak demokratis, militeristik, yang diharapkan akan menjadi fondasi bagi tatanan yang demokratis.
Sangat tidak masuk akal jika untuk mempersiapkan generasi yang siap mengabdi pada negara dan masyarakat, model pendidikan dilakukan dengan pendekatan yang militeristik, pembangunan kedisiplinan lewat hukuman kekerasan fisik. Pelembagaan kekerasan ternyata justru menghasilkan anggota komunitas pendidikan yang menganggap kekerasan dan hukuman sebagai suatu kebanggaan dan nilai yang dijunjung tinggi. Kesalahan anggota (terutama yunior) selalu dicari-cari dan dibuat-buat. Kesalahan dicari untuk dapat melampiaskan hukuman dengan cara kekerasan. Instink kekerasanpun diasah.
Bagaimana mungkin mereka yang mengasah instink kekerasan dalam masa pendidikannya akan menjadi lulusan yang anti-kekerasan? Pertanyaan ini seharusnya menjadi dasar bagi IPDN untuk menghilangkan model kekerasan yang sebenarnya membawa akibat yang fatal. Seharusnya kasus-kasus sebelumnya, yang juga mengakibatkan kematian, dapat dijadikan pelajaran. Kalau memang kelebihan kampus IPDN adalah tradisi kekerasannya, tidak salah jika banyak pihak menuntut kampus ini dibubarkan. Tidak ada gunanya melembagakan kekerasan dalam suatu pendidikan yang akan mencetak mereka yang akan diabdikan untuk masyarakat sipil. Penekanan pada pendidikan anti-korupsi dan nilai-nilai sipil (civic values) mungkin akan lebih berguna.
*) Peneliti di IRED (Institute of Research and Education for Democracy) Jember, tinggal di Jember.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar