Oleh: Sudaryanto*
Ujian Nasional (UN) 2007 yang menelan biaya tak kurang dari Rp 224 miliar untuk jenjang pendidikan SMA/sederajat dan SMP/sederajat telah usai dan ”sukses” digelar. Mesi begitu, UN —yang oleh para siswa dianggap sebagai ”perang puputan” ini— ternyata menyisakan berbagai masalah menyangkut dugaan terjadinya ”kebocoran” soal di berbagai daerah di negeri ini.
Tak dimungkiri, dengan kelarnya hiruk-pikuk prosesi UN, para siswa sudah bisa ”sedikit” bernapas lega. Saat ini, tinggal perasaan ketar-ketir menunggu hasil UN diumumkan. Ironisnya, sebagian besar siswa menganggap bahwa ketika UN telah selesai, maka selesailah pula kewajiban mereka. Dalam tataran ini, harus diakui bahwa para siswa —dan juga publik— telah jauh terseret pada paradigma atau persepsi yang salah kaprah, yakni menganggap UN sebagai satu-satunya ”palu” pengetuk lulus tidaknya seorang siswa.
Padahal persepsi tersebut tidak sepenuhnya benar. Mulai tahun ini ada perubahan dalam penentuan kelulusan siswa, yakni dengan memberikan hak kepada sekolah untuk menentukan lulus tidaknya siswa. Hal ini mengacu pada prosedur operasi standar (POS) Unas tahun ajaran 2006/2007 yang menyebutkan bahwa seorang siswa dinyatakan lulus dari satuan pendidikan bila telah memenuhi empat kriteria. Pertama, menyelesaikan seluruh program pembelajaran. Kedua, memperoleh nilai minimal baik pada penilaian akhir untuk seluruh mata pelajaran kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia, kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian, kelompok mata pelajaran estetika, dan kelompok mata pelajaran jasmani, olah raga, dan kesehatan. Ketiga, lulus ujian sekolah/madrasah untuk kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi. Dan keempat, lulus UN.
Untuk kriteria pertama dan kedua, sudah pasti terpenuhi seiring berakhirnya proses KBM di kelas (semester terakhir). Untuk nilai mata pelajaran terkait dengan keempat kelompok di atas (syarat kedua), guru tentu juga telah mengantongi nilai masing-masing anak didiknya. Pun, untuk kriteria keempat, juga telah sukses dilakoni siswa saat mereka berjibaku dengan soal-soal UN, yang kini tinggal menunggu hasilnya.
Sementara untuk memenuhi kriteria ketiga, para siswa sepertinya harus kembali berjibaku dengan buku teks pelajaran maupun buku catatan karena mereka masih harus menghadapi Ujian Sekolah (US) —baik ujian tertulis maupun ujian praktik— di mana waktu pelaksanaannya diserahkan kepada masing-masing sekolah.
Menyimak standar kelulusan yang tertuang dalam POS Ujian Sekolah, untuk bisa lulus, setidaknya siswa harus mencapai nilai rata-rata seluruh mata pelajaran yang diujikan minimal 6,00. Memang, nilai minimal setiap mata pelajaran Usek pada akhirnya ditentukan oleh masing-masing sekolah. Namun, jika sekolah berkomitmen dan proporsional dalam menerapkan ketentuan standar kelulusan, maka nilai minimal US pastilah tidak jauh dari nilai minimal pada UN. Artinya, hasil US harus dianggap sama dengan UN.
Konklusinya, tidak bisa di-gebyah uyah bahwa US adalah standar penentu kelulusan ”kelas dua”. Karena itu, para siswa mestinya sadar bahwa “perang” yang mereka hadapi ternyata belumlah usai. Para siswa diharapkan tetap mengerjakan US dengan tingkat keseriusan yang sama seperti ketika mengerjakan Unas, tidak hanya ”setengah-setengah”. Dituntut pula komitmen dari seluruh stakeholders pendidikan untuk benar-benar menerapkan prosedur penentuan kelulusan siswa dari satuan pendidikan tersebut, dengan mengacu pada empat kriteria kelulusan yang telah ditetapkan.
Jadi, meski standar kelulusan UN bisa terpenuhi, namun siswa tidak memenuhi kriteria standar kelulusan lainnya, maka tetap saja siswa tersebut dinyatakan tidak lulus dari satuan pendidikan. Jika tidak ditetapkan seperti ini, maka hasil kelulusan siswa tentu tidak dapat digunakan untuk mengukur kualitas pendidikan secara nasional. Dan itu artinya, kualitas pendidikan yang dihasilkan dan dimiliki negeri ini adalah kualitas yang semu, bahkan mungkin saja palsu!
*) Guru (GTT) Bimbingan Konseling (BK) SMAN I Bayat, Klaten, Jawa Tengah
Ujian Nasional (UN) 2007 yang menelan biaya tak kurang dari Rp 224 miliar untuk jenjang pendidikan SMA/sederajat dan SMP/sederajat telah usai dan ”sukses” digelar. Mesi begitu, UN —yang oleh para siswa dianggap sebagai ”perang puputan” ini— ternyata menyisakan berbagai masalah menyangkut dugaan terjadinya ”kebocoran” soal di berbagai daerah di negeri ini.
Tak dimungkiri, dengan kelarnya hiruk-pikuk prosesi UN, para siswa sudah bisa ”sedikit” bernapas lega. Saat ini, tinggal perasaan ketar-ketir menunggu hasil UN diumumkan. Ironisnya, sebagian besar siswa menganggap bahwa ketika UN telah selesai, maka selesailah pula kewajiban mereka. Dalam tataran ini, harus diakui bahwa para siswa —dan juga publik— telah jauh terseret pada paradigma atau persepsi yang salah kaprah, yakni menganggap UN sebagai satu-satunya ”palu” pengetuk lulus tidaknya seorang siswa.
Padahal persepsi tersebut tidak sepenuhnya benar. Mulai tahun ini ada perubahan dalam penentuan kelulusan siswa, yakni dengan memberikan hak kepada sekolah untuk menentukan lulus tidaknya siswa. Hal ini mengacu pada prosedur operasi standar (POS) Unas tahun ajaran 2006/2007 yang menyebutkan bahwa seorang siswa dinyatakan lulus dari satuan pendidikan bila telah memenuhi empat kriteria. Pertama, menyelesaikan seluruh program pembelajaran. Kedua, memperoleh nilai minimal baik pada penilaian akhir untuk seluruh mata pelajaran kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia, kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian, kelompok mata pelajaran estetika, dan kelompok mata pelajaran jasmani, olah raga, dan kesehatan. Ketiga, lulus ujian sekolah/madrasah untuk kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi. Dan keempat, lulus UN.
Untuk kriteria pertama dan kedua, sudah pasti terpenuhi seiring berakhirnya proses KBM di kelas (semester terakhir). Untuk nilai mata pelajaran terkait dengan keempat kelompok di atas (syarat kedua), guru tentu juga telah mengantongi nilai masing-masing anak didiknya. Pun, untuk kriteria keempat, juga telah sukses dilakoni siswa saat mereka berjibaku dengan soal-soal UN, yang kini tinggal menunggu hasilnya.
Sementara untuk memenuhi kriteria ketiga, para siswa sepertinya harus kembali berjibaku dengan buku teks pelajaran maupun buku catatan karena mereka masih harus menghadapi Ujian Sekolah (US) —baik ujian tertulis maupun ujian praktik— di mana waktu pelaksanaannya diserahkan kepada masing-masing sekolah.
Menyimak standar kelulusan yang tertuang dalam POS Ujian Sekolah, untuk bisa lulus, setidaknya siswa harus mencapai nilai rata-rata seluruh mata pelajaran yang diujikan minimal 6,00. Memang, nilai minimal setiap mata pelajaran Usek pada akhirnya ditentukan oleh masing-masing sekolah. Namun, jika sekolah berkomitmen dan proporsional dalam menerapkan ketentuan standar kelulusan, maka nilai minimal US pastilah tidak jauh dari nilai minimal pada UN. Artinya, hasil US harus dianggap sama dengan UN.
Konklusinya, tidak bisa di-gebyah uyah bahwa US adalah standar penentu kelulusan ”kelas dua”. Karena itu, para siswa mestinya sadar bahwa “perang” yang mereka hadapi ternyata belumlah usai. Para siswa diharapkan tetap mengerjakan US dengan tingkat keseriusan yang sama seperti ketika mengerjakan Unas, tidak hanya ”setengah-setengah”. Dituntut pula komitmen dari seluruh stakeholders pendidikan untuk benar-benar menerapkan prosedur penentuan kelulusan siswa dari satuan pendidikan tersebut, dengan mengacu pada empat kriteria kelulusan yang telah ditetapkan.
Jadi, meski standar kelulusan UN bisa terpenuhi, namun siswa tidak memenuhi kriteria standar kelulusan lainnya, maka tetap saja siswa tersebut dinyatakan tidak lulus dari satuan pendidikan. Jika tidak ditetapkan seperti ini, maka hasil kelulusan siswa tentu tidak dapat digunakan untuk mengukur kualitas pendidikan secara nasional. Dan itu artinya, kualitas pendidikan yang dihasilkan dan dimiliki negeri ini adalah kualitas yang semu, bahkan mungkin saja palsu!
*) Guru (GTT) Bimbingan Konseling (BK) SMAN I Bayat, Klaten, Jawa Tengah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar