Selasa

Petaka Kecantikan Global

REFLEKSI
Oleh: Edy Firmansyah*

Dunia global yang selalu digembar-gemborkan mampu menciptakan perdamaian dunia, karena memungkinkan seluruh umat manusia menjadi lebih dekat satu sama lain tanpa ada batasan suku, agama maupun ras melalui teknologi justru menyimpan “bom waktu” yang dapat meluluhlantakkan kehidupan manusia. Terutama bagi kaum perempuan yang sejatinya memang teramat mudah dieskploitasi.
Bagaimana tidak, globalisasi memaksa hampir semua manusia dituntut untuk seragam memenuhi kaidah pasar. Baik itu secara politik, sosial, ekonomi serta budaya. Dalam hal budaya misalnya, mode pakaian wanita hampir semua negara dipaksa untuk mengikuti tren Hollywood. Baju sejenis tank top, celana jeans ketat, blazer ketat adalah beberapa contoh jenis pakaian yang kini marak dipamerkan di butik, plasa dan mal. Harganya pun tidak bisa dikatakan murah. Sehingga perempuan miskin, meminjam istilah Durkheim, kerap melakukan anomali sosial karena tidak mampu memenuhi standar mode pasar. Mengutil pakaian, mencuri, mencopet bahkan menjadi pelacur, salah satu faktor penyebabnya adalah hanya ingin tampil modis.
Bukan itu saja. Bahkan untuk menjadi cantikpun globalisasi telah menyiapkan standar estetik. Bahwa cantik yang ideal adalah sosok yang kurus, ramping, berkulit putih, berambut pirang atau hitam lebat dan memiliki pantat dan payudara yang penuh. Ini bisa dilihat dari iklan di media massa yang selalu menampilkan sosok wanita seksi, putih mulus sebagai pencitraan sosok cantik yang ideal itu.
Hal itu didukung penuh oleh para dokter, ahli bedah, maupun ahli terapi yang mengembangkan keilmuannya untuk menemukan dan menerapkan cara dan teknologi untuk mempercantik dan menyempurnakan tubuh, seperti yang dipertontonkan dalam The Swan, I Want a Famous Face, kontes Miss World, Putri Indonesia dan sejenisnya. Bersama dengan media, rejim medis ini telah menentukan average beauty yang kemudian berlaku di seluruh jagat. Membuat kualifikasi cantik dan indah di jagat ini menjadi cenderung seragam tanpa memperhatikan batas-batas etnis maupun ras.
Memang kita sepakat bahwa menjadi cantik adalah harapan setiap perempuan. Karena hanya dengan kecantikanlah kaum perempuan bisa merasakan bagaimana menjadi perempuan sejati. Dengan begitu mereka akan merasa lebih percaya diri untuk sejajar dengan laki-laki karena memiliki keunikan khusus, yakni cantik. Namun menyeragamkan kecantikan dengan mengubah bentuk tubuh adalah tindakan yang konyol.
Kecantikan tidaklah dapat diubah. Kecantikan wanita itu merupakan kodrat sejak awal dilahirkan. Tuhan menciptakan manusia dengan berbagai suku bangsa dan bentuk fisik yang berbeda-beda justru agar kita saling menyayangi. Jelek menurut anda belum tentu jelek menurut orang lain. Orang suku Maori misalnya, justru mengagumi perempuan bertubuh gemuk. Orang suku Padung menyukai perempuan dengan buah dada yang montok. Bahkan orang Dayak menyukai wanita berdaun telinga panjang. Jangan heran jika wanita Dayak sejak kecil telinganya selalu dihiasi anting yang berat agar ketika dewasa bisa memiliki telinga panjang.
Sayangnya tak banyak perempuan yang mau mempertahankan kecantikan kodratinya. Mereka mulai bimbang ketika bercermin dan melihat hidungnya yang pesek. Mereka bingung ketika melihat badannya yang gemuk. Atau resah ketika menatap pantatnya yang kecil.
Dan fenomena permak tubuh mulai marak dilakukan. Pelopornya adalah selebritis. Mulai dari sedot lemak, memperbesar payudara, menyempurnakan bentuk hidung dan bibir, hingga operasi kelopak mata biar matanya elok. Sebagian dari mereka ada yang mengaku terus terang (bisa jadi bagian dari strategi biar makin ngetop), ada juga yang malu-malu untuk mengakui upaya permak tubuh tersebut. Alasannya tidak lain adalah demi karier, tanggung jawab profesi dan untuk mengukuhkan eksistensinya di dunia hiburan. Bukan rahasia lagi, mereka memang harus menjaga batas minimal standar estetik tak tertulis yang berlaku di dalam industri hiburan itu, jika tidak ingin terdepak.
Seperti terhipnotis, kaum perempuan melakukan hal serupa. Pusat-pusat kebugaran penuh sesak. Kosmetik kecantikan, pil-pil pelangsing tubuh, sedot lemak, atau suplemen pencegah penuaan dini laris manis di pasaran. Parahnya lagi, diet ketat yang kerap menimbulkan kesengsaraan dilakukan. Mulai dari memuntahkan makanan, puasa siang malam hingga menyuntikkan silikon ke dalam tubuh.
Padahal Naomi Wolf dalam bukunya yang berjudul Mitos Kecantikan (2002; 458). mengatakan bahwa upaya merubah kecantikan hanyalah mitos. Bahkan proses menjalani perubahan tubuh demi label cantik secara global itu justru akan menghancurkan diri sendiri. Karena kecantikan itu tidaklah abadi. Dari hasil penelitiannya, obat atau jamu cair untuk merampingkan tubuh telah menyebabkan setidaknya 60 kematian di Amerika. Serta efek samping berupa rasa mual, kerontokan rambut, sakit kepala dan depresi. Olah raga yang berlebihan untuk tujuan menguruskan badan menyebabkan anemia dan menghambat pertumbuhan. Suntik silikon menyebabkan munculnya kanker kulit. Dengan kata lain menjalani bedah kosmetik dan menurunkan berat badan justru memperlemah ketahanan tubuh. Dan, akibat yang paling fatal adalah kematian.
Karena itu pendefinisian ulang tentang kecantikan mutlak dilakukan. Artinya bahwa kecantikan yang alamiah sebenarnya merupakan kecantikan yang paling hakiki. Apa yang kita dapat sejak lahir adalah anugerah yang paling indah. Dan manusia dalam berbagai perbedaan yang kompleks tidak dapat diseragamkan hanya dengan krim pemutih wajah. Tiap manusia punya ciri khasnya sendiri. Dan sebenarnya perbedaan itulah yang menjadikan dunia ini indah, bukan?
Karena itu kaum perempuan harus kembali disadarkan untuk menolak segala bentuk rekayasa kecantikan. Mengembangkan jamu-jamu tradisional mungkin bisa dijadikan solusi alternatif bagi mereka yang kepalang kecanduan terhadap kosmetik. Namun tahap demi tahap mereka harus digerakkan untuk melakukan perlawanan terhadap kecantikan global.
*) Pemerhati masalah sosial-budaya, tinggal di Pamekasan, Madura.

Tidak ada komentar:

Statistik pengunjung