Senin

SOROT (BOX)
Agamawan Dan Jeratan Kemiskinan
Oleh: M. Husnaini*
Tak dapat dipungkiri, kemiskinan adalah persoalan nyata yang dihadapi bangsa Indonesia hingga detik ini. Bahkan, kemiskinan yang kita alami saat ini sudah sangat mengerikan. Data Bank Dunia November 2006 menyebut, kemiskinan di Indonesia sudah mencapai kisaran 49% dari seluruh penduduk Indonesia. Itu berarti, terdapat sebanyak 149 dari total 200 juta jiwa penduduk Indonesia yang hidup dalam kondisi serba kurang.
Sungguh angka yang fantastis. Jumlah itu --kalau tidak salah-- sedikit lebih banyak dari seluruh penduduk Jerman, sedikit kurang dari seluruh penduduk Jepang, dua kali lebih banyak dari seluruh penduduk Inggris, dan lebih banyak dari seluruh penduduk negara-negara Skandinavia di ujung Utara Benua Eropa. Selain data di atas, data Susenas 2006, membuktikan bahwa pada tahun 2005 angka kemiskinan sudah mencapai 35,10 juta jiwa (15,97 persen), kemudian meningkat menjadi 39,05 juta jiwa atau 17,75 persen pada tahun 2006.
Kemiskinan, sejatinya, bukan kondisi yang diinginkan setiap bangsa manapun di dunia ini. Namun, jeratan kemiskinan saat ini senantiasa mengintai sepanjang hari sehingga setiap tahun angka kemiskinan terus meningkat. Jika hal itu tidak secara cerdas dan fundamental segera dicari jalan keluar untuk mengatasinya, puluhan bahkan ratusan juta manusia warga bumi Nusantara ini akan tetap tertinggal dan tergilas waktu yang progresi pergerakan dan pergeserannya semakin hari akan semakin cepat.
Menurut ukuran resmi data kependudukan dalam relasinya dengan parameter kemakmuran dan kemiskinan, hidup miskin atau hidup di bawah garis kemiskinan itu --secara standar kesejahteraan sosial dan ekonomi-- lebih kurang berarti, ukuran hidup manusia yang kurang atau tidak memiliki akses ke standar penghasilan yang memadai untuk hidup layak, layanan gizi dan kesehatan yang cukup, kesempatan memasuki bidang kerja yang sesuai, kesempatan memperoleh layanan pendidikan yang memadai, kesempatan memperoleh jaminan sosial masa depan yang menjanjikan, dan memiliki kesempatan bersaing yang sama untuk memasuki ruang-ruang publik yang terbuka bagi semua warga.
Padahal, standar kemiskinan selalu berkonotasi dengan relasi kebodohan, keterbelakangan, dan ketidakmampuan mengatasi pelbagai parameter masalah tantangan kesejahteraan hidup. Tidak hanya dalam perspektif politik, sosial, dan ekonomi, tetapi juga dalam perspektif progresi waktu yang berkaitan dengan kehidupan di masa depan. Hidup miskin tidak hanya berarti hidup kurang sandang, papan, dan pangan --sebagaimana orang dulu mengartikannya. Dalam pengertian masa kini, secara umum, hidup miskin dapat pula diartikan sebagai hidup yang terpinggirkan, terabaikan, dan terputusnya akses berkesempatan dari progresi waktu yang terus akan berlanjut ke masa depan.
Dalam konteks ini, kemiskinan akan memberi banyak peluang bagi seseorang --secara potensial-- menjadi kalah dalam berbagai hal. Bukan hanya kalah dalam kemungkinan memiliki, kalah dalam hal meraih kesempatan dan bersaing dalam dataran yang sepadan, akan tetapi juga kalah dalam hal memilih tawaran-tawaran yang tersedia secara terbuka.
Karena itu, membongkar jeratan kemiskinan harus dilakukan dengan cara-cara sistemik, tidak parsial, dari mewacanakan agar setiap kita memiliki kepekaan sosial yang tinggi sehingga sikap solidaritas dan filantropi menjadi bagian hidup setiap warga Indonesia. Selain itu juga dapat dilakukan dengan cara-cara nyata, seperti, menyantuni mereka yang miskin.dan pemberian karitatif --meski cara-cara semacam ini telah banyak menuai kritik.
Mengingat kemiskinan merupakan lingkaran setan yang tidak pernah ada ujung dan pangkalnya, maka harus dikonstruksi sebuah pekerjaan yang terus dilakukan dan dikerjakan oleh kelompok masyarakat yang bersentuhan dengan penanaman jiwa agama pada masyarakat. Kaum agamawan, aktivis gerakan dalam level wacana, diharapkan mampu memberi kontribusi yang berarti terhadap kebijakan pemerintah (negara).
Pamahaman terhadap doktrin-doktrin keagamaan yang sakral dan ‘kurang berbunyi’ secara sosial, harus diubah dan ditransformasikan ke dalam wujud tindakan nyata sehingga menjadi kerja sama untuk pembebasan manusia. Dengan kata lain, rumusan pemahaman agama tidak (boleh) hanya sebatas memperkuat dimensi kesalehan individual sebagai bentuk personal piety semata, tetapi juga direalisasikan dalam bentuk teologi kerja yang berpihak kepada kaum papa dan lebih berspektif social piety.
Di situlah posisi penting para agamawan dan aktivis gerakan ketimbang disibukkan dengan saling memutlakkan kebenaran agama yang tidak pernah menyentuh tataran praktis pelbagai persoalan terkait kebutuhan dasar masyarakat Indonesia, ekonomi. Wallahu A’lam bi as-Shawaab!
*) Alumnus PP. Al-Ishlah Sendangagung Paciran Lamongan, tinggal di Surabaya.

Tidak ada komentar:

Statistik pengunjung