REFLEKSI
Oleh: AHMAD FATONI*
Di Indonesia, belakangan ini, kata ‘protes’ sudah tidak asing lagi. Setiap muncul kebijakan yang tidak sesuai dengan keinginan sebagian pihak, muncul sikap protes. Orang boleh heboh dengan cara-cara yang digunakan tapi protes rupanya menjadi saluran yang paling demokratis. Dengan protes, maksud dan keinginan suatu kelompok akan terungkap.
Segala hal yang berbau protes biasanya selalu dibenci atau ditakuti penguasa yang lalim dan otoriter. Ironisnya, tidak jarang aksi-aksi protes itu direspons balik dengan protes tandingan. Di mata pemerintah, protes hanya akan mengacaukan tatanan yang dianggapnya sudah mapan, stabil, dan tenang. Terlebih sejarah pernah membuktikan, protes berperan besar dalam menggulingkan kekuasaan yang otoriter. Tak heran, banyak pemangku kekuasaan di negeri ini juga ketar-ketir jika habis-habisan diprotes.
Makna Protes
Protes sesungguhnya gejala universal seperti gejala alam lainnya yang perlu kearifan tersendiri. Beberapa pengamat sosial mencoba memahami budaya protes bukan semata-mata gerakan sosial tapi juga merupakan fenomena yang menuntut kajian mendalam. Protes kenyataannya bukan sekedar aksi politik melainkan juga aksi sosial dan kultural.
Sejumlah kamus menkategorikan kata ‘protes’ sebagai kata benda dan kata kerja yang berarti, antara lain, pernyataan pendapat secara beramai-ramai dan biasanya berupa pembangkangan; keluhan, keberatan, atau ungkapan keengganan terhadap suatu gagasan atau tindakan; ekspresi penolakan secara lugas; pengingkaran atas tuntutan yang dibebankan; dan sikap mendudukkan masalah pada proporsinya.
Dari sekian kutipan di atas dapat disimpulkan beberapa dimensi sebagai berikut: (1) penolakan atau keberatan; (2) atas sesuatu yang berseberangan; (3) yang sudah tidak dapat ditoleransi; (4) yang ditujukan kepada pribadi atau lembaga yang berkuasa; (5) yang dilakukan secara beramai-ramai, resmi, dan terbuka; (7) serta didasari oleh perasaan ketidakadilan.
Sementara itu, banyak kelompok yang bertanya-tanya bagaimana sebuah protes dapat menjadi kekuatan yang dapat menghancurkan dan menaklukkan sebuah kekuasaan yang otoriter. Meminjam kerangka berpikir John Lofland dalam buku Protes (2003), aksi protes harus ditopang suatu ideologi sebagai mesin gerakan sehingga protes menjadi aktivitas yang menantang.
Dengan melakukan aksi protes, akibatnya bukan semata-mata resiko yang bakal diterima, namun yang terpenting adalah misi yang hendak diperjuangkan. Soal menuai bau anyir darah dan babak-belur ketika manuver protes dilancarkan, itu bukan saja sudah menjadi risiko, melainkan menu wajib bagi sebuah keinginan yang menghendaki perubahan progresif secara radikal.
Barangkali yang perlu mendapat perhatian ialah budaya protes yang cenderung mengarah pada tindak kekerasan. Peristiwa penggusuran, pemilihan kepala daerah, kongres partai, proses pengadilan, pro-kontra isu tertentu, hampir selalu diwarnai dengan aksi-aksi protes yang dengan gampang menyulut amuk massa yang beringas, agresif, dan destruktif. Dalam peristiwa itu, apa pun bentuk dan motifnya, kelompok massa dimunculkan atas nama ‘kepentingan umum’, yang merasa sah untuk memaksakan kehendak.
Amuk massa ada yang sengaja diciptakan, ada pula yang terjadi secara spontanitas karena peristiwa tertentu. Kerumunan massa yang terorganisasi biasanya dikendalikan oleh operator-operator lapangan yang mengarahkan bagaimana dan sejauh mana mereka harus bertindak. Tetapi massa yang tak terorganisasi jauh lebih mudah berubah menjadi kerusuhan.
Ada dua hal yang dapat dikemukakan agar protes terpelihara dari perkara yang berujung anarkis. Pertama, memahami protes bukan sebagai aktivitas sembarangan, melainkan suatu kegiatan yang berlandaskan seperangkat keyakinan, ideologi bahkan kerangka teori tertentu. Kedua, aksi protes harus dilakukan secara terencana supaya tidak melenceng jauh dari agenda dan tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Maka protes tidak selayaknya ditunjukkan dengan cara perlawanan frontal, memblokade jalan umum, menyerang dengan kekuatan senjata, atau menjurus anarkis seperti merusak, bakar-bakar, dan melakukan tindakan keji lainnya.
Persoalan lain yang perlu dipikirkan adalah bukan hanya menjauhkan protes dari budaya kekerasan, tetapi juga bagaimana harus merintis budaya protes tanpa kekerasan. Secara positif, budaya antikekerasan juga berarti budaya perdamaian. Berbincang tentang budaya perdamaian sesungguhnya orang berbicara tentang suatu transformasi yang berdimensi kultural dan bukan hanya bersifat kelembagaan.
Alhasil, adanya jaminan para pemegang kekuasaan di negeri ini terhadap hak asasi individu maupun sosial harus dibarengi dengan usaha-usaha alternatif agar menyentuh kebutuhan masyarakat bawah yang selama ini kurang mendapat perhatian. Misalnya, pemerintah menggunakan pendekatan basic needs dalam menghadapi berbagai macam krisis yang ditujukan untuk mengatasi penderitaan, ketidakpuasan, dan ketertindasan kelompok marginal.
*) Penggiat Pusat Studi Ilmu dan Filsafat (PSIF) Unmuh Malang.
Oleh: AHMAD FATONI*
Di Indonesia, belakangan ini, kata ‘protes’ sudah tidak asing lagi. Setiap muncul kebijakan yang tidak sesuai dengan keinginan sebagian pihak, muncul sikap protes. Orang boleh heboh dengan cara-cara yang digunakan tapi protes rupanya menjadi saluran yang paling demokratis. Dengan protes, maksud dan keinginan suatu kelompok akan terungkap.
Segala hal yang berbau protes biasanya selalu dibenci atau ditakuti penguasa yang lalim dan otoriter. Ironisnya, tidak jarang aksi-aksi protes itu direspons balik dengan protes tandingan. Di mata pemerintah, protes hanya akan mengacaukan tatanan yang dianggapnya sudah mapan, stabil, dan tenang. Terlebih sejarah pernah membuktikan, protes berperan besar dalam menggulingkan kekuasaan yang otoriter. Tak heran, banyak pemangku kekuasaan di negeri ini juga ketar-ketir jika habis-habisan diprotes.
Makna Protes
Protes sesungguhnya gejala universal seperti gejala alam lainnya yang perlu kearifan tersendiri. Beberapa pengamat sosial mencoba memahami budaya protes bukan semata-mata gerakan sosial tapi juga merupakan fenomena yang menuntut kajian mendalam. Protes kenyataannya bukan sekedar aksi politik melainkan juga aksi sosial dan kultural.
Sejumlah kamus menkategorikan kata ‘protes’ sebagai kata benda dan kata kerja yang berarti, antara lain, pernyataan pendapat secara beramai-ramai dan biasanya berupa pembangkangan; keluhan, keberatan, atau ungkapan keengganan terhadap suatu gagasan atau tindakan; ekspresi penolakan secara lugas; pengingkaran atas tuntutan yang dibebankan; dan sikap mendudukkan masalah pada proporsinya.
Dari sekian kutipan di atas dapat disimpulkan beberapa dimensi sebagai berikut: (1) penolakan atau keberatan; (2) atas sesuatu yang berseberangan; (3) yang sudah tidak dapat ditoleransi; (4) yang ditujukan kepada pribadi atau lembaga yang berkuasa; (5) yang dilakukan secara beramai-ramai, resmi, dan terbuka; (7) serta didasari oleh perasaan ketidakadilan.
Sementara itu, banyak kelompok yang bertanya-tanya bagaimana sebuah protes dapat menjadi kekuatan yang dapat menghancurkan dan menaklukkan sebuah kekuasaan yang otoriter. Meminjam kerangka berpikir John Lofland dalam buku Protes (2003), aksi protes harus ditopang suatu ideologi sebagai mesin gerakan sehingga protes menjadi aktivitas yang menantang.
Dengan melakukan aksi protes, akibatnya bukan semata-mata resiko yang bakal diterima, namun yang terpenting adalah misi yang hendak diperjuangkan. Soal menuai bau anyir darah dan babak-belur ketika manuver protes dilancarkan, itu bukan saja sudah menjadi risiko, melainkan menu wajib bagi sebuah keinginan yang menghendaki perubahan progresif secara radikal.
Barangkali yang perlu mendapat perhatian ialah budaya protes yang cenderung mengarah pada tindak kekerasan. Peristiwa penggusuran, pemilihan kepala daerah, kongres partai, proses pengadilan, pro-kontra isu tertentu, hampir selalu diwarnai dengan aksi-aksi protes yang dengan gampang menyulut amuk massa yang beringas, agresif, dan destruktif. Dalam peristiwa itu, apa pun bentuk dan motifnya, kelompok massa dimunculkan atas nama ‘kepentingan umum’, yang merasa sah untuk memaksakan kehendak.
Amuk massa ada yang sengaja diciptakan, ada pula yang terjadi secara spontanitas karena peristiwa tertentu. Kerumunan massa yang terorganisasi biasanya dikendalikan oleh operator-operator lapangan yang mengarahkan bagaimana dan sejauh mana mereka harus bertindak. Tetapi massa yang tak terorganisasi jauh lebih mudah berubah menjadi kerusuhan.
Ada dua hal yang dapat dikemukakan agar protes terpelihara dari perkara yang berujung anarkis. Pertama, memahami protes bukan sebagai aktivitas sembarangan, melainkan suatu kegiatan yang berlandaskan seperangkat keyakinan, ideologi bahkan kerangka teori tertentu. Kedua, aksi protes harus dilakukan secara terencana supaya tidak melenceng jauh dari agenda dan tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Maka protes tidak selayaknya ditunjukkan dengan cara perlawanan frontal, memblokade jalan umum, menyerang dengan kekuatan senjata, atau menjurus anarkis seperti merusak, bakar-bakar, dan melakukan tindakan keji lainnya.
Persoalan lain yang perlu dipikirkan adalah bukan hanya menjauhkan protes dari budaya kekerasan, tetapi juga bagaimana harus merintis budaya protes tanpa kekerasan. Secara positif, budaya antikekerasan juga berarti budaya perdamaian. Berbincang tentang budaya perdamaian sesungguhnya orang berbicara tentang suatu transformasi yang berdimensi kultural dan bukan hanya bersifat kelembagaan.
Alhasil, adanya jaminan para pemegang kekuasaan di negeri ini terhadap hak asasi individu maupun sosial harus dibarengi dengan usaha-usaha alternatif agar menyentuh kebutuhan masyarakat bawah yang selama ini kurang mendapat perhatian. Misalnya, pemerintah menggunakan pendekatan basic needs dalam menghadapi berbagai macam krisis yang ditujukan untuk mengatasi penderitaan, ketidakpuasan, dan ketertindasan kelompok marginal.
*) Penggiat Pusat Studi Ilmu dan Filsafat (PSIF) Unmuh Malang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar