Senin

Indonesia, Parkir Saja Pesawatmu!

TEROPONG
Himawan Kristianto*
TAHUN ini, sepertinya menjadi periode paling sulit dan dilematis buat dunia penerbangan Indonesia. Jagat penerbangan nasional memang harus tabah menerima pil pahit yakni “terasing” dari komunitas masyarakat dunia. Betapa tidak, hanya dalam tempo sebulan, dunia penerbangan Indonesia secara beruntun dihantam badai warning dan pencekalan terbang (larangan terbang) ke sejumlah negara di dunia.
Akhir Juni lalu, Komite Ahli Uni Eropa (UE) mengumumkan daftar maskapai yang dilarang terbang di wilayah langit negara-negara UE dengan alasan keselamatan. Disebutkan bahwa seluruh maskapai penerbangan asal Indonesia, (51 maskapai) termasuk maskapai milik pemerintah, Garuda Indonesia Airways, “dicekal’ terbang ke negara-negara UE. Berita buruk berikutnya datang dari pemerintah Australia dan Arab Saudi.
Belum lama ini, pemerintah Australia mengumumkan travel warning kepada warganya agar tidak boleh naik pesawat milik maskapai Indonesia. Selanjutnya, pemerintah Arab Saudi mengirimkan surat (rencana) pencekalan terhadap maskapai Indonesia, tertangal 15 Juli 2007 agar tidak terbang ke negara itu menyusul pencekalan yang dilakukan Uni Eropa. (Meski belakangan ini pihak Arab Saudi bersedia “bernegosiasi” untuk membatalkan rencana licik tersebut).
Yang tidak kalah mengejutkan, lagi-lagi badai larangan berupa warning itu datang dari pemerintah Korea Selatan. Pemerintah negara ini memberikan warning kepada seluruh maskapai Indonesia agar memperbaiki kualitas dan layanan penerbangan jika tidak mau dicekal di langit Korea Selatan. Sebenarnya, peringatan-peringatan seperti ini bukan yang pertama kali menimpa dunia penerbangan Indonesia. Sebelumnya, 25 April 2007, Badan Penerbangan Federal AS (FAA) juga telah mengumumkan bahwa maskapai penerbangan Indonesia tidak memenuhi standar keselamatan internasional yang dibuat Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO).
Tidak bisa dipungkiri, potret buram lalu lintas udara ini tentu menjadi tamparan sangat menyakitkan bagi Indonesia. Pasalnya, semua tahu, Indonesia menjadi salah satu negara tujuan wisata dunia sehingga sangat strategis dan ekonomis buat sebuah maskapai. Sedangkan Arab Saudi menjadi salah satu negara tujuan beroperasinya maskapai penerbangan Indonesia terutama terkait penyelenggaraan ibadah haji dan umroh setiap tahun.
Vonis Komisi UE dan segelintir negara lainnya yang melarang semua pesawat Indonesia terbang di wilayah udaranya, selain merupakan peringatan terhadap dunia penerbangan, juga membuktikan betapa kredibilitas perusahaan penerbangan Indonesia amat rendah dan tidak diakui. Tujuan dikeluarkan larangan terbang UE, lebih pada sebuah komitmen, memastikan pemegang otoritas penerbangan sipil setempat dalam meningkatkan kelayakan terbang.
Keputusan ini tidak hanya mengurangi kepercayaan dunia terhadap bisnis penerbangan Indonesia, tetapi kian memojokkan Indonesia dalam pergaulan internasional. Dengan keluarnya larangan terbang ini, terbuka kemungkinan mempersulit posisi RI dalam berbagai bidang. Jadi, selain berdampak buruk bagi kelangsungan maskapai, dalam jangka menengah agak berimbas pada sisi ekonomi di dalam negeri. Kecenderungan menurunnya investasi asing dan kian terpuruknya sektor pariwisata, menjadi salah satu signal.
Harus disadari, vonis pencekalan UE, Arab Saudi dan travel warning dari AS dan Australia adalah hal yang sangat serius dan memerlukan solusi segera untuk disikapi serius. Bisa dipahami, larangan terbang dikeluarkan karena penerbangan di Indonesia sering mengalami kecelakaan sehingga tidak menjamin keselamatan penumpang. Faktanya, intensitas kecelakaan pesawat komersial yang begitu tinggi di Indonesia belakangan ini, juga menjadi pemicu posisi keselamatan penerbangan tersungkur pada titik terendah. Menurut data internasional, potensi resiko kecelakaan pesawat di Indonesia menduduki ranking ketiga, setelah Amerika Latin dan Rusia.
Terkait keputusan travel warning dan pencekalan maskapai penerbangan Indonesia, kita memang wajib membela diri, termasuk menggugat parameter yang digunakan untuk menilai agar pesawat Indonesia dianggap “tidak aman”. Di sisi lain, keputusan ini harus tetap diambil hikmahnya. Penting juga disadari, bahwa masalah penerbangan Indonesia telah menjadi masalah krusial. Untuk itu, pelbagai pihak terkait bisnis penerbangan; pemerintah (Dephub), maskapai, pilot, karyawan, bandara, pengawas kelaikan dan keselamatan penerbangan, harus melakukan evaluasi total. Pihak Dephub tidak boleh memandang carut-marut masalah penerbangan nasional hanya dengan sebelah mata. Ini patut ditekankan karena Dephub terlalu sering “menggampangkan” masalah dengan lebih memilih cara-cara ‘instan” dan asal-asalan seperti ketika menangani berbagai kasus kecelakaan pesawat.
Buktinya, dalam publikasi peringkat maskapai penerbangan, kenapa dengan “sangat mudah” Dephub menetapkan sebuah maskapai “naik peringkat” (dari maskapai kategori III ke II, dan dari peringkat II ke peringkat I), padahal hanya dalam rentang waktu tiga bulan? Misalnya, kasus pesawat Adam Air yang hilang di perairan Sulawesi Barat, awal tahun 2007, yang hingga kini bangkai pesawatnya belum juga ditemukan, kenapa peringkat maskapainya bisa dengan mudah naik “kasta’’? Apakah indikator dalam rentang waktu tiga bulan cukup untuk menentukan peringkat sebuah maskapai? Apakah prestasi dan kinerja di masa lalu dalam bidang keamanan dan keselamatan, sama sekali tidak diperhatikan dalam penentuan peringkat itu?
Terlepas dari kelemahan pemerintah tersebut, konklusinya, bahwa jika tetap ingin “diakui” dunia Internasional, maka seluruh maskapai penerbangan di Indonesia harus berupaya keras meningkatkan standar keselamatan penerbangan sipil secara konsisten dan transparan. Yang juga terpenting, upaya-upaya prioritas untuk meyakinkan komitmen dengan cara membangun komunikasi lintas pemerintah, --terutama badan-badan yang bersentuhan langsung dengan penerbangan dunia. Jika tidak, maka satu kesimpulan nan pesimistis terkait jagat penerbangan Indonesia bisa saja dengan enteng dilontarkan masyarakat: “Sudahlah, jangan lagi terbang ke mana-mana, parkir saja pesawatnya!” Semoga tidak!!!
*) Mahasiswa Jurusan Teknik Penerbangan Sekolah Tinggi Teknologi Adisutjipto (STTA) Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

Statistik pengunjung