Senin

Problema Urbanisasi Pasca Mudik

SOROT
Oleh: Kusen Suseno*

Setelah mudik, pada gilirannya pasti terjadi arus balik. Yang menarik, jumlah arus balik diperkirakan lebih besar daripada yang mudik menjelang Lebaran lalu. Dengan kata lain, para pemudik kembali ke kota dengan jumlah pengikut yang lebih banyak. Mengapa? Para pemudik mengajak atau diikuti oleh anggota keluarga, sanak saudara, dan kenalan untuk turut tinggal di kota.
Siapa pun paham, orang-orang yang turut dalam robongan arus balik atau ikut keluarga, kenalan, atau teman ketika mereka kembali ke kota bermaksud mengadu nasib. Mencari kehidupan lebih baik di kota-kota besar, semacam Jakarta dan Surabaya.
Ada dua faktor pendorong (push factor) warga yang ikut dalam arus balik. Pertama, kota-kota besar --betapapun warga yang turut dalam arus balik itu tidak memiliki pendidikan dan skill memadai-- lebih menjanjikan perbaikan kesejahteraan. Kedua, desa atau daerah asal orang-orang yang bermigrasi ke kota melalui arus balik setelah Lebaran itu sama sekali tidak memberikan jaminan perbaikan masa depan. Desa tetap terbelakang. Desa tetap tertinggal. Taraf kehidupannya masih sampai kategori miskin.
Adanya tren keengganan anak muda untuk menekuni sektor pertanian juga menjadi variabel yang menentukan proses migrasi ke kota. Beberapa riset menunjukkan, serendah-rendahnya jenis pekerjaan yang dilakukan seorang migran di kota, senantiasa memperoleh pendapatan yang lebih baik dibandingkan sewaktu berada di desa. Ini misalnya tercermin dari pemungut puntung rokok, pengumpul kertas, dan tukang semir sepatu di Jakarta yang memperlihatkan kenaikan pendapatan sebesar dua hingga tiga kali lipat dibandingkan penghasilannya di desa. Dengan adanya kesenjangan upah itu, maka pilihan untuk berurbanisasi adalah hal yang rasional secara ekonomis bagi mereka.
Meskipun urbanisasi merupakan pilihan yang rasional bagi para migran, tetapi ia menjadi problem besar bagi pembangunan kota. Proses perpindahan penduduk dari desa ke kota yang tanpa terkendali, pada akhirnya akan membawa preseden buruk bagi pembangunan di kota.
Urbanisasi tersebut akan menimbulkan masalah tenaga kerja, baik pengangguran maupun setengah pengangguran, yang diikuti dengan meluasnya aktivitas sektor informal di kota. Ini akan mengakibatkan kualitas hidup para migran menjadi minim, dan kebanyakan mereka hanya mampu hidup secara subsistem. Kondisi ini pada gilirannya akan menimbulkan gejala kemiskinan. Lahirnya daerah-daerah slum dan squater merupakan representasi dari gejala kemiskinan tadi.
Pengelompokan tempat tinggal berdasarkan asal daerah/etnik, juga menjadi salah satu ekses negatif yang timbul sehubungan dengan arus urbanisasi. Adanya kampung Cina, kampung Jawa, kampung Batak, kampung Madura dan lainnya, tentunya sangat potensial dalam menciptakan konflik antarwarga yang berbasis pada perbedaan etnik. Itu adalah problem-problem yang timbul dari adanya arus urbanisasi yang tidak terkendali, yang di Indonesia biasanya menggejala kuat pasca Lebaran Idul Fitri saat arus balik dari mudik terjadi. Sekarang yang dituntut adalah apa solusi untuk hal itu.
Pemahaman para praktisi pembangunan selama ini cenderung melihat arus urbanisasi hanya dari aspek masalah ekonomi dan tidak pernah dilihat dari perspektif lain. Pemahaman yang bersifat parsial itulah yang pada akhirnya menghasilkan kebijakan-kebijakan yang kurang komprehensif di mana formulasi kebijakan yang dibuat hanya mempertimbangkan aspek ekonomi semata.
Tidak mengherankan bila pengalaman empiris mengindikasikan bahwa pendekatan ekonomi yang dilakukan pemerintah selama ini kurang membawa hasil maksimal. Strategi pembangunan pedesaan seperti pembangunan pusat-pusat pertumbuhan (growth center) maupun program kawasan terpadu (melalui peningkatan produktivitas dan diversifikasi usaha tani, peningkatan kemampuan sumber daya manusia, penguatan kelembagaan, pengembangan usaha ekonomi non-pertanian, peningkatan sarana fisik desa, dan peningkatan landasan mutu lingkungan hidup) ternyata kurang efektif dalam mencegah arus migrasi yang masuk ke kota.
Ketidakmampuan pendekatan ekonomi dalam memecahkan problem migrasi itu semestinya menjadi titik masuk (entry point) untuk mencari alternatif pendekatan lain. Dalam konteks ini, pendekatan budaya selayaknya bisa pula diimplementasikan sebagai sebuah alternatif untuk mengatasi arus urbanisasi tersebut.
Kegagalan program Bangga Suka Desa yang pernah dicetuskan oleh pemerintah disebabkan oleh tidak terintegrasinya dua pendekatan di atas. Desa-desa yang punya potensi budaya, sebetulnya bisa diangkat sebagai desa wisata percontohan yang pada akhirnya bisa memberikan kontribusi besar terhadap perkembangan ekonomi desa dan daerah. Pendekatan budaya itu pada hakikatnya tidak berarti meliputi ruang hampa belaka.
Sementara pendekatan ekonomi-budaya harus berjalan secara integrated sehingga formulasi kebijakan yang dibuat bisa betul-betul mengenai sasaran. Peranan dan kemampuan pemerintah dalam memecahkan masalah migrasi tersebut sebetulnya hanya bisa kita tuntut pada penyusunan seperangkat regulasi yang berfungsi untuk membatasi arus urbanisasi.
Solusi pencegahan atas berbondong-bondongnya migran baru lewat arus balik bukan operasi kartu identitas semacam rasia KTP. Bukan menangkap penduduk yang ber-KTP luar kota dan memulangkan ke daerah asal karena mereka dianggap sebagai "sampah" atau pemicu ledakan pertumbuhan penduduk kota karena migrasi. Solusi untuk menangkal migran baru setelah Lebaran, antara lain, adalah mengurangi jumlah penduduk miskin. Juga memperluas peluang kerja dan mempercepat pembangunan daerah tertinggal.
*) Alumnus Lembaga Administrasi Negara (LAN), Jakarta, tinggal di Jakarta Pusat.

Tidak ada komentar:

Statistik pengunjung