Eksplorasi ke-Cina-an sangat melekat pada sajak-sajak penyair
Sejak keterikatan pada dunia musik di bangku SMA, penyair kelahiran Denpasar, 1 Juni 1958 ini sempat jadi gitaris group band Ariesta. Akhir tahun 1989, Yoki (panggilan akrab Tan Lioe Ie) menemukan dunia sendiri, membuat puisi dan dipadu musikalisasi sehingga terlahir musikalitas puisi khas Yoki.
Penyair yang awalnya “tidak sengaja” bergelut di bidang puisi ini dimulai saat ia diminta jadi juri lomba baca puisi yang digelar Sanggar Minum Kopi Denpasar kategori juri pembanding dari disiplin lain. Selama tiga hari sampai babak final berulang kali mendengarkan puisi dibacakan peserta lomba, ditambah pembacaan naskah puisi sebagai juri pembanding, membuatnya merasakan pesona puisi dan semakin hari semakin dekat sama puisi. Akibatnya, penyair yang pernah jadi anggota redaksi jurnal kebudayaan CAK, ikut dalam antologi Mimbar Penyair Abad 21, masuk dalam antologi berbahasa Inggris Menagerie 4 dan diundang ke Tasmanian Readers' & Writers' Festival plus writer in residence di Tasmania, Australia mulai produktif menulis puisi.
Sadar akan torehan tinta ke-Cina-an, Tan Lioe Ie tidak mengganti namanya meski sebenarnya gampang diubah. Sejak era Presiden Soeharto yang banyak menimbulkan fobia terhadap kebudayaan Cina, justru ia mengadakan perlawanan dengan mempertahankan nama. “Apa salahnya dengan nama. Yang penting manusianya. Kalau manusianya tidak beres, apapun namanya juga tidak beres,” ujar ayah dua anak ini.
Penyair yang memiliki karya Kita Bersaudara (1991) dan sempat diterjemahkan dalam bahasa Inggris oleh Dr Thomas M. Hunter Jr menjadi We are All One (1996) ini berobsesi agar orang terbiasa dengan pluralisme nama apapun. ‘’Kualitas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar