TEROPONG
Oleh: Etika Ernawati*
Rasa girang masyarakat pedesaan di Indonesia bukan hanya menggambarkan kondisi kemiskinan, tetapi juga keterbelakangan budaya. Salah satu mandegnya budaya dan peradaban desa tersebut disebabkan oleh minimnya akses informasi dan pendidikan yang ada. Salah satu indikatornya adalah minimnya budaya baca di daerah pedesaan. Ketika modernisasi secara perlahan-lahan memasuki wilayah pedesaan, ternyata tidak juga diikuti dengan kemajuan pendidikan yang berarti, terutama pemerintah (daerah) juga masih setengah hati untuk melakukan perbaikan di bidang pendidikan dan pembelajaran. Tak heran, jumlah penduduk buta huruf dan tidak menikmati budaya baca-tulis kebanyakan ada di daerah pedesaan tersebut.
Kebanyakan penduduk desa masih terbelakang seiring dengan rusaknya kondisi tanah dan menyempitnya lahan, juga menurunnya produktifitas lahan. Untuk daerah pedesaan di wilayah Jawa Timur, misalnya, banyak orang yang menyabung nyawa dengan menjadi buruh migran (TKI) ke luar negeri seperti Timur Tengah, Malaysia, Taiwan dan Brunei. Dari situlah mereka bisa meningkan pendapatan perekonomian.
Akan tetapi itupun harus mengorbankan banyak hal. Seperti nasib perkembangan anak-anak yang ditinggalkannya. Orang tua dari anak yang ditinggalkannya tidak bisa lagi mengontrol perkembangan anak karena harus berjuang mencari penghasilan di negeri orang. Sedangkan, jauh dari orang tua juga membuat anak mengalami perkembangan psikologis yang tidak sehat, kurang perhatian dan kasih sayang yang mengganggu perkembangannya menjadi dewasa. Kemajuan di daerah pedesaan secara fisik memang akan membuat masyarakatnya mampu menjangkau produk-produk seperti TV yang dapat digunakan sebagai benda yang mendatangkan informasi dan (terutama) hiburan. Maka kehadiran TV yang kini semarak di pedesaan tersebut di satu sisi juga menghasilkan kejutan budaya (cultural shock). Masalahnya, realitas yang ada di pedesaan seringkali jauh dari apa yang digambarkan di TV-TV.
Tayangan TV yang didominasi budaya urban sama sekali berbeda dengan apa yang menjadi kebiasaan di wilayah pedesaan (rural) dan pinggiran. Ketegangan budaya inilah
yang pada akhirnya akan menghasilkan perkembangan psikologis masyarakat yang kurang sehat. Pada saat seperti itulah, sebenarnya pemerintah dan kalangan lembaga swadaya masyarakat menekankan pada program-program pendidikan dan pembelajaran di daerah pinggiran. Anak-anak daerah pinggiran juga memiliki hak yang sama dengan anak-anak di daerah perkotaan. Mereka memiliki hak untuk mendapatkan kegiatan pembelajaran dari siapa saja, berhak mendapatkan kegiatan bermain yang menyenangkan dan merangsang kreatifitas otaknya.
Salah satu indikator dari kurangnya perhatian terhadap pendidikan di pedesaan ini adalah minimnya buku-buku yang dapat diakses oleh anak-anak dan kaum pemuda/pemudi. Buku di daerah pedesaan merupakan barang yang asing dan mahal. Asing dalam makna bahwa sebagai produk modernitas juga, buku belum menjadi kebutuhan. Belum menjadi kebutuhan ini salah satunya karena kurang sosialisasi dari pemerintah yang seharusnya mengkampanyekan budaya baca di kalangan rakyat dengan diiringi pemenuhan buku-buku yang layak dan bermanfaat bagi masyarakat pedesaan. Mahal dalam makna bahwa sebelum membeli buku mereka harus berpikir karena orang ditikembeli kebutuhan-kebutuhan yang lebih pokok untuk mempertahankan hidupnya saja masih kesulitan.
Bukan Benda Komersil
Orang tua dari anak-anak yang berada dalam usia sekolah saja biasanya kesulitan untuk membayar harga buku-buku teks yang dibebankan sekolah. Naiknya harga buku-buku teks di sekolah mulai tingkat TK hingga SMU belakangan sangat mencekik orangtua murid di pedesaan. Bahkan banyak juga yang putus asa melihat harga-harga buku agar banyak orang tua yang memutuskan untuk tidak melanjutkan pendidikan anaknya. Biasanya para orang tua akan bertanya berapa harga buku-buku karena mereka juga berkeyakinan bahwa keberadaan buku memang penting bagi anak-anak mereka. Bahkan sekolah itu juga identik dengan membaca buku.
Anggapan yang ada di benak orang tua seperti itu seharusnya dijadikan pemerintah dan semua pihak yang punya perhatian pada pengadaan buku yang ada. Peradaban literer Indonesia yang kian mundur karena kemiskinan dan dominasi budaya menonton akibat menyeruaknya TV sebagai media yang paling dekat dengan rakyat, seharusnya menimbulkan keprihatinan yang mendalam untuk menudia memperbaiki kondisi yang ada. Pemerintah sendiri nampaknya tidak cukup peduli dengan kebutuhan rakyat pada bacaan-bacaan dan buku-buku yang seharusnya menjadi tanggungjawabnya. Mencerdaskan kehidupan bangsa adalah kewajiban negara—sebagaimana ditegaskan UUD 1945.
Tetapi pemerintah ternyata justru menyerahkan pengadaan buku pada pihak swasta
(kapitalis) sehingga tujuan pengadaan buku bukan lagi bertujuan untuk memenuhi kebutuhan rakyat, tetapi untuk mencari keuntungan. Jika tidak menguntungkan, untuk apa membuat buku. Seakan kegiatan mencerdaskan (anak-anak) bangsa tidak akan dilakukan jika tidak menguntungkan. Atau jangan-jangan dalam kapitalisme telah dengan sendirinya muncul prinsip: Anak-anak, kaum muda, penduduk tidak boleh pintar dan berpendidikan karena kalau mereka banyak pengetahuan dan memahami banyak hal, mereka akan mempertanyakan segala penipuan termasuk upaya segelintir pihak untuk mencari keuntungannya sendiri.
Hal itu akan jelas jika kita melihat sejarah perbukuan Indonesia yang sangat penuh dengan kepentingan kekuasaan. Mulai munculnya penerbitan buku pertama kali, yaitu Balai Pustaka yang penuh kepentingan kolonial Belanda dalam menjajah negeri kita. Muatan buku sendiri juga dikontrol oleh pemerintah, terutama pada jaman pemerintahan Orde Baru yang bertujuan untuk memanipulasi dan membodohi rakyat akan sejarah bangsanya sendiri. Kita masih ingat dilakukan penangkapan para aktivis yang membawa buku-buku karya Pramoedya Ananta Toer di tahun 1980-an. Belakangan buku teks sejarah juga masih dimanipulasi dan dikontrol oleh kekuasaan yang bernuansa Orde Baru.
Buku-buku teks pelajaran sekolah harus senyertakan kata “G 30/S/PKI” setelah terjadi penghapusan kata PKI karena memang sejarah tahun 65 masih belum menemukan kejelasan. Bagaimanapun, pengadaan buku-buku di daerah pedesaan sangat dibutuhkan saat ini. Jika pemerintah punya tanggung jawab untuk memenuhi pengadaan buku-buku untuk rakyat, maka juga harus muncul inisiatif dari kalangan rakyat sendiri untuk mememberi penyadaran akan pentingnya buku untuk rakyat. Pemerintah harus mengaktifkan kembali perpustakaan keliling bukan hanya di daerah perkotaan, tetapi juga di daerah pedesaan. Hal yang sama juga merupakan kewajiban pemerintah untuk menghapuskan komersialisasi buku-buku pelajaran bagi anak-anak sekolah terutama di daerah pedesaan.
Selain itu, dibutuhkan peran serta lembaga-lembaga swadaya masyarakat untuk membangun sebuah jaringan masyarakat pembelajar. Membangun taman-taman bacaan di kampung-kampung akan sangat bermanfaat. Saat para petani istirahat kerja atau pada masa menunggu panen mereka bisa membaca buku-buku baik mengenai persoalan pertanian, peternakan, kelautan untuk meningkatkan pengetahuannya. Taman bacaan juga dapat digunakan bagi rakyat untuk berkumpul dan mendiskusikan persoalan-persoalan mereka, meningkatkan paguyuban sesama anggota masyarakat. Ibu-ibu dan anak-anak tidak hanya menonton TV, tetapi juga membaca buku dan mendiskusikan masalah-masalah yang ada.
Dari situlah muncul kesadaran dan keberdayaan. Semakin rakyat melek huruf dan mendapatkan informasi dari membaca, kualitasnya akan berbeda dengan hanya sekedar mendapatkan informasi dari TV, apalagi informasi hiburan (infoteinmen) yang hanya mengajari ibu-ibu dan anak-anak hanya ber-gosip. Gosip tidak mencerahkan, tetapi membodohi dan melahirkan budaya meniru, menumpulkan nalar kreatif bagi anak-anak.
*)Pegiat di Yayasan Gelombang (Gelora manusia Pembangunan) Jawa Timur, Sekreetariat Jl Pantai Prigi-Margomulyo Watulimo Trenggalek.
Rasa girang masyarakat pedesaan di Indonesia bukan hanya menggambarkan kondisi kemiskinan, tetapi juga keterbelakangan budaya. Salah satu mandegnya budaya dan peradaban desa tersebut disebabkan oleh minimnya akses informasi dan pendidikan yang ada. Salah satu indikatornya adalah minimnya budaya baca di daerah pedesaan. Ketika modernisasi secara perlahan-lahan memasuki wilayah pedesaan, ternyata tidak juga diikuti dengan kemajuan pendidikan yang berarti, terutama pemerintah (daerah) juga masih setengah hati untuk melakukan perbaikan di bidang pendidikan dan pembelajaran. Tak heran, jumlah penduduk buta huruf dan tidak menikmati budaya baca-tulis kebanyakan ada di daerah pedesaan tersebut.
Kebanyakan penduduk desa masih terbelakang seiring dengan rusaknya kondisi tanah dan menyempitnya lahan, juga menurunnya produktifitas lahan. Untuk daerah pedesaan di wilayah Jawa Timur, misalnya, banyak orang yang menyabung nyawa dengan menjadi buruh migran (TKI) ke luar negeri seperti Timur Tengah, Malaysia, Taiwan dan Brunei. Dari situlah mereka bisa meningkan pendapatan perekonomian.
Akan tetapi itupun harus mengorbankan banyak hal. Seperti nasib perkembangan anak-anak yang ditinggalkannya. Orang tua dari anak yang ditinggalkannya tidak bisa lagi mengontrol perkembangan anak karena harus berjuang mencari penghasilan di negeri orang. Sedangkan, jauh dari orang tua juga membuat anak mengalami perkembangan psikologis yang tidak sehat, kurang perhatian dan kasih sayang yang mengganggu perkembangannya menjadi dewasa. Kemajuan di daerah pedesaan secara fisik memang akan membuat masyarakatnya mampu menjangkau produk-produk seperti TV yang dapat digunakan sebagai benda yang mendatangkan informasi dan (terutama) hiburan. Maka kehadiran TV yang kini semarak di pedesaan tersebut di satu sisi juga menghasilkan kejutan budaya (cultural shock). Masalahnya, realitas yang ada di pedesaan seringkali jauh dari apa yang digambarkan di TV-TV.
Tayangan TV yang didominasi budaya urban sama sekali berbeda dengan apa yang menjadi kebiasaan di wilayah pedesaan (rural) dan pinggiran. Ketegangan budaya inilah
yang pada akhirnya akan menghasilkan perkembangan psikologis masyarakat yang kurang sehat. Pada saat seperti itulah, sebenarnya pemerintah dan kalangan lembaga swadaya masyarakat menekankan pada program-program pendidikan dan pembelajaran di daerah pinggiran. Anak-anak daerah pinggiran juga memiliki hak yang sama dengan anak-anak di daerah perkotaan. Mereka memiliki hak untuk mendapatkan kegiatan pembelajaran dari siapa saja, berhak mendapatkan kegiatan bermain yang menyenangkan dan merangsang kreatifitas otaknya.
Salah satu indikator dari kurangnya perhatian terhadap pendidikan di pedesaan ini adalah minimnya buku-buku yang dapat diakses oleh anak-anak dan kaum pemuda/pemudi. Buku di daerah pedesaan merupakan barang yang asing dan mahal. Asing dalam makna bahwa sebagai produk modernitas juga, buku belum menjadi kebutuhan. Belum menjadi kebutuhan ini salah satunya karena kurang sosialisasi dari pemerintah yang seharusnya mengkampanyekan budaya baca di kalangan rakyat dengan diiringi pemenuhan buku-buku yang layak dan bermanfaat bagi masyarakat pedesaan. Mahal dalam makna bahwa sebelum membeli buku mereka harus berpikir karena orang ditikembeli kebutuhan-kebutuhan yang lebih pokok untuk mempertahankan hidupnya saja masih kesulitan.
Bukan Benda Komersil
Orang tua dari anak-anak yang berada dalam usia sekolah saja biasanya kesulitan untuk membayar harga buku-buku teks yang dibebankan sekolah. Naiknya harga buku-buku teks di sekolah mulai tingkat TK hingga SMU belakangan sangat mencekik orangtua murid di pedesaan. Bahkan banyak juga yang putus asa melihat harga-harga buku agar banyak orang tua yang memutuskan untuk tidak melanjutkan pendidikan anaknya. Biasanya para orang tua akan bertanya berapa harga buku-buku karena mereka juga berkeyakinan bahwa keberadaan buku memang penting bagi anak-anak mereka. Bahkan sekolah itu juga identik dengan membaca buku.
Anggapan yang ada di benak orang tua seperti itu seharusnya dijadikan pemerintah dan semua pihak yang punya perhatian pada pengadaan buku yang ada. Peradaban literer Indonesia yang kian mundur karena kemiskinan dan dominasi budaya menonton akibat menyeruaknya TV sebagai media yang paling dekat dengan rakyat, seharusnya menimbulkan keprihatinan yang mendalam untuk menudia memperbaiki kondisi yang ada. Pemerintah sendiri nampaknya tidak cukup peduli dengan kebutuhan rakyat pada bacaan-bacaan dan buku-buku yang seharusnya menjadi tanggungjawabnya. Mencerdaskan kehidupan bangsa adalah kewajiban negara—sebagaimana ditegaskan UUD 1945.
Tetapi pemerintah ternyata justru menyerahkan pengadaan buku pada pihak swasta
(kapitalis) sehingga tujuan pengadaan buku bukan lagi bertujuan untuk memenuhi kebutuhan rakyat, tetapi untuk mencari keuntungan. Jika tidak menguntungkan, untuk apa membuat buku. Seakan kegiatan mencerdaskan (anak-anak) bangsa tidak akan dilakukan jika tidak menguntungkan. Atau jangan-jangan dalam kapitalisme telah dengan sendirinya muncul prinsip: Anak-anak, kaum muda, penduduk tidak boleh pintar dan berpendidikan karena kalau mereka banyak pengetahuan dan memahami banyak hal, mereka akan mempertanyakan segala penipuan termasuk upaya segelintir pihak untuk mencari keuntungannya sendiri.
Hal itu akan jelas jika kita melihat sejarah perbukuan Indonesia yang sangat penuh dengan kepentingan kekuasaan. Mulai munculnya penerbitan buku pertama kali, yaitu Balai Pustaka yang penuh kepentingan kolonial Belanda dalam menjajah negeri kita. Muatan buku sendiri juga dikontrol oleh pemerintah, terutama pada jaman pemerintahan Orde Baru yang bertujuan untuk memanipulasi dan membodohi rakyat akan sejarah bangsanya sendiri. Kita masih ingat dilakukan penangkapan para aktivis yang membawa buku-buku karya Pramoedya Ananta Toer di tahun 1980-an. Belakangan buku teks sejarah juga masih dimanipulasi dan dikontrol oleh kekuasaan yang bernuansa Orde Baru.
Buku-buku teks pelajaran sekolah harus senyertakan kata “G 30/S/PKI” setelah terjadi penghapusan kata PKI karena memang sejarah tahun 65 masih belum menemukan kejelasan. Bagaimanapun, pengadaan buku-buku di daerah pedesaan sangat dibutuhkan saat ini. Jika pemerintah punya tanggung jawab untuk memenuhi pengadaan buku-buku untuk rakyat, maka juga harus muncul inisiatif dari kalangan rakyat sendiri untuk mememberi penyadaran akan pentingnya buku untuk rakyat. Pemerintah harus mengaktifkan kembali perpustakaan keliling bukan hanya di daerah perkotaan, tetapi juga di daerah pedesaan. Hal yang sama juga merupakan kewajiban pemerintah untuk menghapuskan komersialisasi buku-buku pelajaran bagi anak-anak sekolah terutama di daerah pedesaan.
Selain itu, dibutuhkan peran serta lembaga-lembaga swadaya masyarakat untuk membangun sebuah jaringan masyarakat pembelajar. Membangun taman-taman bacaan di kampung-kampung akan sangat bermanfaat. Saat para petani istirahat kerja atau pada masa menunggu panen mereka bisa membaca buku-buku baik mengenai persoalan pertanian, peternakan, kelautan untuk meningkatkan pengetahuannya. Taman bacaan juga dapat digunakan bagi rakyat untuk berkumpul dan mendiskusikan persoalan-persoalan mereka, meningkatkan paguyuban sesama anggota masyarakat. Ibu-ibu dan anak-anak tidak hanya menonton TV, tetapi juga membaca buku dan mendiskusikan masalah-masalah yang ada.
Dari situlah muncul kesadaran dan keberdayaan. Semakin rakyat melek huruf dan mendapatkan informasi dari membaca, kualitasnya akan berbeda dengan hanya sekedar mendapatkan informasi dari TV, apalagi informasi hiburan (infoteinmen) yang hanya mengajari ibu-ibu dan anak-anak hanya ber-gosip. Gosip tidak mencerahkan, tetapi membodohi dan melahirkan budaya meniru, menumpulkan nalar kreatif bagi anak-anak.
*)Pegiat di Yayasan Gelombang (Gelora manusia Pembangunan) Jawa Timur, Sekreetariat Jl Pantai Prigi-Margomulyo Watulimo Trenggalek.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar