Senin

Emansipasi Masih Setengah Hati

WACANA
Oleh: Titik Suryani*
Sepanjang sejarahnya, stigma negatif telah bergandeng erat dengan kehidupan kaum perempuan. Perempuan seringkali ditempatkan pada posisi marginal, baik dalam wilayah domestik maupun publik. Berbeda dengan lelaki, jenis makhluk yang satu ini selalu ter(di)batasi ruang gerak dan tingkah lakunya. Dengan dalih sebagai “ratu rumah tangga”, perempuan hanya dipersiapkan mengurus rumah dan kurang diberi kebebasan untuk mengakses kehidupan yang lebih luas.
Dalam Alkitab dinyatakan, Tuhan menciptakan perempuan sebagai aftherthougt untuk menjadi penolong pria. Meskipun peranan yang rendah ini banyak ditolak oleh banyak aktifis perempuan saat ini, namun persepsi semacam ini ternyata bukan hanya monopoli orang Yahudi saja. Kongfucu (Confucius) misalnya, menyatakan bahwa dua jenis manusia yang sukar diurus adalah turunan orang rendahan dan perempuan. Bahkan Aristoteles, tokoh logika Yunani, lebih parah lagi. Ia menyebut perempuan sebagai makhluk belum selesai yang tertahan dalam perkembangan tingkat bawah, dan kita tidak boleh menjalin persahabatan dengannya karena pada kenyataannya hati perempuan adalah sarang serigala (R.H. Lauer: 1978).
Dalam tradisi Arab sendiri, sebelum datangnya Islam, nasib perempuan tidak berbeda dengan kawan-kawannya di tempat lain. Mereka ditempatkan pada posisi yang amat rendah, bahkan menjijikkan. Perempuan dianggap aib keluarga sehingga harus dibunuh pada awal kelahirannya. Mereka tidak mendapatkan hak waris, tapi boleh diwariskan dari ayah seseorang kepada anak-anaknya, bila si ayah memiliki istri lebih dari satu.
Setelah Islam datang, kedudukan perempuan sedikit demi sedikit terentaskan dalam kubangan lumpur. Islam berusaha keras untuk mengakhiri berbagai praktek perbudakan dan pelecehan terhadap kaum perempuan, sekaligus mengupayakan proses emansipasi yang pertama dalam sejarah. Will Durant, seorang pencatat sejarah umat manusia, menuliskan bahwa Muhammad SAW selalu mengizinkan para perempuan mendatangi masjid, mengizinkan mereka menghadiri khotbah-khotbahnya dan diperlakukan dengan penuh rasa hormat. Praktik pembunuhan terhadap bayi perempuan juga dikikis habis dengan memberikan jaminan hukum dan finansial, sehingga mereka juga berhak atas harta waris dari para orang tua (Will Durant: 1950).
Perspektif Islam
Dalam pandangan Islam, perbedaan lelaki dan perempuan tidak lebih hanya sebuah perbedaan secara biologis. Islam bahkan memandang fungsi “keibuan” (maternal function) seorang perempuan sesuatu yang amat vital bagi kehidupan manusia, bukan sebaliknya.
Namun di era modern ini, nasib perempuan kembali berada pada posisi dilema. Alih-alih memberikan emansipasi, dunia modern justru menampilkan perempuan sebagai obyek seksual. Mereka dipajang di etalase untuk menarik pembeli. Mereka dipaksa tersenyum untuk menambah jumlah pembeli. Mereka ditelanjangi untuk menghiasi iklan. Dalam benak mereka ditanamkan keyakinan bahwa mereka hanya bisa hidup sukses dengan modal fisik yang mereka miliki. Dengan kata lain, perempuan kembali ditempatkan pada posisi inferior dari pada superior. Keinginan mereka untuk mengakses pilihan hidup secara mandiri juga masih dibatasi, bahkan dilarang sama sekali.
Dalam konteks ini, pelarangan atas para siswi-siswi berjilbab untuk mengikuti seleksi paskibraka (Pasukan Pengibar Bendera Pusaka) di Ponorogo, Jawa Timur beberapa waktu lalu sungguh membuat hati kita tersentak. Meski --pelarangan tersebut-- sudah disosialisasikan kepada beberapa sekolah yang hendak mengirimkan delegasi siswa-siswinya, namun yang patut disayangkan adalah tidak adanya alasan yang rasional atas pelarangan keikutsertaan siswi-siswi berjibab dalam ajang seleksi bergengsi tersebut. Hal ini mencerminkan adanya pembatasan atas ruang gerak perempuan. Apalagi kalau ditelisik lebih jauh, jilbab sesungguhnya bukan hanya sekedar tutup kepala yang melindungi diri dari terik matahari. Jilbab adalah identitas (simbol) yang berkaitan erat dengan aqidah dan keyakinan pemakainya (baca: muslimah).
Tidak heran jika zaman sekarang roda emansipasi belum membawa angin segar. Masih banyak perempuan yang hidup dalam ketidakberdayaan akibat konstruk sosial yang kurang berpihak kepada mereka. Masih saja kita saksikan ribuan perempuan yang bekerja di pabrik-pabrik sampai malam hari. Itupun masih diperparah lagi dengan dengan minimnya upah yang mereka terima. Belum lagi perilaku kasar yang acapkali menimpa mereka dari para majikannya.
Di saat yang sama, ribuan tubuh kurus memikul beban di punggungnya, sementara anak-anak kecil menempel di dadanya. Ribuan kaum hawa masih meringkuk dalam perbudakan seksual, menangisi masa depannya yang suram. Kartini-Kartini yang menduduki kantor megah dan mewah memang banyak, namun lebih banyak lagi yang tinggal di pabrik-pabrik pengap, gubug reot yang penuh kotor, dapur yang penuh asap, atau padang yang terik membakar.
Muhammad Quthb mengatakan, seandainya perempuan menginginkan taraf kemanusiaan yang sejajar dengan kaum lelaki, maka hak persamaan harus diberikan kepada mereka baik dari segi teoritis maupun praktis, di depan undang-undang (Muhammad Quthb: 1980). Dengan kata lain, kedudukan dan peran perempuan tidak akan pernah bebas dari tekanan-tekanan sosial selama belum ada ketegasan undang-undang hukum yang menjamin kebebasan kaum perempuan.
Dalam aras ini, dibutuhkan keseriusan pemerintah untuk melindungi hak-hak kaum hawa dari segala bentuk penindasan dan ketidakadilan. Sudah saatnya perempuan keluar dari kubangan lumpur hitam yang selama ini menenggelamkan harga diri mereka. Perempuan harus diberi kesempatan yang sejajar dengan pria dalam berbagai akses kehidupan sebagaimana telah digariskan Islam. Di era tengah kemajuan teknologi sekarang ini, jangan ada lagi perbedaan yang didasarkan atas genital-biologis. Ketrampilan dan kemampuan secara intelektual seharusnya menjadi faktor utama untuk membedakan siapa yang pantas untuk menempati kedudukan, jabatan tertentu (The right man on the right place).Wallahu A’lam bi as-Shawaab.
*)Aktifis Perempuan, dan Mahasiswi IAIN Sunan Ampel Surabaya

Tidak ada komentar:

Statistik pengunjung