Jumat

PP 37 Vs Politik Aji Mumpung

OLEH: Denok Hanggarsari

Aksi penolakan terhadap PP 37/2006 benar-benar meluas. Kemarahan rakyat dan kalangan kritis seperti massa ditumpahkan dengan membakar ban dan meluapkannya dengan berbagai cara. Dan aksi menyikapi kebijakan pemerintah yang merugikan rakyat dan melenakan para penguasa (wakil rakyat) ini memang bukan pertama kali terjadi. Peraturan Pemerintah (PP) No.37 tahun 2006 tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota DPRD tersebut memang memberikan berkah bagi para wakil rakyat yang duduk di kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).

Alasan yang dipakai sebenarnya bahwa dengan memberikan fasilitas kepada wakil rakyat di daerah, diharapkan para wakil tersebut akan bekerja giat dan memiliki fasilitas yang cukup untuk mengurusi pemerintahan dalam kaitannya dengan posisinya sebagai wakil rakyat. PP tersebut secara prinsip sama dengan apsirasi masyarakat yakni APBD digunakan untuk kepentingan rakyat dan bukan untuk kepentingan DPRD. Berdasarkan UU No.22 tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD (Susduk), APBD harus diatur dengan Peraturan Pemerintah (PP) dan hal itu yang menjadikan adanya hubungan antara pemerintah pusat dengan daerah dalam pengelolaan APBD di era otonomi saat ini.

Alasan legal formal semacam itu lagi-lagi terbentur pada fakta dan data sejarah, terutama track record wakil rakyat kita yang terlanjur buruk, dan apabila dimanja dengan fasilitas dan gaji yang tinggi justru akan semakin manja dan terlena.

Pemberian tunjangan komunikasi kepada anggota DPRD yang jumlahnya luar biasa besar, sebagaimana sesuai PP No 37 Tahun 2006, diharapkan akan membuat kinerja wakil rakyat dalam hal komunikasi politik dengan rakyat semakin berkualitas. Selama ini komunikasi politik memang tidak terjadi. Bahkan sistem demokrasi politik yang terbangun di negeri ini, baik level nasional maupun daerah, bahkan terlanjur dihambat.

Dalam demokrasi prosedural yang tidak berlandaskan pada kesadaran massa rakyat, bahkan bisa dikatakan komunikasi politik adalah suatu hal yang harus dijauhi. Dilihat dari watak elit atau tokoh politik yang secara ide(ologis) dan programatik tidak memiliki semangat perjuangan untuk membebaskan rakyat, dan semangat umum bahwa jabatan politik adalah kesempatan untuk mengumpulkan kekayaan, maka jelas bahwa komunikasi atas dasar kesadaran dan kekuatan politik massa (rakyat banyak) akan bertentangan dengan watak dan tindakan elitis, pragmatis, oportunis, dan bertujuan mencari kepentingan pribadi.

Penambahan tunjangan-tunjangan selama ini sudah terlampau besar. Bahkan saking besarnya juga merubah mental para wakil rakyat kita. Kasus skandal para wakil rakyat dengan artis (penghibur) seperti kasus Yahya Zaini dan Maria Eva dan skandal para wakil rakyat daerah dengan para pelacur, atau warna hidup hari-hari mereka yang dipenuhi dengan kesenangan menunjukkan bahwa uang dan fasilitas justru merusak moral kerakyatan para wakil rakyat.

Moral kerakyatan tidak muncul dalam situasi di mana pejabat tidak mengalami situasi yang membuatnya berpikir dan merasa. Kesenangan hidup dan kekayaan yang diperoleh dari posisinya sebagai pejabat wakil rakyat akan menjauhkan mereka dari kemampuan merasakan kesusahan dan penderitaan rakyat yang bukan hanya semakin miskin, tetapi karena kemiskinannya juga semakin dehuman terbukti semakin meningkatnya kasus kriminalitas, konflik, kekerasan, dan kejahatan kemanusiaan.

Pengkhianatan wakil rakyat yang bukannya menyelesaikan permasalahan tetapi mendukung kebijakan pemerintah yang bermasalah, telah mempertaruhkan nasib rakyat dan situasi sosial negeri ini menuju titik nadir.

Melalui hubungan dialektis dalam ranah produksi, uang yang akan diberikan pada wakil rakyat tersebut juga berasal dari kerja-kerja rakyat dan kekayaan negara yang seharusnya digunakan sepenuhnya untuk kemakmuran rakyat, bukan untuk kekayaan beberapa orang yang kebetulan terpilih sebagai wakil rakyat. Apa lagi pemilihannya juga tidak demokratis dan tidak mendidik kesadaran demokrasi politik. Dulu mereka terpilih bukan karena rakyat tahu apa yang menjadi ide(ologi) perjuangan, program dan cara mengatasi persoalan rakyat. Dulu mereka, terutama dalam kampanye, tidak pernah menunjukkan permasalahan bangsa dan bagaimana cara mengatasinya secara objektif, tegas, dan benar. Dulu mereka hanya memberi kaos, juga ada yang memberikan sembako dan bahkan uang, atau hanya sekedar diundang makan-makan kecil dan massa disuruh mendukung begitu saja.

Intinya, sejak awal telah terjadi kecacatan dalam skema politik perwakilan kita. Maka hasil-hasilnya adalah wakil rakyat terpilih yang justru tidak memahami dan memperjuangkan rakyat, tetapi justru membuat dan mendukung kebijakan ekonomi-politik yang merugikan, watak dan tindakannya juga bertentangan dengan moral kerakyatan. Dari kondisi ini, memberikan tunjangan lagi secara berlebih kepada wakil rakyat bukan hanya akan menambah watak dan tindakan memalukan para wakil rakyat, tetapi jelas-jelas telah menggunakan uang rakyat untuk membiayai penderitaannya sendiri.

Peraturan Pemerintah ini telah menambah oportunisme di kalangan wakil rakyat. Bahkan setelah beberapa daerah tunjangan-tunjangan diberikan, politisasi baik penerimaan maupun penolakannya juga terus saja terjadi. Semuanya untuk konsolidasi kekuasaan, membiayai upaya mempertahankan kekuasaan, dan menjual moralitas pada rakyat. Bagi anggota DPRD yang menerima dana tunjangan ini, jika uang tidak semata-mata masuk dalam kantong individu, maka dana itu akan digunakan untuk membiayai partainya agar menang dalam pemilu 2009 nanti.

Bagi anggota DPRD yang menolak, hal itu juga semata-mata digunakan untuk mengilusi rakyat bahwa wakil dari partainya sok bermental baik ini juga investasi politik dalam menghadapi pemilu 2009, apalagi bagi partai-partai yang selama ini menjual akhlak dan moral. Ada juga yang menerima, tetapi disalurkan atau dialihkan atau istilahnya dikonversi.

Misalnya diwujudkan dalam bentuk ambulan, dibagikan pada rakyat miskin, atau berbagai bentuk lainnya. Tapi dilihat dari watak dan tindakan elit kita, politik cari muka demi politik jangka panjang terutama untuk pemilu 2009 sudah jelas terjadi. Rakyat pada akhirnya akan dapat menilai. Gerakan pro-demokrasi dan anti penindasan harus menjelaskan semuanya pada rakyat.

*) Sekretaris Institute of Research and Education for Democracy (IRED) Jember, Jawa Timur.

Tidak ada komentar:

Statistik pengunjung