OLEH: Em. Lukman Hakim*
Masyarakat seringkali baru menyadari fungsi terpenting pendidikan ketika mengalami serangkaian kegagalan. Kesadaran ini selalu aktual bagi masyarakat kebanyakan. Iming-iming pendidikan murah, anggaran pendidikan 20 persen, kecerdasan bangsa, dan jargon pendidikan yang kerap dikampanyekan pemerintah, hanyalah iming-iming yang tidak pernah terealisir. Perjalan sejarah kebangsaan kita yang sudah setengah abad lebih, memang telah meletakkan landasan yang cukup sistemik untuk memanusiakan rakyat melalui pendidikan. Sayang, landasan itu berada di atas menara gading, tanpa diimbangi kesanggupan penyelenggara negara untuk membumikannya.
Alokasi anggaran pendidikan Indonesia pada 1980 yang hanya 1,2% dari produk domestik bruto (PDB). Dan yang mengenaskan, angka itu malah turun menjadi 1,0% dari PDB pada 1990 dan turun menjadi 0,8% dari PDB pada 2000. Kemerosotan itu tetap hingga 2003. Kala itu pengeluaran pemerintah untuk pendidikan tinggi Rp 13 triliun atau sekitar 7% dari anggaran pendapatan dan belanja negara atau 0,8% dari PDB.
Sementara itu pada kurun waktu yang sama, Malaysia justru menyediakan anggaran yang lebih besar pada 1990, yakni 5,5% dari PDB, dan 5,8% dari PDB pada 2000. Itulah alasan mengapa saat ini Malaysia jauh lebih maju dibandingkan dengan Indonesia.
Vietnam tak kalah agresif dalam mengembangkan pendidikan. Pada 2000, saat anggaran pendidikan Indonesia berkutat sekitar 10% dari total anggaran belanja nasional, anggaran pendidikan Vietnam saat itu sudah mencapai 15% dari total anggaran belanja dan ditargetkan menjadi 20% pada 2010. Vietnam juga sukses membuat gerakan wajib belajar untuk anak usia 6-14 tahun sejak 2000. Kala itu angka anak yang lulus sekolah dasar cuma 70% pada 2000 meningkat menjadi 80% pada 2005 dan ditargetkan 2010 anak yang lulus SD mencapai 90 %.
Indonesia memang belum sehebat Malaysia, namun kita boleh sedikit terhibur ketika segelintir pelajar meraih penghargaan lewat berbagai kompetisi sains internasional, seperti olimpiade fisika dan olimpiade biologi. Itu memang bukti bahwa kualitas anak didik kita tak kalah gemilang. Namun, prestasi berkilau itu belum dapat dijadikan gambaran umum mengenai kondisi peserta didik lain. Sebab, masih banyak anak didik yang tarafnya jauh lebih rendah. Bahkan, untuk lulus ujian akhir nasional yang standar kelulusannya cuma nilai 4 pun mesti ditolong praktek curang para guru.
Blundernya sikap pemerintah dalam dunia pendidikan, justru pada saat bersamaan dijadikan media untuk meraih keuntungan. Industrialisasi lembaga pendidikan yang kerap dipertontonkan dengan semakin mahalnya biaya pendidikan, yang tidak sepadan dengan kualitas dan produk pendidikan yang dihasilkan. Menjamurnya bimbingan belajar di berbagai sekolah di satu sisi nyaris mempertegas eksistensi industrialisasi lembaga pendidikan itu. Sementara pada sisi lain, pendidikan anak-anak yang hidup di lingkungan sosial sederhana semakin tertinggal (Steven M. Chan, 2002). Dalam kondisi yang demikian, pendidikan tidak lagi berperan sebagai media pembebasan dan penanaman nilai-nilai kemanusiaan, melainkan skandal-skandal pembodohan terhadap peserta didik secara sistemik telah dihamparkan di depan mata.
Pendidikan yang sejatinya diperuntukkan bagi pertumbuhan untuk memunculkan manusia paripurna, justru kerap berujung pada obral ijazah, jual beli nilai, bongkar pasang kurikulum, guru tidak berkualitas dan orientasi bisnis dalam pendidikan merupakan bukti konkrit akan perilaku pembodohan. Pembodohan siswa yang telah menjadi biang keladi gagalnya pendidikan peserta didik yang berkualitas. Lembaga yang bernama sekolah tidak lagi dapat berkutik untuk menjadikan manusia yang tangguh menghadapi tantangan intelektual apalagi moral.
Pembodohan pendidikan merupakan kata lain dari pembunuhan karakter putra-putra bangsa. Perdebatan perubahan kurikulum, sertifikasi guru, kompetensi siswa, mahalnya biaya sekolah, rendahnya penghargaan terhadap guru adalah sederatan dilema dunia pendidikan yang berhasil dipotret.
Kompleksitas persoalan pendidikan semakin absurd, ketika problem pendidikan telah menghasilkan problem lebih baru lagi. Sekolah kini menjadi lembaga legal yang semakin memperlebar jurang pemisah antar si kaya dan si miskin. Beberapa lembaga pendidikan telah terang-terangan mematok harga yang sulit dijangkau masyarakat miskin. Beberapa sekolah yang tergolong murah, justru pada titik tertentu tidak dapat masuk pada persoalan-persoalan khas siswanya. Para siswa yang sesudah sekolah harus peras keringat untuk membantu orang tuanya mencari nafkah, atau mereka yang belajar di bawah temaram lampu jarak, atau mereka yang terpaksa harus jalan kaki berkilo-kilo meter ke sekolah, selalu disamakan (perlakuannya) dengan siswa-siswa sekolah yang notabene anak orang kaya.
Absurditas ini menegaskan, bahwa sekolah bukan lagi merupakan lembaga pendidikan yang dapat menjalankan proses pendidikan dan pembelajaran dengan benar (Paulo Freire, 1999). Bahkan tak jarang, sekolah justru kerap membelenggu kreativitas, mengasingkan siswa dari realitas, mengerdilkan idealisme, membuat bingung, cemas serta lemah bagi peserta didik. Karena sekolah tidak hanya terkesan elitis tetapi juga sangat rapuh.
Pendidikan adalah sebuah tindakan fundamental, perbuatan yang menyentuh akar-akar hidup kita sehingga mengubah dan menentukan hidup manusia (Imam Barnadib, 1986), sehingga pengertian pendidikan tidak hanya terbatas pada pendidikan formal di sekolah melainkan juga melalui pendidikan informal. Pendidikan sebagai sebuah proses penanggulangan masalah-masalah serta penemuan dan peningkatan kualitas hidup pribadi serta masyarakat berlangsung seumur hidup. Namun, mengingat saat ini sekolah (seperti) kehilangan monopolinya dalam proses transformasi ilmu, pengetahuan dan keterampilan kepada peserta didik untuk memahami lebih dalam tentang arti dan tujuan pendidikan itu sendiri dengan maraknya pendidikan alternatif dengan prinsip membimbing anak untuk belajar sesuai motivasi dan keinginannya, menjadikan kita mempertanyakan kembali arah pendidikan kita dalam situasi kultural-politis seperti sekarang ini, menjadi kian aktual dan mendesak. Karena hakikat dari pendidikan sesungguhnya adalah untuk pemerdekaan, bukan pembodohan.
*) Pengamat pendidikan, tinggal di Jember
Masyarakat seringkali baru menyadari fungsi terpenting pendidikan ketika mengalami serangkaian kegagalan. Kesadaran ini selalu aktual bagi masyarakat kebanyakan. Iming-iming pendidikan murah, anggaran pendidikan 20 persen, kecerdasan bangsa, dan jargon pendidikan yang kerap dikampanyekan pemerintah, hanyalah iming-iming yang tidak pernah terealisir. Perjalan sejarah kebangsaan kita yang sudah setengah abad lebih, memang telah meletakkan landasan yang cukup sistemik untuk memanusiakan rakyat melalui pendidikan. Sayang, landasan itu berada di atas menara gading, tanpa diimbangi kesanggupan penyelenggara negara untuk membumikannya.
Alokasi anggaran pendidikan Indonesia pada 1980 yang hanya 1,2% dari produk domestik bruto (PDB). Dan yang mengenaskan, angka itu malah turun menjadi 1,0% dari PDB pada 1990 dan turun menjadi 0,8% dari PDB pada 2000. Kemerosotan itu tetap hingga 2003. Kala itu pengeluaran pemerintah untuk pendidikan tinggi Rp 13 triliun atau sekitar 7% dari anggaran pendapatan dan belanja negara atau 0,8% dari PDB.
Sementara itu pada kurun waktu yang sama, Malaysia justru menyediakan anggaran yang lebih besar pada 1990, yakni 5,5% dari PDB, dan 5,8% dari PDB pada 2000. Itulah alasan mengapa saat ini Malaysia jauh lebih maju dibandingkan dengan Indonesia.
Vietnam tak kalah agresif dalam mengembangkan pendidikan. Pada 2000, saat anggaran pendidikan Indonesia berkutat sekitar 10% dari total anggaran belanja nasional, anggaran pendidikan Vietnam saat itu sudah mencapai 15% dari total anggaran belanja dan ditargetkan menjadi 20% pada 2010. Vietnam juga sukses membuat gerakan wajib belajar untuk anak usia 6-14 tahun sejak 2000. Kala itu angka anak yang lulus sekolah dasar cuma 70% pada 2000 meningkat menjadi 80% pada 2005 dan ditargetkan 2010 anak yang lulus SD mencapai 90 %.
Indonesia memang belum sehebat Malaysia, namun kita boleh sedikit terhibur ketika segelintir pelajar meraih penghargaan lewat berbagai kompetisi sains internasional, seperti olimpiade fisika dan olimpiade biologi. Itu memang bukti bahwa kualitas anak didik kita tak kalah gemilang. Namun, prestasi berkilau itu belum dapat dijadikan gambaran umum mengenai kondisi peserta didik lain. Sebab, masih banyak anak didik yang tarafnya jauh lebih rendah. Bahkan, untuk lulus ujian akhir nasional yang standar kelulusannya cuma nilai 4 pun mesti ditolong praktek curang para guru.
Blundernya sikap pemerintah dalam dunia pendidikan, justru pada saat bersamaan dijadikan media untuk meraih keuntungan. Industrialisasi lembaga pendidikan yang kerap dipertontonkan dengan semakin mahalnya biaya pendidikan, yang tidak sepadan dengan kualitas dan produk pendidikan yang dihasilkan. Menjamurnya bimbingan belajar di berbagai sekolah di satu sisi nyaris mempertegas eksistensi industrialisasi lembaga pendidikan itu. Sementara pada sisi lain, pendidikan anak-anak yang hidup di lingkungan sosial sederhana semakin tertinggal (Steven M. Chan, 2002). Dalam kondisi yang demikian, pendidikan tidak lagi berperan sebagai media pembebasan dan penanaman nilai-nilai kemanusiaan, melainkan skandal-skandal pembodohan terhadap peserta didik secara sistemik telah dihamparkan di depan mata.
Pendidikan yang sejatinya diperuntukkan bagi pertumbuhan untuk memunculkan manusia paripurna, justru kerap berujung pada obral ijazah, jual beli nilai, bongkar pasang kurikulum, guru tidak berkualitas dan orientasi bisnis dalam pendidikan merupakan bukti konkrit akan perilaku pembodohan. Pembodohan siswa yang telah menjadi biang keladi gagalnya pendidikan peserta didik yang berkualitas. Lembaga yang bernama sekolah tidak lagi dapat berkutik untuk menjadikan manusia yang tangguh menghadapi tantangan intelektual apalagi moral.
Pembodohan pendidikan merupakan kata lain dari pembunuhan karakter putra-putra bangsa. Perdebatan perubahan kurikulum, sertifikasi guru, kompetensi siswa, mahalnya biaya sekolah, rendahnya penghargaan terhadap guru adalah sederatan dilema dunia pendidikan yang berhasil dipotret.
Kompleksitas persoalan pendidikan semakin absurd, ketika problem pendidikan telah menghasilkan problem lebih baru lagi. Sekolah kini menjadi lembaga legal yang semakin memperlebar jurang pemisah antar si kaya dan si miskin. Beberapa lembaga pendidikan telah terang-terangan mematok harga yang sulit dijangkau masyarakat miskin. Beberapa sekolah yang tergolong murah, justru pada titik tertentu tidak dapat masuk pada persoalan-persoalan khas siswanya. Para siswa yang sesudah sekolah harus peras keringat untuk membantu orang tuanya mencari nafkah, atau mereka yang belajar di bawah temaram lampu jarak, atau mereka yang terpaksa harus jalan kaki berkilo-kilo meter ke sekolah, selalu disamakan (perlakuannya) dengan siswa-siswa sekolah yang notabene anak orang kaya.
Absurditas ini menegaskan, bahwa sekolah bukan lagi merupakan lembaga pendidikan yang dapat menjalankan proses pendidikan dan pembelajaran dengan benar (Paulo Freire, 1999). Bahkan tak jarang, sekolah justru kerap membelenggu kreativitas, mengasingkan siswa dari realitas, mengerdilkan idealisme, membuat bingung, cemas serta lemah bagi peserta didik. Karena sekolah tidak hanya terkesan elitis tetapi juga sangat rapuh.
Pendidikan adalah sebuah tindakan fundamental, perbuatan yang menyentuh akar-akar hidup kita sehingga mengubah dan menentukan hidup manusia (Imam Barnadib, 1986), sehingga pengertian pendidikan tidak hanya terbatas pada pendidikan formal di sekolah melainkan juga melalui pendidikan informal. Pendidikan sebagai sebuah proses penanggulangan masalah-masalah serta penemuan dan peningkatan kualitas hidup pribadi serta masyarakat berlangsung seumur hidup. Namun, mengingat saat ini sekolah (seperti) kehilangan monopolinya dalam proses transformasi ilmu, pengetahuan dan keterampilan kepada peserta didik untuk memahami lebih dalam tentang arti dan tujuan pendidikan itu sendiri dengan maraknya pendidikan alternatif dengan prinsip membimbing anak untuk belajar sesuai motivasi dan keinginannya, menjadikan kita mempertanyakan kembali arah pendidikan kita dalam situasi kultural-politis seperti sekarang ini, menjadi kian aktual dan mendesak. Karena hakikat dari pendidikan sesungguhnya adalah untuk pemerdekaan, bukan pembodohan.
*) Pengamat pendidikan, tinggal di Jember
Tidak ada komentar:
Posting Komentar