Senin

Sinetron Penyihir Anak

SOROT
Oleh: Ken Ratih Indri Hapsari*
Anak menurut UU adalah yang berumur di bawah 18 tahun, dalam usia 12-18 tahun anak-anak dapat digolongkan usia remaja muda atau masa transisi menuju kedewasaan. Di negeri ini, masih banyak anak yang tidak mendapatkan ruang yang kondusif bagi perkembangannya.
Jika anak-anak dari keluarga miskin menjadi korban ketertindasan ekonomi-politik yang menyebabkan penderitaan yang bahkan mendorong mereka terpaksa bekerja dan meninggalkan kesempatan untuk bermain dan belajar, anak-anak dalam keluarga kaya juga masih menjadi korban ketidakmampuan orangtua dalam memupuk potensinya sebagai manusia masa depan. Kekerasan dalam warna dan bentuk lain juga menimpa dirinya.
Orangtua seringkali menganggap anak seperti lempung yang bisa dicetak sesuai kemauannya. Masuknya anak dalam dunia hiburan (enterteinmen) juga seringkali bukan keinginan anak sendiri tetapi karena bentukan orangtuanya. Orangtua tergiur dengan cara memperoleh uang dengan mudah dan melimpah. Ketenaran dan uang adalah godaan terbesar, dan ini mengorbankan perkembangan anak yang bisa tumbuh menjadi apa saja. Bahkan kita lihat para bintang sinetron dan selebritis yang masih berusia dini dan belia juga hanya dimanfaatkan oleh orangtuanya yang juga tak jarang menjadi manajernya sendiri, seperti artis Marshanda.
Pemahaman dan ideologi yang salah yang dicekokkan terhadap anak, dengan ukuran-ukuran yang belum tentu baik, seringkali dipaksakan oleh orangtua. Anak-anak dan remaja merupakan kalangan yang rentan terhadap pengaruh budaya liberalisme yang tersebar melalui berbagai media. Pengaruh tayangan kekerasan, seksualitas, dan hedonisme-konsumtifisme di berbagai media tidak boleh membuat anak-anak kehilangan potensi kulturalnya, yaitu untuk menjadi generasi yang produktif-kreatif, dan peka terhadap lingkungan yang terus berubah.
Hingga saat ini penghisapan terhadap anak masih terpupuk dan tumbuh subur, meski saat ini adalah era yang mengagung-agungkan modernitas dan kemajuan tekhnologi. Pengeksploitasian terhadap anak bukan hanya melalui tindakan pelecehan dan kekerasan fisik, lebih daripada itu penindasan itu juga berbentuk kesadaran semu yang diinjeksikan kepada anak secara terus menerus oleh berbagai instrumen-instrumen kekuasaan demi kepentingan segelintir orang.
Salah satu upaya mempengaruhi kesadaran sejati kepada kesadaran semu adalah propaganda TV terhadap anak. Dalam hal ini, anak dalam sinetron dituntut untuk melakukan pekerjaannya sebagai artis cilik atau artis remaja dengan imbalan ketenaran dan uang, karena konsensi ketenaran dan uang itulah anak-anak rela dibentuk dan dijadwalkan bekerja sebagaimana tuntutan skenario. Tidak peduli apakah peran yang dimainkan tidak diinginkannya, atau meskipun waktu sekolah dan bermainnya dikorbankan. Seringkali kita lihat, artis anak-anak harus meninggalkan kelas dan sekolah karena sibuk shooting. Antara karier dan belajar tidak terjadi keseimbangan. Padahal mencari uang sendiri (dengan tujuan akhir hidup bersenang-senang) bukan kebutuhan yang mendesak. Apalagi bila kesenangan dirasakan terus-menerus, biasanya otak tumpul dan tidak peka karena tidak terlatih untuk merasakan kontradiksi hidup dalam hari-harinya.
Selain itu, sinetron anak yang kebanyakan ditayangkan pada waktu anak-anak harus belajar dan mengerjakan PR, juga tidak mendidik atau mencerahkan. Karenanya, anak-anak dan remaja yang menonton sinetron di layar TV akan dengan mudahnya meniru adegan-adegan dalam sinetron, seperti adegan percintaan, meniru pakaian dan cara berbicaranya, atau mengalahkan orang yang tidak disukai dengan cara-cara paling tidak manusiawi sekalipun. Bukan hanya jiwa dan cara berpikir yang dibentuk oleh tayangan sinetron, tetapi juga bagaimana anak-anak beraktivitas menggerakkan tubuhnya untuk menjalankan sesuatu.
Kontrol tubuh merupakan cara menguasai anak-anak sebagaimana dilakukan pasar untuk membentuk anak-anak yang konsumtif, bergaya hidup yang mendukung langgengnya budaya pasar. Filsuf post-strukturalis Prancis Michel Foucault menyatakan bahwa tubuh menjadi obyek kekuasaan. Tubuh direkayasa, dilatih, dan didisiplinkan. Kepatuhan adalah tujuan dari kekuasaan. Foucault mengatakan, Tubuh yang patuh adalah yang penurut dan dapat digunakan untuk tujuan apa saja. Tubuh dapat diubah dan disempurnakan (1975:138).
Anak Dan Keluarga Cemara
Anak-anak adalah modal manusia (human capital) bagi pembangunan jangka panjang. Dihadapkan dengan masa depan, pendidikan memiliki sifat antisipatoris dan preparatoris, yaitu selalu mengacu pada masa depan dan selalu mempersiapkan generasi-generasi baru untuk kehidupan masa depan. Dan, anak adalah generasi baru yang akan tumbuh menghadapi dunia dan perubahannya.
UU penyiaran seharusnya mengatur jenis sinetron dengan aktor dan jadwal jam siarnya disesuaikan dengan konsumennya, bukan acak seperti sekarang. Selain itu, bagi insan persinetronan, seharusnyalah dipikirkan bagaimana membuat kisah anak-anak Indonesia yang bermartabat, bukan hanya kisah yang melemahkan dan membentuk anak bergaya gaul tanpa makna. Dulu sinetron yang mendidik, Keluarga Cemara merupakan salah satu sinetron keluarga yang patut dicontoh. Dalam sinetron tersebut bukan hanya disampaikan cerita naratif belaka, namun sangat dekat dengan realitas masyarakat sebenarnya. Di dalamnya, alur, karakter tokoh, setting, dan adegan-adegannya sangat kuat dan bukan sekedar cerita percintaan yang cengeng, dan tingkah laku anak-anak dan remaja yang mengejar romantisme cinta monyet.
Keluarga Cemara di setiap episodenya tersirat amanat, karena sinetron tanpa amanat adalah sampah, sinetron tanpa afirmasi nilai adalah bukan karya untuk kemanusiaan. Di sana anak-anak adalah adalah potensi untuk menjadi manusia yang berkualitas. Karena waktu untuk membentuknya masih banyak, sosialisasi nilai-nilai humanisme terhadapnya masih belum terlambat. Anak-anak adalah mereka yang membutuhkan ruang untuk tumbuh.
*) Aktivis KiPaS (Komite Independen Perempuan dan Anak untuk Aksi Sosial) Jember

Tidak ada komentar:

Statistik pengunjung