REFLEKSI
Oleh: Ken Ratih Indri Hapsari*
Setahun lalu, 30 April 2006 pukul 08.55 Pramoedya wafat dalam usia 81 tahun. Ratusan pelayat tampak memenuhi rumah dan pekarangan Pram di Jalan Multikarya II No 26, Utan Kayu, Jakarta Timur. Pelayat yang hadir antara lain Sitor Situmorang, Erry Riyana Hardjapamekas, Nurul Arifin dan suami, Usman Hamid, Putu Wijaya, Goenawan Mohamad, Gus Solah, Ratna Sarumpaet, Budiman Sujatmiko, serta puluhan aktivis, sastrawan, dan cendekiawan. Hadir juga Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik. Terlihat sejumlah karangan bunga tanda duka, antara lain dari Kontras, Wapres Jusuf Kalla, artis Happy Salma, pengurus DPD PDI Perjuangan, Dewan Kesenian Jakarta, dan lain-lain. Teman-teman Pram yang pernah ditahan di Pulau Buru juga hadir melayat. Temasuk para anak muda fans Pram.
Saya awalnya tidak begitu kenal dengan tokoh yang menganut ideologi realisme sosialis ini. Ketertarikan saya dengan Pram adalah cara pandangnya tentang perempuan. Tokoh Nyai Ontosoroh dalam Tetralogi Pramoedya Ananta Toer (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, Rumah Kaca) adalah gambaran dari perempuan yang mengalami pencerahan; sosok yang bersahaja. Ia mirip dengan seorang ibu dalam novel Ibunda-nya Maxim Gorky yang memahami dan mengerti kenapa anaknya, dan anak-anak muda lainnya, harus berjuang membebaskan belenggu ketertindasan. Bahkan sang Ibu tersebut bukan hanya merelakan anaknya dengan tangis keharuan atas jiwa kepahlawanan. Seorang Ibu dalam novel Gorky digambarkan sebagai orangtua yang bertindak: mengirimkan surat-surat ke penjara, membagi-bagikan selebaran secara sembunyi-sembunyi.
Secara tegas, Ibunda dalam karya Gorky digambarkan sebagai sosok perempuan yang hidup di masa Revolusi Demokratik berlangsung di Rusia, sekitar awal abad 20. Ia bersama rakyat miskin lainnya hidup di tengah peluit pabrik yang menjerit-jerit di atas perkampungan buruh yang kumuh. Ibunda menikah dengan Michail Wlassow, laki-laki peminum berat, yang memperlakukan istri secara amat kejam. Setelah suaminya meninggal banyak keadaan yang berubah. Ia masih punya anaknya yang bernama Pavel, yang kemudian menjadi aktivis buruh dan terlibat dalam gerakan politik pada waktu itu.
Keterlibatan Pavel dalam politik dimulai ketika ia memiliki kebiasaan baru, yaitu membaca buku dan interaksinya dengan para aktivis yang ditemuinya di tempat lain. Awalnya, ketika dilihatnya bahwa kepribadian, komitmen, dan (utamanya) tujuan hidup anak laki-laki itu berubah, Sang Ibunda cemas dan khawatir padanya. Tetapi akhirnya ia mulai dapat memahami hal-hal baru yang tak pernah terbayangkan dalam hidupnya setelah kawan-kawan Pavel menyusun sebuah gerakan kemanusiaan yang bahkan juga dibicarakan di rumahnya. Bahkan Sang Ibunda haru karena sekecil kumpulan pemuda tidak mabuk-mabukan ketika mengadakan pertemuan di antara mereka. Padahal, di daerah tempat ia tinggal, bila seorang pemuda telah usai kerjanya di pabrik dan berkumpul dengan teman-temannya, kegiatan yang normal adalah minum-minum sampai mabuk. Hal baru yang lainnya adalah bagaimana seorang gadis kawan Pavel mengorbankan dirinya, waktunya, hanya untuk sesuatu yang abstrak, yang disebut cita-cita.
Maka, dalam novel Gorky ini seorang ibu digambarkan sebagai sosok yang produktif dan aktif dalam sejarah untuk perubahan masyarakat. Bukan seorang ibu yang cengeng dan hanya menginginkan kesuksesan pribadi anaknya. Ibunda dalam novel Gorky ini memiliki cinta kasih universal, menyinari perasaan-perasaan tersulit anak-anak selama menghadapi represi kekuasaan Tsar. Ketika Pawel dan anak-anak itu satu persatu ditangkap bahkan disiksa di depan matanya, Ibunda terjun ke kancah revolusi dengan peranannya sebagai pendistribusi pamflet ke kalangan buruh dan tani. Kemudian ia dituduh pencuri oleh seorang mata-mata, dan saat sedang ditangkap polisi militer dengan kekerasan, ia teriakkan bahkan samudera pun tak kan mampu menenggelamkan kebenaran.
Pengaruh Maxim Gorky dan sastra realisme sosialis di Indonesia memang melekat pada Pramoedya Ananta Toer, sastrawan besar Indonesia yang telah meninggal dunia setahun lalu. Melalui karya terbesarnya, tetralogi Bumi Manusia, Pram juga mengangkat sosok perempuan sekaligus seorang ibu di masa penjajahan yang banyak melontarkan pemikiran yang maju dan mencerahkan.
Nyai Ontosoroh yang dikonstruksi dan diidealisasi Pram juga merupakan seorang yang karena pengaruh pencerahan ikut mendukung menyebarnya pemikiran baru yang sedang bangkit waktu itu. Nyai Ontosoroh adalah seorang wanita bumi putera yang bernama asli Sanikem, perempuan pribumi sederhana yang awalnya tak berdaya untuk menolak menjadi gundik (nyai) seorang Belanda bernama Herman Mellema. Tetapi ia menemukan kebangkitan diri. Kekalahannya dalam bentuk ketakberdayaan menolak untuk menjadi gundik mendorong Nyai Ontosoroh untuk banyak menyerap berbagai arus pemikiran Belanda dan bahkan mengendalikan perusahaan milik Herman.
Nyai Ontosoroh tetaplah Sanikem wanita pribumi yang lagi-lagi tak berdaya ketika anaknya, Anellies, diambil paksa dari tangannya. Tetapi bagaimanapun juga Nyai Ontosoroh dalam novel tersebut telah berusaha keras melakukan perlawan mempertahankan anaknya meski kalah. Kekalahan adalah resiko dari pertarungan. Tetapi semangat untuk mengalahkan belenggu penindasan dan kemunafikan adalah sebuah harga yang mahal. Dalam novel tersebut digambarkan bahwa Nyai Ontosoroh berkata kepada tokoh Minke dengan kepala tegak: "Kita kalah. Kita telah melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya sehormat-hormatnya!"
Dalam novel tersebut, Nyai Ontosoroh adalah seorang ibu yang sangat mengasihi anaknya, Annelis. Bahkan ia adalah sang ibu yang memberikan banyak gagasan maju yang mencerahkan anak angkatnya, Minke, seorang pemuda keturunan bangsawan Jawa yang tidak lagi mau tunduk patuh pada produk pikiran dan tindakan lama yang mencerminkan relasi ketidakadilan. Seorang ibu, Nyai Ontosoroh, telah mendorong seorang pemuda untuk berpartisipasi dalam mendukung perubahan di sebuah negeri yang memang hendak meninggalkan jaman kegelapan. Seorang ibu dalam masyarakat transisi memiliki peran yang kuat, tidak lemah dan hanya tunduk patuh serta jatuh ke dalam kubang posisi dan peran domestik, apa lagi sampai menjadi objek kekerasan suami.
Karya-karya semacam itulah yang sangat kita butuhkan sekarang ini. Perjuangan memperjuangkan hak-hak perempuan dan menuntut partisipasi aktif dan produktif bagi kaum perempuan adalah kebutuhan yang tak dapat ditawar. Para penulis dan pengarang (sastrawan) harus mengagendakan aktualisasi komitmen sosial kepengarangannya, terutama dari kaum perempuan sendiri yang seharusnya berada di garis depan dalam dunia kesusastraan untuk menuliskan posisi dan peran yang maju dan mendobrak budaya patriarki.
*) Mahasiswi Sosiologi FISIP Universitas Jember; aktivis KiPaS (Komite Independen Perempuan dan Anak untuk Aksi Sosial).
Oleh: Ken Ratih Indri Hapsari*
Setahun lalu, 30 April 2006 pukul 08.55 Pramoedya wafat dalam usia 81 tahun. Ratusan pelayat tampak memenuhi rumah dan pekarangan Pram di Jalan Multikarya II No 26, Utan Kayu, Jakarta Timur. Pelayat yang hadir antara lain Sitor Situmorang, Erry Riyana Hardjapamekas, Nurul Arifin dan suami, Usman Hamid, Putu Wijaya, Goenawan Mohamad, Gus Solah, Ratna Sarumpaet, Budiman Sujatmiko, serta puluhan aktivis, sastrawan, dan cendekiawan. Hadir juga Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik. Terlihat sejumlah karangan bunga tanda duka, antara lain dari Kontras, Wapres Jusuf Kalla, artis Happy Salma, pengurus DPD PDI Perjuangan, Dewan Kesenian Jakarta, dan lain-lain. Teman-teman Pram yang pernah ditahan di Pulau Buru juga hadir melayat. Temasuk para anak muda fans Pram.
Saya awalnya tidak begitu kenal dengan tokoh yang menganut ideologi realisme sosialis ini. Ketertarikan saya dengan Pram adalah cara pandangnya tentang perempuan. Tokoh Nyai Ontosoroh dalam Tetralogi Pramoedya Ananta Toer (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, Rumah Kaca) adalah gambaran dari perempuan yang mengalami pencerahan; sosok yang bersahaja. Ia mirip dengan seorang ibu dalam novel Ibunda-nya Maxim Gorky yang memahami dan mengerti kenapa anaknya, dan anak-anak muda lainnya, harus berjuang membebaskan belenggu ketertindasan. Bahkan sang Ibu tersebut bukan hanya merelakan anaknya dengan tangis keharuan atas jiwa kepahlawanan. Seorang Ibu dalam novel Gorky digambarkan sebagai orangtua yang bertindak: mengirimkan surat-surat ke penjara, membagi-bagikan selebaran secara sembunyi-sembunyi.
Secara tegas, Ibunda dalam karya Gorky digambarkan sebagai sosok perempuan yang hidup di masa Revolusi Demokratik berlangsung di Rusia, sekitar awal abad 20. Ia bersama rakyat miskin lainnya hidup di tengah peluit pabrik yang menjerit-jerit di atas perkampungan buruh yang kumuh. Ibunda menikah dengan Michail Wlassow, laki-laki peminum berat, yang memperlakukan istri secara amat kejam. Setelah suaminya meninggal banyak keadaan yang berubah. Ia masih punya anaknya yang bernama Pavel, yang kemudian menjadi aktivis buruh dan terlibat dalam gerakan politik pada waktu itu.
Keterlibatan Pavel dalam politik dimulai ketika ia memiliki kebiasaan baru, yaitu membaca buku dan interaksinya dengan para aktivis yang ditemuinya di tempat lain. Awalnya, ketika dilihatnya bahwa kepribadian, komitmen, dan (utamanya) tujuan hidup anak laki-laki itu berubah, Sang Ibunda cemas dan khawatir padanya. Tetapi akhirnya ia mulai dapat memahami hal-hal baru yang tak pernah terbayangkan dalam hidupnya setelah kawan-kawan Pavel menyusun sebuah gerakan kemanusiaan yang bahkan juga dibicarakan di rumahnya. Bahkan Sang Ibunda haru karena sekecil kumpulan pemuda tidak mabuk-mabukan ketika mengadakan pertemuan di antara mereka. Padahal, di daerah tempat ia tinggal, bila seorang pemuda telah usai kerjanya di pabrik dan berkumpul dengan teman-temannya, kegiatan yang normal adalah minum-minum sampai mabuk. Hal baru yang lainnya adalah bagaimana seorang gadis kawan Pavel mengorbankan dirinya, waktunya, hanya untuk sesuatu yang abstrak, yang disebut cita-cita.
Maka, dalam novel Gorky ini seorang ibu digambarkan sebagai sosok yang produktif dan aktif dalam sejarah untuk perubahan masyarakat. Bukan seorang ibu yang cengeng dan hanya menginginkan kesuksesan pribadi anaknya. Ibunda dalam novel Gorky ini memiliki cinta kasih universal, menyinari perasaan-perasaan tersulit anak-anak selama menghadapi represi kekuasaan Tsar. Ketika Pawel dan anak-anak itu satu persatu ditangkap bahkan disiksa di depan matanya, Ibunda terjun ke kancah revolusi dengan peranannya sebagai pendistribusi pamflet ke kalangan buruh dan tani. Kemudian ia dituduh pencuri oleh seorang mata-mata, dan saat sedang ditangkap polisi militer dengan kekerasan, ia teriakkan bahkan samudera pun tak kan mampu menenggelamkan kebenaran.
Pengaruh Maxim Gorky dan sastra realisme sosialis di Indonesia memang melekat pada Pramoedya Ananta Toer, sastrawan besar Indonesia yang telah meninggal dunia setahun lalu. Melalui karya terbesarnya, tetralogi Bumi Manusia, Pram juga mengangkat sosok perempuan sekaligus seorang ibu di masa penjajahan yang banyak melontarkan pemikiran yang maju dan mencerahkan.
Nyai Ontosoroh yang dikonstruksi dan diidealisasi Pram juga merupakan seorang yang karena pengaruh pencerahan ikut mendukung menyebarnya pemikiran baru yang sedang bangkit waktu itu. Nyai Ontosoroh adalah seorang wanita bumi putera yang bernama asli Sanikem, perempuan pribumi sederhana yang awalnya tak berdaya untuk menolak menjadi gundik (nyai) seorang Belanda bernama Herman Mellema. Tetapi ia menemukan kebangkitan diri. Kekalahannya dalam bentuk ketakberdayaan menolak untuk menjadi gundik mendorong Nyai Ontosoroh untuk banyak menyerap berbagai arus pemikiran Belanda dan bahkan mengendalikan perusahaan milik Herman.
Nyai Ontosoroh tetaplah Sanikem wanita pribumi yang lagi-lagi tak berdaya ketika anaknya, Anellies, diambil paksa dari tangannya. Tetapi bagaimanapun juga Nyai Ontosoroh dalam novel tersebut telah berusaha keras melakukan perlawan mempertahankan anaknya meski kalah. Kekalahan adalah resiko dari pertarungan. Tetapi semangat untuk mengalahkan belenggu penindasan dan kemunafikan adalah sebuah harga yang mahal. Dalam novel tersebut digambarkan bahwa Nyai Ontosoroh berkata kepada tokoh Minke dengan kepala tegak: "Kita kalah. Kita telah melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya sehormat-hormatnya!"
Dalam novel tersebut, Nyai Ontosoroh adalah seorang ibu yang sangat mengasihi anaknya, Annelis. Bahkan ia adalah sang ibu yang memberikan banyak gagasan maju yang mencerahkan anak angkatnya, Minke, seorang pemuda keturunan bangsawan Jawa yang tidak lagi mau tunduk patuh pada produk pikiran dan tindakan lama yang mencerminkan relasi ketidakadilan. Seorang ibu, Nyai Ontosoroh, telah mendorong seorang pemuda untuk berpartisipasi dalam mendukung perubahan di sebuah negeri yang memang hendak meninggalkan jaman kegelapan. Seorang ibu dalam masyarakat transisi memiliki peran yang kuat, tidak lemah dan hanya tunduk patuh serta jatuh ke dalam kubang posisi dan peran domestik, apa lagi sampai menjadi objek kekerasan suami.
Karya-karya semacam itulah yang sangat kita butuhkan sekarang ini. Perjuangan memperjuangkan hak-hak perempuan dan menuntut partisipasi aktif dan produktif bagi kaum perempuan adalah kebutuhan yang tak dapat ditawar. Para penulis dan pengarang (sastrawan) harus mengagendakan aktualisasi komitmen sosial kepengarangannya, terutama dari kaum perempuan sendiri yang seharusnya berada di garis depan dalam dunia kesusastraan untuk menuliskan posisi dan peran yang maju dan mendobrak budaya patriarki.
*) Mahasiswi Sosiologi FISIP Universitas Jember; aktivis KiPaS (Komite Independen Perempuan dan Anak untuk Aksi Sosial).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar