Sabtu

Ubah Nama Demi Kelancaran Administrasi

HENI KURNIAWATI & INDAH WULANDARI

Kini warga keturunan Cinadi Indonesia sudah mulai jarang menggunakan bahasa Mandarin yang merupakan bahasa ibu leluhur mereka. Mereka pun mulai memakai nama-nama lokal. Namun mereka tetap merayakan tradisi tahun baru Imlek. Hilda Kusnadi, siswi SMP St Yosep Denpasar misalnya, mengaku jika dikeluarganya tidak mengenal bahasa Mandarin. Untuk percakapan sehari-hari, mereka mengunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar pergaulan. ”Di sekolah tidak diajarkan bahasa Mandarin, hanya dirumah saja. Tapi itu pun saya tahu sedikit saja, tutur siswi kelas 3 SMP.
Untuk pemakaian nama, Hilda mengaku tidak memiliki nama asli Cina. Dari kecil ia sudah mengenal nama lokal agar mudah saat melamat masuk sekolah. Hal senada dikatakan Lina Prabawa, siswi SMP St Yosep kelas tiga ini mengaku jika tidak ada nama Cina yang disandang keluarganya. Hal ini menghindari proses yang rumit jika mengurus sesuatu. ”Jika memakai nama Cina, masuk sekolah ataupun kerja akan lebih rumit, harus ganti kewarganegaran. Untuk itu harus diubah ke nama Indonesia. Saya pun tidak punya nama Mandarin dan juga tidak sedikit pun bisa bahasa Mandarin, pasalnya bahasa Cina itu sulit,” kata gadis sipit ini.
Hemat Kunci Sukses
Etnis Cina terkenal memegang teguh prinsip hidup hemat, “Lebih baik makan bubur daripada makan capcay”. Menutut Andreas T, saudagar keturunan Cina dan pemilik toko cat Warna Warni, Denpasar, keuletan dan prinsip hidup hemat mengantarnya ke gerbang keberhasilan. Bisnis yang digeluti tidak serta merta langsung enak. Keturunan Cina asal Cirebon, Jawa Barat ini datang ke Bali sejak tahun 1984, berbekal pengetahuan tentang AC mobil dan cat, akirnya ia mendirikan bengkel mobil. Lalu ia beralih membuka toko cat yang digeluti sejak empat tahun terakhir. “Meski saya bisa dibilang tidak berhasil di bengkel namun saya tidak frustasi malah membuat saya gigih untuk terus berjuang dengan membuka toko cat ini,” katanya.
Hidup hemat dan kegigihan sepertinya membayangi kehidupan masyarakat keturunan Cina. Kedua hal tersebut lahir karena tekanan yang dirasakan oleh etnis ini baik dari pemerintah maupun lingkungan sekitar. ”Orang Cina tidak pernah mendapat tempat di pemerintahan, kalaupun ada itupun skalanya kecil. Hal inilah yang membuat orang Cina harus survive (bertahan) dan hidup mandiri. Kalau tidak diri kita siapa yang menolong,” tandas Andreas.
Sementara Suriawatie, pemiliki Toko Sinar Bersaudara Jl Pulau Bungin 22, Denpasar, mengatakan kesuksesan harus dimulai dengan hidup hemat dan mau bersusah-susah dulu sebelum menuai hasil

Adhi Putra (25) belajar berbisnis dari kedua orangtuanya. Sejak kecil ia sudah terbiasa melihat kedua orang tuanya banting tulang membangun bisnis katering dan garmen milik keluarga. Otaknya pun berputar untuk selalu berusaha membangun sebuah usaha sendiri. Tamat STM Denpasar ia melanjutkan ke jurusan Tehnik Mesin UNUD. Sayang, ia hanya sempat mengenyam bangku kuliahan sampai enam semester. Bermodalkan uang tabungan dan pinjaman uang dari keluarga, ia buka toko elektronik dan merambah usaha bengkel sepeda motor bernama PCP (Personal Custom Painting). Layanan cat, air brush, body kit, body firing tersedia di bengkel yang terletak di Jl Nusa Kambangan 119 Denpasar sejak 2 bulan lalu. Adhi menjadi contoh keturunan etnis Cina yang gigih dalam berusaha.

Tidak ada komentar:

Statistik pengunjung