Selasa

Pluralisme Komunikatif

OPSI
Oleh: Fenny Aprilia*
Sejak zaman pendudukan kolonial Belanda, perbedaan golongan seolah menjadi sumber legitimasi untuk melakukan diskriminasi. Pemerintah kolonial membentuk stratifikasi golongan menjadi empat yaitu: Belanda, negara Eropa lainnya, Cina dan India, pribumi-terkait warganegara Hindia-Belanda. Urutan penyebutan golongan dalam tingkatan tersebut mencerminkan perlakuan istimewa yang berhak didapat oleh tiap individu yang berasal dari suatu golongan. Konteks inilah yang memulai sebuah praktik diskriminasi tumbuh dan berkembang di Republik ini.
Sebenarnya, tanpa dibuat-buat, golongan dalam masyarakat sudah merupakan fitrah alamiah yang diturunkan Tuhan kepada manusia. Masyarakat manusia memang sengaja dibentuk dengan sekian banyak perbedaan di dalamnya. Tanpa perlu adanya penggolongan berdasarkan warna kulit, sejatinya tiap manusia memiliki warna kulit yang berbeda. Pun demikian dengan jati diri yang tercipta melalui proses interaksi dan inkulturasi bahasa, suku, agama dan sebagainya. Perbedaan adalah kehendak alam yang diperuntukkan bagi manusia.
Sejarah perkembangan masyarakat versi Marx telah memberi kita sedikit bahan untuk melakukan perenungan. Masyarakat diisi oleh sekian banyak proses kontradiksi dalam perkembangannya. Pertentangan antara kaum yang kuat dengan yang lemah adalah sejarah perkembangan masyarakat yang bisa kita baca dalam Manifesto Partai Komunis yang ditulis oleh Marx. Nampak sekali jika kita menarik garis dengan proses berkembangnya penciptaan golongan kaum kelas atas (penguasa dan pemilik modal) menjadikan fitrah ilahiah berupa golongan dalam masyarakat sebagai kunci memenangkan perseteruan dengan kelas bawah (kaum miskin). Hal mana yang ditujukan untuk terus berupaya memegang legitimasi atas kekuasaan yang diperoleh kelas atas kepada kelas bawah.
Penerjemahan konsep ini, bisa kita temukan dalam sejarah penggolongan masyarakat Indonesia oleh pemerintah kolonial Belanda sebagaimana telah penulis utarakan diatas. Juga bisa kita lihat pada proses berjalannya politik apartheid di negara Afrika Selatan yang melahirkan pejuang anti-diskriminasi Nelson Mandela. Saat ini, proses diskriminasi masih tetap saja nampak di Bumi Pertiwi. Namun, tentu saja prosesnya tidak seradikal di era pemerintah kolonial Belanda. Hal ini, bisa kita temukan pada berbagai kasus yang menimpa kaum perempuan.
Kisah pilu senantiasa mengiringi kaum perempuan untuk mendapatkan kesetaraan di Indonesia. Di era Kartini, perempuan masih sulit untuk bisa sekolah dan berpendidikan tinggi. Hari ini pun, ketika sudah banyak kaum perempuan yang berkegiatan di ruang publik, proses diskriminasi masih juga dimunculkan. Tengok saja ketika proses momen politis seperti Pemilu dan Pilkada berlangsung. Begitu banyak ditebarkan pemahaman bahwa perempuan tidak layak menjadi pemimpin.
Berdiri sejajar dengan kaum perempuan adalah kelompok yang menjadi minoritas di tiap lingkungan masyarakat. Proses marjinalisasi etnis Tionghoa adalah buktinya. Walau pemerintah sudah mengusahakan proses yang dianggap mengusahakan kesetaraan bagi etnis Tionghoa melalui keluarnya beberapa aturan baru seperti UU Kewarganegaraan. Toh, diskriminasi masih kerap kali menimpa warga yang beretnis Tionghoa. Di lingkungan penulis saja, masih terdengar bahwa pemilik toko yang kebetulan berasal dari etnis Tionghoa sering dimintai uang oleh penduduk asli di daerah tersebut.
Diskriminasi adalah perlakuan yang selalu mengintip keberadaan golongan yang dianggap sebagai minoritas baik segi jumlah maupun penafsiran atas kebudayaan. Oleh karena itu, pemerintah tidak cukup sekadar menjadikan aturan sebagai alat bagi terhapusnya sikap diskriminasi di negara ini.
Manusia selalu melarutkan seluruh hidupnya dalam interaksi di masyarakat. Oleh karena itu, perlu dikembangkan sebuah ruang interaksi yang anti-diskriminasi dalam masyarakat kita. Interaksi melahirkan komunikasi yang tercermin dari bahasa dan perilaku dari individu kepada individu lainnya. Hal yang harus terus menerus dikembangkan adalah komunikasi yang mampu menjembatani tiap golongan secara arif tanpa harus menihilkan segala perbedaan yang ada.
Pluralitas adalah sumber kekuatan sebuah negara. Sedangkan diskriminasi adalah bentuk interaksi yang keliru dan selalu muncul akibat perbedaan. Ruang-ruang interaksi masyarakat harus dibentuk agar perbedaan menjadi sebuah faktor penggerak yang produktif bagi terciptanya masyarakat yang teratur. Pendidikan, agama dan seluruh bidang kehidupan masyarakat harus senantiasa diarahkan bagi munculnya sikap dan sifat memahami segala perbedaan.
Selama ini, masih saja terlihat di masyarakat, proses komunikasi berjalan tanpa memandang segala perbedaan yang menghuni perikehidupan masyarakat. Tentu saja, ini berkait erat dengan penguasaan pengetahuan yang dimiliki oleh tiap individu. Untuk membangun proses komunikasi yang setara dan menjunjung tinggi pluralitas, pihak penyelenggara pendidikan -sekolah dan lingkungan- memiliki beban tanggungjawab yang penuh. Jika diskriminasi masih saja selalu terlihat dari interaksi antar individu di Republik ini, maka apa bedanya dengan Indonesia ketika masih bernama Hindia-Belanda?
*) Mahasiswi Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran, tinggal di Bandung.

Tidak ada komentar:

Statistik pengunjung