Sabtu

(SOROT) :Pengorbanan Lapindo

OLEH: ABD. SIDIQ NOTONEGORO*

Sukacita menyambut tahun baru tidak dialami masyarakat desa Balongbendo, Kecamatan Tanggulangin, Kabupaten Sidoarjo yang tempat tinggalnya berada di sekitar luberan lumpur panas Lapindo. Sebagian mereka kini terpaksa harus mengungsi dan merelakan rumah mereka ditenggelamkan lumpur hasil pengeboran PT. Lapindo Brantas Inc. Sedangkan untuk masalah kompensasi masih belum benar-benar jelas. Sebagian dari mereka, yang meski rumahnya belum terluberi lumpur panas, pun berharap-harap cemas. Karena bukan tidak mungkin dalam beberapa pekan ke depan akan mengalami nasib yang sama. Luapan lumpur sampai kini masih belum dapat dihentikan, sedangkan musim penghujan sudah tampak mendekati curah hujan yang maksimal.
Sungguh malang nasib mereka ini. Telah lebih dari 7 bulan lumpur Lapindo menghajar masyarakat Balongbendo dan sekitarnya. Dengan terpaksa mereka harus melewati hari-harinya di tempat-tempat pengungsian yang penuh sesak, ramai dan kumuh. Musim hujan yang telah tiba kian menambah derita masyarakat. Harapan untuk mendapatkan kompensasi langsung secara cepat dari PT. Lapindo --- yang telah mengakibatkan mereka menderita --- justru tidak kunjung tuntas. Di balik janji PT. Lapindo untuk membayar seluruh kerugian harta benda masyarakat, mereka dibuat frustasi kembali dengan persoalan sertifikat tanah. Ibarat pepatah, “sudah jatuh tertimpa tangga”.
Rumah-rumah mereka kini telah tenggelam ke dalam kubangan lumpur. Kampung halaman yang dulu mereka cintai, kini terkubur dalam perut bumi akibat ulah keserakahan kaum kapitalis mengeksploitasi bumi. Musnah sudah mimpi masyarakat yang hari-harinya dihabiskan di tempat pengungsian untuk kembali menempati rumah mereka. Sebagian rumah mereka menjadi obyek penjarahan oleh para pemulung yang menganggapnya sebagai barang tak bertuan.
Secara empiris, penderitaan yang ditanggung oleh masyarakat korban luberan lumpur Lapindo adalah musnahnya tempat tinggal dan areal persawahan. Dan dengan ‘kerja keras’ aparatur pemerintahan, termasuk Bupati Sidoarjo dan Timnas Penanggulangan Lumpur Lapindo, PT. Lapindo menyetujui ganti rugi yang diusulkan oleh masyarakat korban Lapindo. Meskipun sebelumnya telah terjadi tawar-menawar yang cukup rumit.
Namun kalau direnungkan lebih jauh, derita yang dialami masyarakat tidak hanya berkutat dengan persoalan materi, lebih dari itu juga menyangkut masalah immaterial. Di antaranya menyangkut aspek psikologis, sosial maupun pendidikan. Berapa ribu orang yang terpaksa kehilangan mata pencaharian akibat lokasi dan peralatan mereka yang terkubur dengan sia-sia, belum lagi dengan terpaksa harus membuka lahan baru yang mungkin secara ekonomis justru kurang menguntungkan meski harus melakukan usaha yang sama seperti sebelum terjadi bencana.
Para pelajar pun banyak yang terbengkalai pendidikannya. Tidak saja berkaitan dengan hilangnya mata pencaharian orang tua mereka yang secara langsung berdampak pada kelanjutan belajarnya, tetapi juga berkaitan dengan fasilitas, proses maupun suasana belajar yang kondusif. Sangat mungkin pelajar-pelajar ini harus mencari sekolah yang baru dengan suasana dan teman belajar baru yang membutuhkan adaptasi lagi.
Ironisnya, bencana lumpur panas ini bagi PT. Lapindo hanya dipandang sebagai bencana biasa. Bahkan berbagai cara diusahakan oleh PT. Lapindo guna mencari pembenaran bahwa bencana lumpur panas merupakan bencana alam. Bukan karena adanya kesalahan dalam pengeboran yang telah dilakukannya. Bahkan, keinginan Lapindo untuk mengganti kerugian materiil masyarakat yang tertimpa bencana lagaknya seperti sinterklas yang membagi-bagi hadiah.
Ketidak pedulian PT. Lapindo terhadap dampak lanjutan dari bencana lumpur panas terlihat dari kemauannya yang hanya ingin mengganti kerusakan atau hilangnya rumah dan lahan pertanian. Sedangkan dampak sosial, psikologis dan atau pendidikan merupakan tanggungjawab masing-masing korban. Sehingga kelak jika uang ganti rugi tersebut telah diserahkan kepada masyarakat, maka secara otomatis tanggungjawab moral dan sosial PT. Lapindo tuntas sudah, seiring dengan tanah-tanah masyarakat yang kini terkubur oleh lumpur kelak akan menjadi hak milik PT. Lapindo.
Dapat diilustrasikan, masyarakat Balongbendo dan sekitarnya telah menjadi korban keganasan lumpur panas hasil kreasi PT. Lapindo dalam rangka mengeruk kekayaan perut bumi. Masyarakat yang --- andaikata pengeboran tersebut sukses sehingga menjanjikan keuntungan material yang berlipat ganda --- tidak berkaitan langsung dengan kepentingan PT. Lapindo benar-benar merupakan korban (tumbal ?).
Tampak, di balik ‘keterpaksaan yang sukarela’ masyarakat Balongbendo untuk menjadi korban dan menderita berkepanjangan akibat eksplorasi ala PT. Lapindo tidak sebanding dengan ‘pengorbanan’ PT. Lapindo dalam memberikan santunan bagi masyarakat. Lapindo hanya mengedepankan perhitungan bisnis yang berbasis untung rugi secara material. Padahal, kerugian yang harus ditanggung masyarakat yang tidak berdosa ini jauh lebih besar daripada apa yang harus diterimanya dari Lapindo sebagai bentuk ganti rugi.
*)
Dosen FAI Univ. Muhammadiyah Gresik

1 komentar:

Momentum Risalah Wapres 24 April 2007 mengatakan...

Dari awal memang bencana Lumpur ini sengaja di jadikan "object" menambah penghasilan bagi "mereka" yang berkecimpung dalam Bencana ini, Mulai dari korban Lumpur itu sendiri maupun para Pejabat yang di tugaskan untuk membantu menangani masalah ini. Hal ini kami jelaskan sebagai berikut :
1. Yang bermain di pihak KORBAN luapan Lumpur, yaitu : munculnya Tim-tim Warga Korban yang mengeklaim sebagai pembawa amanah Warga korban lumpur yang ujung-ujung-nya "bisa mengeruk" keuntungan untuk "JASA" pengurusan, baik dengan Dalih Iuran RT/RW, Iuran untuk Memperjuangkan Ganti-rugi, Iuran untuk sewa POSKO dll. Dan lebih ironis lagi hal ini juga di SYAH-kan oleh WARGA KORBAN itu Sendiri yang awalnya merasa keberatan atas ada-nya "PUNGUTAN-2" itu.
2. Pemerintah Daerah Kabupaten, yang di dukung dengan jajaran di bawahnya, dalam hal ini mulai dari Kepala Desa, Kecamatan, maupun Pemda, dengan dalih mendesak kepada yang bertanggung jawab untuk secepatnya memberi "GANTI-UNTUNG" ke Warga Korban Lumpur, sehingga Mulai dari besaran harga hingga penyalurannya di kelola oleh PEMDA. Perlu di garis bawahi bahwa HARGA BANGUNAN DAN TANAH YANG SEKARANG INI "DISEPAKATI" ANTARA WARGA DAN LAPINDO, ITU BUKAN DARI KESEPAKATAN WARGA DAN LAPINDO, AKAN TETAPI HASIL MUSYAWARAH ANTARA KEPALA DESA, KECAMATAN, PEMDA, PEMERINTAH PUSAT ( TIMNAS ) DAN LAPINDO, DAN WARGA DI"PAKSA" UNTUK MENERIMA HASIL MUSYAWARAH ( KONSPIRASI ) TERSEBUT. TUNTUTAN WARGA BUKAN SEPERTI ITU.
3. Pemerintah Pusat, dalam hal ini sebagai Pihak yang seharusnya MENGAYOMI seluruh Warga Negara Indonesia, TIDAK KONSISTEN MENGAWAL DAN MELAKSANAKAN KEBIJAKAN YANG SUDAH MEREKA BUAT, sehingga Bentuk Penyelesaian yang sekarang ini adalah sekedar KAMUFLASE PUBLIK seolah-olah Kebijakan yang sudah Pemerintah Pusat Buat itu benar-benar membela dan menyelesaikan Masalah. Akan tetapi kenyataannya PERHITUNGAN BISNIS ala KAPITALIS-GOVERMENT yang menjadi dasar Penyelesaiannya, yaitu : "MELAKSANAKAN PENYELESAIAN "SEMINIM" MUNGKIN untuk MEMPEROLEH HASIL YANG "MAKSIMAL", BAIK DALAM BENTUK LAPORAN ( PAPER-WORK ) MAUPUN SIMPATISAN".
4. Ulama dan Para Tokoh sudah semakin jauh meninggalkan "UMAT"-nya, dalam hal ini Warga korban lumpur yang sudah banyak yang putus-asa dalam memperjuangkan HAK AZASI UNTUK MEMPEROLEH KEHIDUPAN YANG LAYAK. Mereka ikut berlomba-lomba dengan "para makelar" untuk mencari simpati dari warga korban Lumpur dan "sangu" dari Lapindo.
Demikianlah sedikit ulasan komentar yang bisa kami tambahkan tentang keadaan REAL Pelaksanaan di lapangan.

Salam Perjuangan,

Tonas Adi
Warga Perumtas-1
Kedungbendo - Tanggulangin
Sidoarjo

Statistik pengunjung