WACANA
OLEH: NURFA ROSANTI*
Pendidikan atau dalam bahasa mondialnya disebut sebagai proses pembelajaran memungkinkan seseorang menjadi lebih manusiawi (being humanize) sehingga disebut dewasa atau mandiri. Itulah visi atau tujuan utama dari proses pembelajaran.
Tolak ukur dari berhasilnya sebuah proses pembelajaran (menjadi dewasa) dapat diringkas menjadi satu kata; kemampuan (ability). Kemampuan ini umumnya dikaitkan dengan tiga aspek: pengetahuan (know-what, knowledge), sikap (know-why, attitude) dan ketrampilan (know-how, skill) (Herefa, 2000). Dengan memiliki ketiga hal tersebut niscaya seorang peserta didik mampu mengembangkan peran serta menciptakan suatu yang bermanfaat dalam dunia sosial yang dinamis.
Nah, yang menjadi pertanyaan sekarang sudahkah dunia pendidikan yang pernah kita kenyam memberikan kemampuan tersebut? Tentu saja jawabannya akan beragam. Namun ketika pertanyaan serupa diajukan pada Winarno Surachmad --seorang tokoh pendidikan nasional yang terpaksa mencerdaskan anak-anak bangsa lain di Brunai Darussalam akibat sikap anti-pencerahan orde baru-- jawabannya membuat kita yang anti demokrasi dan mungkin juga anti pasal 28 UUD 45 ‘naik pitam’.
Apa sumbangan pendidikan sejauh ini? Nihil. Terbukti sebuah ilusi skala nasional bernama sekolah itu tidak dapat mengklaim mampu memberikan daya tahan ekonomi, daya tahan moral bahkan daya tahan nalar sekalipun pada bangsa ini (Winarno Surachmad, Kompas 03/02/2000)
Saya pribadi sepakat dengan Winarno. Buktinya, negeri ini banyak menghasilkan para sarjana tetapi selalu saja menambah deretan panjang pengangguran. Artinya, mereka dibekali pengetahuan tetapi tidak diiringi ketrampilan. Sehingga gagal meraih masa depan yang gemilang.
Banyak pejabat yang memiliki berderet-deret titel dan lulusan sekolah ternama, tetapi kerjanya korupsi saja. Banyak sekolah didirikan, tetapi sedikit sekali yang dapat menikmatinya sehingga banyak ijasah ‘pasar’ bertebaran; sekarang pesan, lusa anda sudah punya gelar sarjana! Ini artinya, lulusan sekolah hanya dibekali pengetahuan, tetapi kurang dibekali sikap sosial.
Bahkan para pelajar yang bersekolah hingga siang, bukannya semakin terpelajar, melainkan malah kian kurang ajar; sering tawuran, pengonsumsi dan pengedar narkotika, penganut seks bebas, pemerkosa, menjadi pelacur hingga berani bunuh diri.
Parahnya lagi, fenomena itu seakan-seakan telah menjadi agenda rutin tahunan yang dapat kita saksikan di layar televisi, kita dengarkan di radio atau kita baca di koran-koran. Nyaris tak ada yang berubah. Toh, walaupun berubah hanya ganti pola saja. Esensinya sama. Seakan-akan dunia pendidikan kita adalah dunia yang penuh lumpur.
Padahal tujuan utama pendidikan ialah pendidikan moral dan pengembangan kecapan dan keahlian. Harapannya akan lahir manusia-manusia Indonesia yang cerdas, kreatif, dan inovatif yang diimbangi dengan tidak hanya kemampuan IQ, melainkan juga perpaduan dengan EQ (interaksi sosial) dan SQ (kematangan rohani) yang memadai. Bukan sebaliknya, melahirkan manusia-manusia nepotis dan kolutif sebagai pelestari kekuasaan yang korup.
Bagaimana mewujudkannya? Ada baiknya kita kembali membuka dokumen lama kita tentang sekolah sebagai lembaga pendidikan serta pembelajaran. Sekolah berawal dari kata scholl yang dalam bahasa Yunani adalah waktu luang. Ini artinya dengan bersekolah kita menghabiskan waktu luang (waktu senggang) untuk belajar banyak hal.
Jika diibaratkan sekolah itu sama halnya dengan taman bermain; penuh senyuman, syarat pengetahuan, tak ada rasa bosan serta menyenangkan. Untuk itu perlu situasi pengajaran yang kondusif, sebab anak-anak tidak dapat belajar bila ia tidak merasa kerasan di sekolah. Merasa kerasan berarti merasa aman, bebas mengajukan pendapat dan bebas berkembang sesuai dengan kemampuannya.
Menciptakan keadaan yang demikian rupa hingga anak merasa aman adalah tugas pertama sampai terakhir dari setiap pendidik, entah itu orang tua, entah pengajar. Karena mustahil bagi manusia, tua atau muda, mencari jalan menuju tujuan hidupnya bila tertekan. Sebab bila ia tertekan maka seluruh energi yang ada padanya akan digunakan untuk membangun benteng pertahanan.
Sayangnya masih banyak sivitas pendidikan yang tak paham esensi dasar pendidikan sehingga terkesan asal-asalan. Sekolah, tepatnya pengajar masih sering menggunakan sistem pengajaran gaya bank; siswa dianggap tidak bisa apa-apa dan guru sebagai satu-satunya sumber ilmu pengetahuan yang mencekoki siswa. Sehingga siswa lebih banyak diam (pola hamba-tuan). Siswa tidak dibantu menjadi kritis dan berpendapat secara bebas menggunakan kemampuannya. Akibatnya tentu saja pepatah kuno yang diplesetkan Taufik Ismail; guru kencing berdiri, murid mengencingi guru!
Rupanya membicarakan kembali tentang falsafah pendidikan merupakan hal mendesak yang harus dilakukan pemerintah. Terutama agar tak melenceng jauh dengan aspirasi berbangsa seperti yang tertuang dalam konstitusi negara, mengaitkannya dengan konsep ketahanan, keutuhan, kerukunan dan kesatuan berbangsa.
Terlebih lagi di era otonomi daerah ini di mana karakteristik masyarakat dari satu daerah dengan daerah lain berbeda, sehingga bukan hal yang mustahil jika kemudian sistem dan kurikulum pendidikanpun berbeda tiap-tiap daerah. Dengan begitu, harapan menemukan kembali esensi pendidikan kita akan segera tercapai. Dan fondasi pendidikanpun semakin kokoh untuk melahirkan generasi-generasi bangsa yang mampu mengatasi krisis multidimensi negeri ini.
*) Sekretaris Sanggar Bermain Kata (SBK) dan staf pengajar SMP Darussyahid Sampang, Madura.
OLEH: NURFA ROSANTI*
Pendidikan atau dalam bahasa mondialnya disebut sebagai proses pembelajaran memungkinkan seseorang menjadi lebih manusiawi (being humanize) sehingga disebut dewasa atau mandiri. Itulah visi atau tujuan utama dari proses pembelajaran.
Tolak ukur dari berhasilnya sebuah proses pembelajaran (menjadi dewasa) dapat diringkas menjadi satu kata; kemampuan (ability). Kemampuan ini umumnya dikaitkan dengan tiga aspek: pengetahuan (know-what, knowledge), sikap (know-why, attitude) dan ketrampilan (know-how, skill) (Herefa, 2000). Dengan memiliki ketiga hal tersebut niscaya seorang peserta didik mampu mengembangkan peran serta menciptakan suatu yang bermanfaat dalam dunia sosial yang dinamis.
Nah, yang menjadi pertanyaan sekarang sudahkah dunia pendidikan yang pernah kita kenyam memberikan kemampuan tersebut? Tentu saja jawabannya akan beragam. Namun ketika pertanyaan serupa diajukan pada Winarno Surachmad --seorang tokoh pendidikan nasional yang terpaksa mencerdaskan anak-anak bangsa lain di Brunai Darussalam akibat sikap anti-pencerahan orde baru-- jawabannya membuat kita yang anti demokrasi dan mungkin juga anti pasal 28 UUD 45 ‘naik pitam’.
Apa sumbangan pendidikan sejauh ini? Nihil. Terbukti sebuah ilusi skala nasional bernama sekolah itu tidak dapat mengklaim mampu memberikan daya tahan ekonomi, daya tahan moral bahkan daya tahan nalar sekalipun pada bangsa ini (Winarno Surachmad, Kompas 03/02/2000)
Saya pribadi sepakat dengan Winarno. Buktinya, negeri ini banyak menghasilkan para sarjana tetapi selalu saja menambah deretan panjang pengangguran. Artinya, mereka dibekali pengetahuan tetapi tidak diiringi ketrampilan. Sehingga gagal meraih masa depan yang gemilang.
Banyak pejabat yang memiliki berderet-deret titel dan lulusan sekolah ternama, tetapi kerjanya korupsi saja. Banyak sekolah didirikan, tetapi sedikit sekali yang dapat menikmatinya sehingga banyak ijasah ‘pasar’ bertebaran; sekarang pesan, lusa anda sudah punya gelar sarjana! Ini artinya, lulusan sekolah hanya dibekali pengetahuan, tetapi kurang dibekali sikap sosial.
Bahkan para pelajar yang bersekolah hingga siang, bukannya semakin terpelajar, melainkan malah kian kurang ajar; sering tawuran, pengonsumsi dan pengedar narkotika, penganut seks bebas, pemerkosa, menjadi pelacur hingga berani bunuh diri.
Parahnya lagi, fenomena itu seakan-seakan telah menjadi agenda rutin tahunan yang dapat kita saksikan di layar televisi, kita dengarkan di radio atau kita baca di koran-koran. Nyaris tak ada yang berubah. Toh, walaupun berubah hanya ganti pola saja. Esensinya sama. Seakan-akan dunia pendidikan kita adalah dunia yang penuh lumpur.
Padahal tujuan utama pendidikan ialah pendidikan moral dan pengembangan kecapan dan keahlian. Harapannya akan lahir manusia-manusia Indonesia yang cerdas, kreatif, dan inovatif yang diimbangi dengan tidak hanya kemampuan IQ, melainkan juga perpaduan dengan EQ (interaksi sosial) dan SQ (kematangan rohani) yang memadai. Bukan sebaliknya, melahirkan manusia-manusia nepotis dan kolutif sebagai pelestari kekuasaan yang korup.
Bagaimana mewujudkannya? Ada baiknya kita kembali membuka dokumen lama kita tentang sekolah sebagai lembaga pendidikan serta pembelajaran. Sekolah berawal dari kata scholl yang dalam bahasa Yunani adalah waktu luang. Ini artinya dengan bersekolah kita menghabiskan waktu luang (waktu senggang) untuk belajar banyak hal.
Jika diibaratkan sekolah itu sama halnya dengan taman bermain; penuh senyuman, syarat pengetahuan, tak ada rasa bosan serta menyenangkan. Untuk itu perlu situasi pengajaran yang kondusif, sebab anak-anak tidak dapat belajar bila ia tidak merasa kerasan di sekolah. Merasa kerasan berarti merasa aman, bebas mengajukan pendapat dan bebas berkembang sesuai dengan kemampuannya.
Menciptakan keadaan yang demikian rupa hingga anak merasa aman adalah tugas pertama sampai terakhir dari setiap pendidik, entah itu orang tua, entah pengajar. Karena mustahil bagi manusia, tua atau muda, mencari jalan menuju tujuan hidupnya bila tertekan. Sebab bila ia tertekan maka seluruh energi yang ada padanya akan digunakan untuk membangun benteng pertahanan.
Sayangnya masih banyak sivitas pendidikan yang tak paham esensi dasar pendidikan sehingga terkesan asal-asalan. Sekolah, tepatnya pengajar masih sering menggunakan sistem pengajaran gaya bank; siswa dianggap tidak bisa apa-apa dan guru sebagai satu-satunya sumber ilmu pengetahuan yang mencekoki siswa. Sehingga siswa lebih banyak diam (pola hamba-tuan). Siswa tidak dibantu menjadi kritis dan berpendapat secara bebas menggunakan kemampuannya. Akibatnya tentu saja pepatah kuno yang diplesetkan Taufik Ismail; guru kencing berdiri, murid mengencingi guru!
Rupanya membicarakan kembali tentang falsafah pendidikan merupakan hal mendesak yang harus dilakukan pemerintah. Terutama agar tak melenceng jauh dengan aspirasi berbangsa seperti yang tertuang dalam konstitusi negara, mengaitkannya dengan konsep ketahanan, keutuhan, kerukunan dan kesatuan berbangsa.
Terlebih lagi di era otonomi daerah ini di mana karakteristik masyarakat dari satu daerah dengan daerah lain berbeda, sehingga bukan hal yang mustahil jika kemudian sistem dan kurikulum pendidikanpun berbeda tiap-tiap daerah. Dengan begitu, harapan menemukan kembali esensi pendidikan kita akan segera tercapai. Dan fondasi pendidikanpun semakin kokoh untuk melahirkan generasi-generasi bangsa yang mampu mengatasi krisis multidimensi negeri ini.
*) Sekretaris Sanggar Bermain Kata (SBK) dan staf pengajar SMP Darussyahid Sampang, Madura.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar