OPSI
OLEH: Taufiq Sholeh
Bagaimana bahasa seni dan budaya digunakan dan untuk tujuan apa menarik untuk dikaji, terutama saat memperbincangkan topik-topik kebudayaan pada umumnya. Dalam situasi dan kondisi apapun kebudayaan selalu menjadi ruang pergulatan, perebutan, dan politik pencitraan.
Judul di atas terinspirasi dari sebuah buku yang berjudul “Pergulatan Negara, Agama dan Kebudayaan” yang merupakan kumpulan artikel Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Dalam buku itu Gus Dur mengulas bagaimana pergulatan, perebutan, dan bahkan intimidasi atas nama budaya itu terjadi hampir dalam setiap praktik budaya kita. Ruang pergulatan yang melibatkan negara, bahkan agama itu tidak jarang kemudian berakhir secara tragis, yakni pemberangusan terhadap sesutu yang oleh negara atau agama sebagai yang tidak berbudaya.
Dalam konteks yang demikian ini, bahasa kebudayaan menjadi semacam arena kontestasi yang sarat dengan berbagai kepentingan, baik secara politik-kekuasaan, sosial, dan ekonomi. Kebudayaan laiknya sebuah sirkuit “sirkuit kebudayaan”, di mana antara satu level sosial saling berlomba memperebutkan sesuatu yang dianggap sebagai miliknya. Sesuatu yang kemudian bisa menentukan dan mengatur ritme permainan yang lainnya (The Others). Tergantung sejauh mana komunitas yang mengklaim dirinya sebagai pemenang itu memainkan perannya.
Sirkuit kebudayaan kurang lebih bermakna bahwa dimensi kebudayaan adalah bagaimana medan tarung dimunculkan suatu komunitas bagi komunitas tertentu untuk menentukan komunitas tertentu yang lainnya. Akibatnya, perebutan, pergulatan dan bahkan intimidasi menjadi bagian di dalamnya.
Membuka kembali ingatan kita di masa lalu, mungkin bisa menjelaskan asumsi-asumsi di atas. Contoh, bagaimana saat negara (Orde Baru) mencoba mengambilalih ruang budaya untuk kepentingan kekuasaan. Dulu (atau juga mungkin sekarang), negara menjadikan bahasa ke-budaya-an sebagai sesuatu yang harus dikuasai, didisiplinkan, dan didefinisikan untuk kemudian dijinakkan agar mendukung penguasa. Atas nama budaya, seakan-akan hanya negara yang bisa menentukan dan mendefinisikan apa itu ke-budaya-an, termasuk juga perangkat-perangkat yang harus terlibat di dalamnya. Baik perangkat kelembagaan maupun perangkat fisik ber-kebudaan-nya (berkeseniannya). Sehingga ke-budaya-an yang di luar definisi dan kelembagaan yang bukan dibuat oleh negara bukanlah bagian dari “budaya” dan tidak pantas untuk ada.
Kasus “Reog Ponorogo”, yang harus berganti menjadi “Reyog” adalah satu dari sekian contoh kasus bagaimana negara mencoba mendefinisikan dan mendisiplinkan praktik kebudayaan. Tafsir budaya atas “Reog” kemudian dimonopoli negara atau mereka yang didikung oleh negara. Sebagai catatan, antara “Reog” dan “Reyog” ternyata memiliki dasar filosofi dan historis tersendiri bagi komunitas Reyog “Reog”. Akhirnya, mereka yang di luar wacana main stream negara (Reyog) harus gigit jari dan menunggu ajalnya.
Bukan hanya negara, agama juga terkadang menjadi ancaman bagi eksistensi sebuah praduk budaya “kesenian”. Atas nama agama, banyak produk budaya lokal kita harus tiarap, untuk tidak mengatakan binasa. Sebut saja Jaranan, Tayub-an, Gandrung-an, Lengger, Janger dan masih banyak kesenian lainnya yang harus berjuang, dengan cara-cara mereka tentunya, mempertahankan keberadaannya. Hal ini semakin menguatkan asumsi bagaimana agama juga menjadi arena produktif memunculkan citra terhadap sebuah produk budaya. Pertanyaannya, apa sebenarnya yang tengah terjadi dengan kebudayaan di negeri ini. Benarkah agama lagi bersekongkol dengan negara?
Di sisi yang lain, masih ada saja sebagian orang yang sibuk menganggap merekalah yang paling berhak mengurus ke-budaya-an “kesenian”, lucunya justeru karena alasan-alasan formalitas belaka. Sedangkan yang lainnya tidak berhak, karena tidak mengantongi keputusan-kepusan formal tersebut. Tragisnya, justru nasib para seniman semakin tidak terurus.
Jangan heran bila kita masih sering menjumpai bagaimana kesenian-kesenian lokal seperti Jaranan, Lengger, Tayuban harus bertahan seadanya. Bahkan ada sebagian dari mereka yang harus mempertontonkan keseniannya di jalan-jalan, alias “ngamen”. Tentu ini bukan hanya soal kebutuhan ekonomi semata. Lebih dari itu, bisa jadi mereka sebenarnya mengalami kebingungan untuk melestarikan seni-seni yang selama ini memang sudah jarang peminatnya.
Nasib kesenian yang demikian ini bukan saja terjadi pada mereka yang secara sosial memang sudah termarjinal (seperti Jaranan dan sejenisnya) bahkan, kesenian-kesenian yang selama ini cenderung bisa diterima masyarakat seperti Pencak Silat, Patrol, Hadrah-an pun kurang lebih bernasib sama. Pertanyaannya, apa persoalan yang sebenarnya tengah dihadapi mereka?
Bisa saja memang hal ini akibat gerusan arus modernisme yang semakin tidak terbentung lagi. Orang tidak lagi tertarik untuk menikmati kesenian-kesenian tradisional sejenis hadrah-an, Patrol-anm atau Janger, Tayub, dan lainnya. Akan tetapi menurut beberapa seniman, hal itu bisa saja diatasi dengan melakukan modifikasi-modifikasi tertentu dalam setiap kali melakukan pentas atau manggung.
Pertanyaan berikutnya, kenapa kita, bahkan negara seakan tidak mau tahu dengan fakta yang demikian ini. Lembaga-lembaga yang semestinya mengurusi kebudayaan “kesenian” terkesan tenang-tenang saja. Kalaupun ada, tentu dengan pertimbangan untung dan ruginya, baik secara politik maupun ekonomi. Sehingga, sejauh ia menguntungkan maka ia akan diprioritaskan. Negara lupa bahwa mereka (komunitas seni yang lain) juga rakyatnya yang harus diperhatikan keberdaannya.
*) Peneliti Muda DESANTARA-Institute for Cultural Studies-Jakarta, tinggal di Jember.
OLEH: Taufiq Sholeh
Bagaimana bahasa seni dan budaya digunakan dan untuk tujuan apa menarik untuk dikaji, terutama saat memperbincangkan topik-topik kebudayaan pada umumnya. Dalam situasi dan kondisi apapun kebudayaan selalu menjadi ruang pergulatan, perebutan, dan politik pencitraan.
Judul di atas terinspirasi dari sebuah buku yang berjudul “Pergulatan Negara, Agama dan Kebudayaan” yang merupakan kumpulan artikel Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Dalam buku itu Gus Dur mengulas bagaimana pergulatan, perebutan, dan bahkan intimidasi atas nama budaya itu terjadi hampir dalam setiap praktik budaya kita. Ruang pergulatan yang melibatkan negara, bahkan agama itu tidak jarang kemudian berakhir secara tragis, yakni pemberangusan terhadap sesutu yang oleh negara atau agama sebagai yang tidak berbudaya.
Dalam konteks yang demikian ini, bahasa kebudayaan menjadi semacam arena kontestasi yang sarat dengan berbagai kepentingan, baik secara politik-kekuasaan, sosial, dan ekonomi. Kebudayaan laiknya sebuah sirkuit “sirkuit kebudayaan”, di mana antara satu level sosial saling berlomba memperebutkan sesuatu yang dianggap sebagai miliknya. Sesuatu yang kemudian bisa menentukan dan mengatur ritme permainan yang lainnya (The Others). Tergantung sejauh mana komunitas yang mengklaim dirinya sebagai pemenang itu memainkan perannya.
Sirkuit kebudayaan kurang lebih bermakna bahwa dimensi kebudayaan adalah bagaimana medan tarung dimunculkan suatu komunitas bagi komunitas tertentu untuk menentukan komunitas tertentu yang lainnya. Akibatnya, perebutan, pergulatan dan bahkan intimidasi menjadi bagian di dalamnya.
Membuka kembali ingatan kita di masa lalu, mungkin bisa menjelaskan asumsi-asumsi di atas. Contoh, bagaimana saat negara (Orde Baru) mencoba mengambilalih ruang budaya untuk kepentingan kekuasaan. Dulu (atau juga mungkin sekarang), negara menjadikan bahasa ke-budaya-an sebagai sesuatu yang harus dikuasai, didisiplinkan, dan didefinisikan untuk kemudian dijinakkan agar mendukung penguasa. Atas nama budaya, seakan-akan hanya negara yang bisa menentukan dan mendefinisikan apa itu ke-budaya-an, termasuk juga perangkat-perangkat yang harus terlibat di dalamnya. Baik perangkat kelembagaan maupun perangkat fisik ber-kebudaan-nya (berkeseniannya). Sehingga ke-budaya-an yang di luar definisi dan kelembagaan yang bukan dibuat oleh negara bukanlah bagian dari “budaya” dan tidak pantas untuk ada.
Kasus “Reog Ponorogo”, yang harus berganti menjadi “Reyog” adalah satu dari sekian contoh kasus bagaimana negara mencoba mendefinisikan dan mendisiplinkan praktik kebudayaan. Tafsir budaya atas “Reog” kemudian dimonopoli negara atau mereka yang didikung oleh negara. Sebagai catatan, antara “Reog” dan “Reyog” ternyata memiliki dasar filosofi dan historis tersendiri bagi komunitas Reyog “Reog”. Akhirnya, mereka yang di luar wacana main stream negara (Reyog) harus gigit jari dan menunggu ajalnya.
Bukan hanya negara, agama juga terkadang menjadi ancaman bagi eksistensi sebuah praduk budaya “kesenian”. Atas nama agama, banyak produk budaya lokal kita harus tiarap, untuk tidak mengatakan binasa. Sebut saja Jaranan, Tayub-an, Gandrung-an, Lengger, Janger dan masih banyak kesenian lainnya yang harus berjuang, dengan cara-cara mereka tentunya, mempertahankan keberadaannya. Hal ini semakin menguatkan asumsi bagaimana agama juga menjadi arena produktif memunculkan citra terhadap sebuah produk budaya. Pertanyaannya, apa sebenarnya yang tengah terjadi dengan kebudayaan di negeri ini. Benarkah agama lagi bersekongkol dengan negara?
Di sisi yang lain, masih ada saja sebagian orang yang sibuk menganggap merekalah yang paling berhak mengurus ke-budaya-an “kesenian”, lucunya justeru karena alasan-alasan formalitas belaka. Sedangkan yang lainnya tidak berhak, karena tidak mengantongi keputusan-kepusan formal tersebut. Tragisnya, justru nasib para seniman semakin tidak terurus.
Jangan heran bila kita masih sering menjumpai bagaimana kesenian-kesenian lokal seperti Jaranan, Lengger, Tayuban harus bertahan seadanya. Bahkan ada sebagian dari mereka yang harus mempertontonkan keseniannya di jalan-jalan, alias “ngamen”. Tentu ini bukan hanya soal kebutuhan ekonomi semata. Lebih dari itu, bisa jadi mereka sebenarnya mengalami kebingungan untuk melestarikan seni-seni yang selama ini memang sudah jarang peminatnya.
Nasib kesenian yang demikian ini bukan saja terjadi pada mereka yang secara sosial memang sudah termarjinal (seperti Jaranan dan sejenisnya) bahkan, kesenian-kesenian yang selama ini cenderung bisa diterima masyarakat seperti Pencak Silat, Patrol, Hadrah-an pun kurang lebih bernasib sama. Pertanyaannya, apa persoalan yang sebenarnya tengah dihadapi mereka?
Bisa saja memang hal ini akibat gerusan arus modernisme yang semakin tidak terbentung lagi. Orang tidak lagi tertarik untuk menikmati kesenian-kesenian tradisional sejenis hadrah-an, Patrol-anm atau Janger, Tayub, dan lainnya. Akan tetapi menurut beberapa seniman, hal itu bisa saja diatasi dengan melakukan modifikasi-modifikasi tertentu dalam setiap kali melakukan pentas atau manggung.
Pertanyaan berikutnya, kenapa kita, bahkan negara seakan tidak mau tahu dengan fakta yang demikian ini. Lembaga-lembaga yang semestinya mengurusi kebudayaan “kesenian” terkesan tenang-tenang saja. Kalaupun ada, tentu dengan pertimbangan untung dan ruginya, baik secara politik maupun ekonomi. Sehingga, sejauh ia menguntungkan maka ia akan diprioritaskan. Negara lupa bahwa mereka (komunitas seni yang lain) juga rakyatnya yang harus diperhatikan keberdaannya.
*) Peneliti Muda DESANTARA-Institute for Cultural Studies-Jakarta, tinggal di Jember.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar