Senin

UN Dan Kegialaan

TEROPONG
OLEH: ARDHIE RADITYA*
Pendidikan kita hingga kini masih buruk rupa. Survei Political and Economic Risk Consultant (PERC) baru-baru ini menunjukkan bahwa kualitas pendidikan kita berada pada urutan buncit (ke-12) dari 12 negara di Asia. Posisi Indonesia ini masih jauh di bawah Cina. The World Economic Forum Swedia pun melaporkan bahwa Indonesia memiliki daya saing yang rendah, yaitu menduduki urutan ke-37 dari 57 negara yang disurvei di dunia.
Masih menurut survei dari lembaga yang sama, Indonesia hingga saat ini hanya berpredikat sebagai follower, bukan leader of teknologi dari 53 negara di dunia, meskipun belakangan banyak siswanya menjuarai lomba-lomba bertaraf internasional.
Rendahnya kualitas pendidikan Indonesia juga ditunjukkan data Balitbang, bahwa dari 146.052 SD di Indonesia ternyata hanya 8 sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Primary Years Program (PYP). Dari 20.918 SMP di Indonesia, juga hanya 8 sekolah yang diakui dunia dalam kategori The Middle Years Program (MYP). Dan, dari 8.036 SMA, hanya ada 7 sekolah yang diakui dunia dalam kategori The Diploma Program (DP), (Budiati, 2006).
Kondisi demikian, tentu menjadi bagian faktor penyebab mengapa HDI kita sulit merangkak naik. HDI Indonesia sejak tahun 1975 tak pernah mencapai posisi seratus besar. Bahkan, kini hanya menempati rangking 111 dari 175 negara. Wajar, jika HDI kita tertinggal jauh dengan negara tetangga, seperti Singapura (25), Brunai (33), Malaysia (58), Thailand (76). Termasuk juga dengan negara yang notabene ‘terbelakang’ seperti Kirgistan (110), Guenia-Katulistiwa (109) dan Aljazair (108) (Inovasi Online, 2007).
Demi meningkatkan kualiatas pendidikan itu, pemerintah kita terus menerus mencoba membuat terobosan baru. Salah satunya, adalah dengan menetapkan standar minimal kelulusan UN. Jika tahun 2006 lalu standar minimal nilai UNnya adalah 4,50, maka dalam tahun ini ditingkatkan menjadi 5,00. Padahal, dengan nilai kelulusan 4,50 saja banyak siswa yang tidak lolos.
Ketidaklulusan itu banyak terlihat di sejumlah daerah. Di Jatim misalnya. Tahun 2006 lalu, tercatat kurang lebih 900 siswa SMA dan 1.941 siswa SMP yang tidak lulus UN. Di Propinsi Sumsel pada ujian tahap pertama 5.082 peserta ujian dinyatakan tidak lulus. Di Makassar (Sulsel) tingkat ketidaklulusan cukup tinggi. Sedikitnya 3.857 dari 9.286 peserta UN dinyatakan gagal. Di Bali sebanyak 1.656 siswa dinyatakan tidak lulus, bahkan ada beberapa sekolah yang siswanya tidak lulus 100%.
Nah, supaya angka ketidaklulusan siswa itu tidak semakin membludak di tahun ini (karena standar kelulusannya minimal 5,00), maka berbagai sekolah mulai melakukan inovasi dan berbenah diri. Inovasi terbaru itu adalah penerapan sistem full day school (FDS), sekolah sehari penuh. Sebuah sistem yang menekankan siswa masuk sekolah dari jam 7.00 hingga 15.30, bahkan ada yang sampai jam 17.00 sore. Di sejumlah sekolah favorit dan unggulan di Madura, Bandung , Surabaya , Jakarta , Bali telah mulai menerapkan sistem seperti ini. Tujuannya, memberikan pelajaran tambahan di luar jam pelajaran sekolah seperti biasanya, terutama mata pelajaran yang berkaitan dengan UN. Semacam bimbel (bimbingan belajar), tapi pelaksananya adalah sekolah sendiri.
Memang, di satu sisi ada keuntungan yang didapat dengan penerapan sistem seperti itu. Karena, siswanya tak perlu susah payah mengeluarkan banyak biaya guna mengikuti bimbel di lembaga non-formal. Sehingga, anggaran pendapatan dan belanja keluarga sedikit lebih hemat, tidak terlalu boroslah. Namun, di sisi lain, kerugian non material justru sangat tinggi. Mengapa demikian? Karena, sistem kerja otak dan tenaga siswa sangat diperas. Dan waktu untuk bermain, melepas lelah dan bercengkrama dengan keluarga secara intens semakin terkikis. Hal ini tentu merupakan cermin kehampaan dalam pendidikan kita, karena menihilkan sisi humanis para siswa.
Padahal, berdasarkan keputusan Mendiknas No 22/2006, tanggal 23 Mei 2006, tentang Standar Isi dan Struktur Kurikulum KTSP, menyebutkan bahwa jumlah jam pembelajaran efektif per minggu untuk SMP/MTs/SMPLB adalah 34 jam pembelajaran. Sedangkan untuk SMA/SMK/sederajat, jumlah jam pembelajaran per minggu adalah 38 s.d. 39 jam pembelajaran. Itu artinya, bahwa melampaui batas waktu pembelajaran yang telah ditentukan KTSP dapat dikatakan tidak efektif lagi.
Bahkan, menurut penuturan kawan yang sedang kuliah di Australia mengatakan bahwa negara Kanguru yang kualitas pendidikannya masuk rangking 10 besar dunia, tak pernah menerapkan jam pembelajarannya melebihi 30-35 jam per minggu. Sekolah di sana kebanyakan masuk dari 9.30 pagi - 15.30 sore. Sedangkan, hari Sabtu, sekolah diliburkan. Untuk memperdalam pemahaman pelajaran sekolah, mereka lebih banyak mendatangkan guru privat ke rumah. Sedangkan les di luar rumah lebih banyak untuk mengasah bakat seperti tari, musik dan teater.
Pintu Kegilaan
Sementara banyak rumor berkembang di masyarakat bahwa sistem FDS itu merupakan bagian dari kepentingan terselubung (hidden interest) pihak sekolah. Yakni, meningkatkan prestise dan strategi savety first. Bagi sebagian besar sekolah, terutama sekolah yang telah tercitra unggul dan favorit, kelulusan siswanya merupakan image yang perlu dipertahankan. Agar, kelulusannya tetap tinggi, maka FDS ini perlu diterapkan secara intens. Jika, angka kelulusan siswa tinggi, bahkan tidak ada siswanya yang tidak lulus UN, maka sekolah itu akan mendapatkan pengakuan dari masyarakatnya.
Lalu sekolah tersebut menjadi sekolah rebutan masyarakat dalam menyekolahkan anak-anaknya, meskipun biaya kursinya menjadi semakin mahal. Bahkan, sekolah itu juga akan sering kebanjiran proyek pendidikan.
Sebaliknya, jika nanti pada akhirnya banyak siswa yang tidak lulus UN, maka keberadaan FDS bisa mengurangi kegagalan sekolah. Maksudnya, sekolah tersebut bisa berdalih bahwa ketidaklulusan siswanya itu bukan disebabkan kegagalan sekolah, karena pihak sekolah telah menerapkan sistem FDS. Namun, karena dari internal siswa sendiri. Dalih ini seolah-olah hendak melepas tanggung jawab sang sekolah, serta menerapkan teori kambing hitam dengan menumbalkan siswa atas ketidaklulusannya.
Menurut Foucault dalam Madness and Civilization (1989), ketidakmampuan mengontrol atau menjinakkan hasrat-hasrat (desire), sehingga menyerah total kepada ilusi hawa nafsu kekuasaan dalam skala sosial, budaya, ekonomi dan politik, merupakan pintu menuju kegilaan manusia dalam sebuah peradaban. Dengan kegilaan itu, maka manusia mencoba mencari-cari pintu untuk melepaskan hasratnya dengan cara mengkompromikan hukum, memutarbalikkan realita, mendistorsi dimensi kemanusiaan dan mendegradasi tanggung jawab sosialnya.
Sistem FDS bisa jadi merupakan sebuah pintu menuju kegilaan manusia dalam pendidikan kita. Keberadaannya telah mengikis sisi-sisi humanisme siswa, demi hasrat mendapatkan citra/prestise berupa kualitas pendidikan yang tinggi dari masyarakat luas. Padahal, citra/prestise itu hanyalah sebuah komoditi yang sifatnya artifisial/kontruksi dari masyarakat luas itu sendiri, yang entitasnya bisa dimanipulasi kapan saja (tergantung kepentingannya) bukan?
*) Ketua FORDIS, kini mahasiswa Pascasarjana Sosiologi (Konflik, Cultural Studies dan Postmodern), UGM Jogjakarta.

Tidak ada komentar:

Statistik pengunjung