TEROPONG
Abd. Sidiq Notonegoro
Tanggal 29 Mei lalu membuka memori saya tentang satu tahun usia lumpur produksi Lapindo menggenangi warga Porong dan sekitarnya. Tetapi peristiwa ‘’kado’’ itu bukan terkategori berkah, maka sungguh tidak etis bila kita mengungkapkan dengan istilah ‘Ulang Tahun Lumpur Lapindo”. Mengapa? Karena guyuran lumpur buah karya PT Lapindo Brantas bukanlah berkah bagi warga sekitarnya, tetapi tragedi dan bencana yang memaksa mereka hingga kini harus tinggal di tempat pengungsian.
Sungguh pedih memang nasib bangsa ini, di tengah-tengah kebutuhan masyarakat yang kian membumbung akan minyak tanah --yang kemudian oleh pemerintah dipaksa harus berpindah ke elpiji-- ternyata yang keluar dari perut bumi bukanlah minyak yang diharapkan masyarakat banyak untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Sebaliknya, justru lumpur yang menggelora, menenggelamkan segalanya. Masyarakat secara tidak langsung harus terusir dari tempat tinggalnya yang sudah didiami puluhan tahun. Juga tidak kurang 2000 tenaga kerja harus kehilangan pekerjaan karena pabrik-pabrik tempat mereka mencari nafkah pun turut tenggelam.
Lumpur Lapindo kini telah menjadi monster yang amat mengerikan. Bukan saja karena belum ada kejelasan kapan semburan bisa dihentikan, tetapi juga masih terus mengancam untuk menenggelamkan beberapa kawasan di sekitarnya yang kini dinilai masih cukup aman. Lumpur Lapindo seakan menjadi kekuatan yang amat besar sehingga sulit sekali untuk dikendalikan. Cobalah kita amati, berapa cara dan metode yang sudah diterapkan dan bagaimana tingkat keberhasilan. Sedangkan metode yang akan digunakan sebagai metode alternatif pun masih menjadi sebongkah wacana yang terus menimbulkan perdebatan karena tidak adanya jaminan efektifitas.
Usaha yang dilakukan pemerintah dan juga PT Lapindo Brantas, masih sebatas pada persoalan yang bersifat material. Misalnya masalah ganti rugi tanah dan bangunan masyarakat yang turut tenggelam. Itupun hingga kini belum tuntas meski hanya 50% saja. Ironisnya, di tengah-tengah ketidakberesan penyelesaian ganti rugi, PT Lapindo sudah mempersoalkan tentang siapa yang kelak berhak mengklaim lahan masyarakat yang sudah terbayar tersebut.
Seharusnya baik pemerintah dan PT Lapindo memperhatikan aspek lain di luar aspek yang bersifat material itu. Apapun alasannya, masyarakat hanyalah korban dari tragedi yang tidak pernah diimpikan. Masyarakat hanyalah korban ambisi dan keserakahan manusia yang lapar akan kekayaan materi yang terkandung dalam perut bumi. Karena itu, sesungguhnya tidak cukup bila pemerintah dengan kekuasaannya yang begitu besar hanya membantu masyarakat dalam hal penyelesaian ganti rugi finansial. Pemerintah perlu memikirkan juga ganti rugi yang berkaitan dengan aspek sosial dan psikologis masyarakat korban lumpur.
PT Lapindo pun tidak semestinya bertindak pongah dengan hanya sudi mengganti kerugian material masyarakat berkaitan dengan bangunan dan tanah mereka. Karena apapun argumentasinya, tanah dan lahan masyarakat itupun pada akhirnya akan menjadi aset PT Lapindo Brantas yang sangat berharga. Diakui atau tidak, adanya semburan lumpur Lapindo justru memberikan keuntungan PT Lapindo Brantas sendiri. Karena dengan bencana tersebut, PT Lapindo relatif mendapatkan tanah dengan harga yang relatif lebih murah dibanding jika (andaikata) bencana itu tidak pernah terjadi.
Karena itu, Pemerintah dan PT Lapindo layak pula memperhatikan aspek sosial masyarakat yang terpaksa harus rela menjadi korban. Apalagi sejak awal sudah ditengarahi bahwa bencana tersebut muncul bukan semata-mata faktor alam, tetapi karena adanya kesalahan dan keteledoran pihak pengebor yang mengakibatkan terjadinya semburan lumpur.
Ganti rugi seharusnya juga dikaitkan dengan biaya pendidikan yang harus ditanggung anak-anak pengungsi, termasuk uang transport pergi-pulang sekolah. Juga berkaitan dengan buku-buku pelajaran yang ikut terbenam dalam lumpur. Penulis khawatir justru karena hal-hal tersebut dipandang kecil --baik oleh PT Lapindo ataupun pengungsi-- sehingga kemudian diabaikan begitu saja. Boleh jadi pengungsi hanya akan terfokus pada bagaimana PT Lapindo mengganti rumah mereka yang tenggelam. Tetapi kerugian yang menimpa sarana anak-anak dan pelajar diabaikan begitu saja, terutama sarana pendidikan. Ganti rugi juga perlu dikaitkan dengan persoalan psikologis masyarakat, --depresi yang relatif parah akibat ketidak-siapan menerima bencana yang begitu mendadak.
Setahun bencana lumpur Lapindo memang merupakan bencana yang sungguh di luar dugaan. Memang tidak ada salahnya bila kemudian berbagai pihak berusaha ‘menghibur’ para korban untuk tetap sabar dan berdoa. Akan tetapi, sesungguhnya kurang tepat kalau para korban harus dikurung dalam ‘dogma’ sabar dan berdoa. Berbagai elit masyarakat, baik dari kalangan pemerintah ataupun agama seharusnya memiliki daya lebih agar persoalan penanganan korban ini tidak berlarut-larut. Sungguh tidak manusiawi bila masyarakat kecil yang sudah terlantar di pengungsian dengan makanan yang kerap basi masih harus diombang-ambingkan masa depannya. Kecuali, kalau pemerintah dan para elit lebih berpihak pada kalangan pemilik modal besar karena memang memberikan janji keuntungan finansial.
* Dosen FAI Univ. Muhammadiyah Gresik, Jawa Timur
Abd. Sidiq Notonegoro
Tanggal 29 Mei lalu membuka memori saya tentang satu tahun usia lumpur produksi Lapindo menggenangi warga Porong dan sekitarnya. Tetapi peristiwa ‘’kado’’ itu bukan terkategori berkah, maka sungguh tidak etis bila kita mengungkapkan dengan istilah ‘Ulang Tahun Lumpur Lapindo”. Mengapa? Karena guyuran lumpur buah karya PT Lapindo Brantas bukanlah berkah bagi warga sekitarnya, tetapi tragedi dan bencana yang memaksa mereka hingga kini harus tinggal di tempat pengungsian.
Sungguh pedih memang nasib bangsa ini, di tengah-tengah kebutuhan masyarakat yang kian membumbung akan minyak tanah --yang kemudian oleh pemerintah dipaksa harus berpindah ke elpiji-- ternyata yang keluar dari perut bumi bukanlah minyak yang diharapkan masyarakat banyak untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Sebaliknya, justru lumpur yang menggelora, menenggelamkan segalanya. Masyarakat secara tidak langsung harus terusir dari tempat tinggalnya yang sudah didiami puluhan tahun. Juga tidak kurang 2000 tenaga kerja harus kehilangan pekerjaan karena pabrik-pabrik tempat mereka mencari nafkah pun turut tenggelam.
Lumpur Lapindo kini telah menjadi monster yang amat mengerikan. Bukan saja karena belum ada kejelasan kapan semburan bisa dihentikan, tetapi juga masih terus mengancam untuk menenggelamkan beberapa kawasan di sekitarnya yang kini dinilai masih cukup aman. Lumpur Lapindo seakan menjadi kekuatan yang amat besar sehingga sulit sekali untuk dikendalikan. Cobalah kita amati, berapa cara dan metode yang sudah diterapkan dan bagaimana tingkat keberhasilan. Sedangkan metode yang akan digunakan sebagai metode alternatif pun masih menjadi sebongkah wacana yang terus menimbulkan perdebatan karena tidak adanya jaminan efektifitas.
Usaha yang dilakukan pemerintah dan juga PT Lapindo Brantas, masih sebatas pada persoalan yang bersifat material. Misalnya masalah ganti rugi tanah dan bangunan masyarakat yang turut tenggelam. Itupun hingga kini belum tuntas meski hanya 50% saja. Ironisnya, di tengah-tengah ketidakberesan penyelesaian ganti rugi, PT Lapindo sudah mempersoalkan tentang siapa yang kelak berhak mengklaim lahan masyarakat yang sudah terbayar tersebut.
Seharusnya baik pemerintah dan PT Lapindo memperhatikan aspek lain di luar aspek yang bersifat material itu. Apapun alasannya, masyarakat hanyalah korban dari tragedi yang tidak pernah diimpikan. Masyarakat hanyalah korban ambisi dan keserakahan manusia yang lapar akan kekayaan materi yang terkandung dalam perut bumi. Karena itu, sesungguhnya tidak cukup bila pemerintah dengan kekuasaannya yang begitu besar hanya membantu masyarakat dalam hal penyelesaian ganti rugi finansial. Pemerintah perlu memikirkan juga ganti rugi yang berkaitan dengan aspek sosial dan psikologis masyarakat korban lumpur.
PT Lapindo pun tidak semestinya bertindak pongah dengan hanya sudi mengganti kerugian material masyarakat berkaitan dengan bangunan dan tanah mereka. Karena apapun argumentasinya, tanah dan lahan masyarakat itupun pada akhirnya akan menjadi aset PT Lapindo Brantas yang sangat berharga. Diakui atau tidak, adanya semburan lumpur Lapindo justru memberikan keuntungan PT Lapindo Brantas sendiri. Karena dengan bencana tersebut, PT Lapindo relatif mendapatkan tanah dengan harga yang relatif lebih murah dibanding jika (andaikata) bencana itu tidak pernah terjadi.
Karena itu, Pemerintah dan PT Lapindo layak pula memperhatikan aspek sosial masyarakat yang terpaksa harus rela menjadi korban. Apalagi sejak awal sudah ditengarahi bahwa bencana tersebut muncul bukan semata-mata faktor alam, tetapi karena adanya kesalahan dan keteledoran pihak pengebor yang mengakibatkan terjadinya semburan lumpur.
Ganti rugi seharusnya juga dikaitkan dengan biaya pendidikan yang harus ditanggung anak-anak pengungsi, termasuk uang transport pergi-pulang sekolah. Juga berkaitan dengan buku-buku pelajaran yang ikut terbenam dalam lumpur. Penulis khawatir justru karena hal-hal tersebut dipandang kecil --baik oleh PT Lapindo ataupun pengungsi-- sehingga kemudian diabaikan begitu saja. Boleh jadi pengungsi hanya akan terfokus pada bagaimana PT Lapindo mengganti rumah mereka yang tenggelam. Tetapi kerugian yang menimpa sarana anak-anak dan pelajar diabaikan begitu saja, terutama sarana pendidikan. Ganti rugi juga perlu dikaitkan dengan persoalan psikologis masyarakat, --depresi yang relatif parah akibat ketidak-siapan menerima bencana yang begitu mendadak.
Setahun bencana lumpur Lapindo memang merupakan bencana yang sungguh di luar dugaan. Memang tidak ada salahnya bila kemudian berbagai pihak berusaha ‘menghibur’ para korban untuk tetap sabar dan berdoa. Akan tetapi, sesungguhnya kurang tepat kalau para korban harus dikurung dalam ‘dogma’ sabar dan berdoa. Berbagai elit masyarakat, baik dari kalangan pemerintah ataupun agama seharusnya memiliki daya lebih agar persoalan penanganan korban ini tidak berlarut-larut. Sungguh tidak manusiawi bila masyarakat kecil yang sudah terlantar di pengungsian dengan makanan yang kerap basi masih harus diombang-ambingkan masa depannya. Kecuali, kalau pemerintah dan para elit lebih berpihak pada kalangan pemilik modal besar karena memang memberikan janji keuntungan finansial.
* Dosen FAI Univ. Muhammadiyah Gresik, Jawa Timur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar