WACANA
Oleh: Hendrizal*
Belakangan ini reformasi birokrasi menjadi sorotan. Kali ini, sorotan justru datang dari ‘orang dalam’ birokrasi. Adalah Kepala Lembaga Administrasi Negara (LAN) Sunarno orangnya. Dalam pidatonya pada acara Pendidikan dan Pelatihan Kepemimpinan Tingkat I Angkatan XII LAN di Jakarta, baru-baru ini, Sunarno menyatakan, agenda reformasi tidak menghasilkan perbaikan yang signifikan bagi kondisi bangsa, dan ini terkait dengan reformasi birokrasi yang tak sukses.
Dalam kurun 8 tahun terakhir, bangsa Indonesia telah melakukan berbagai reformasi, khususnya melalui penataan ulang sistem penyelenggaraan pemerintahan negara yang dijalankan aparatur negara. Tapi sayangnya, kata Sunarno, reformasi belum diberlakukan sebagai framework yang holistik, sistemik dan komprehensif. Mengingat hal itu, salah satu tantangan yang dihadapi saat ini adalah bagaimana kepemimpinan aparatur birokrasi dapat membangun kekuatan sistemik yang mampu mengintegrasikan interaksi sinergis dalam lingkungan strategis tersebut, sehingga da-pat memberikan respon yang tepat dalam rangka merealisasikan visi bangsa.
Ditinjau dari politik keseharian, apa yang dinyatakan Kepala LAN tadi memang sangat penting diperhatikan. Perangai arogan, organisasi tambun, gerak lambat, sifat korup, profesionalisme dan produktivitas rendah dalam birokrasi pemerintahan kita bukan hal baru dan sampai sekarang terus saja terjadi, meskipun kita sudah 8 tahun mengalami masa reformasi. Itulah realitas yang harus diterima masyarakat ketika berhubungan dengan birokrasi. Bahkan, Megawati sewaktu menjadi presiden pernah menyatakan birokrasi Indonesia seperti ‘keranjang sampah’.
Sudah sering pula diungkap, kondisi pelayanan publik yang dilakukan aparatur pemerintah sampai saat ini belum dapat mewujudkan performance atau kualitas yang diharapkan. Pelaksanaan berbagai jenis pelayanan, baik dalam rangka pemenuhan kebutuhan dasar maupun pemenuhan hak-hak sipil serta hak-hak politik warga masyarakat, masih dijumpai kelemahan-kelemahan. Ini ditandai masih adanya keluhan-keluhan masyarakat yang disampaikan melalui media massa menyangkut sistem dan prosedur pelayanan yang berbelit-belit, informasi yang tak terbuka, sikap dan perilaku petugas pelayanan yang kurang ramah, kurang responsif dan bahkan memerlukan imbalan (pungutan liar/pungli) yang mengarah pada biaya tinggi.
Beberapa waktu lalu, 22 investor asing mengungkapkan banyaknya persoalan birokrasi Indonesia terkait dengan efisiensi pelayanan yang selama ini dianggap menghambat investasi di Indonesia. Kalangan investor itu mengungkapkan langsung kepada Presiden Yudhoyono. Ketua International Business Chamber (IBC) Peter G Faning mengutarakan itu dalam keterangan pers bersama Menko Perekonomian Boediono dan sejumlah investor lainnya di Kantor Presiden, Kompleks Istana, Jakarta, Jumat (9-12-2005). Keterangan pers diberikan seusai pertemuan khusus Presiden Yudhoyono dan sejumlah menteri ekonomi dengan 22 investor asing.
Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Kerja Sama Ekonomi Internasional John A Prasetio juga mengatakan, ‘Persoalan lebih kepada birokrasi yang menyulitkan sehingga yang punya posisi kunci di tempat tertentu seringkali tidak bisa menyampaikan kebijakannya. Padahal, seharusnya pemerintah bisa memberikan pelayanan publik yang efisien.’
Perlakuan dan citra negatif birokrasi kita tersebut perlu diubah karena dapat mengurangi kepercayaan dan partisipasi masyarakat terhadap pemerintah. Bukankah masyarakat makin kritis? Secara transparan, masyarakat yang sudah rela membayar pajak dan retribusi mulai berani mempertanyakan akuntabilitas pelayanan publik yang dilakukan aparatur pemerintah. Hal ini tentu perlu direspons dan diantisipasi secara proporsional.
Ditinjau dari segi keilmuan, agenda reformasi birokrasi pemerintahan juga urgen dilakukan. Sudah demikian banyak pakar mengupas habis birokrasi pemerintah terutama sejak dekade 1960. Ketakpuasan pada kinerja birokrasi mencapai puncak ketika pada 1975, Warren Bennis misalnya, begitu yakin bahwa pada abad 21 manusia tak lagi butuh birokrasi. Ada 2 argumennya: (1) Birokrasi pemerintah sarat dengan kelemahan, semisal tidak efisien, mengedepankan struktur hirarkis, bertele-tele, dan menyelewengkan tujuan. (2) Birokrasi pemerintah mengidap penyakit inertia (keterbelakangan) dan resistensi (menolak perubahan).
Lantas, apakah birokrasi pemerintah mesti dibubarkan? Tak perlu tergesa-gesa. Ada 2 realitas yang tak dapat diabaikan. Pertama, keberadaan birokrasi sama dengan eksistensi negara. Persis seperti dikatakan Charlers Handy (1996), inti sistem politik adalah birokrasi. Selama negara Indonesia masih ada, selama itu pula hadir setiap hari birokrasi pemerintah.
Kedua, kalau birokrasi pemerintah bubar, tentu mesti ditetapkan suatu organisasi yang perlu menjalankan kebijakan pemerintah dan merealisasikan cita-cita bangsa yang tercantum secara jelas dalam Pembukaan UUD 1945. Karenanya, jauh lebih baik kita melakukan ikhtiar bersama untuk menemukan strategi membenahi birokrasi pemerintah. Di samping itu perlu dijalankan inovasi kinerja, suatu inovasi untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas pelayanan publik.
Memang benar, tak ada seorang pun yang berani menjamin bahwa inovasi struktural dan kinerja (kultural) --kendati dilengkapi dengan inovasi fiskal-- akan berhasil mereformasi birokrasi. Sebab, berjalan atau tidaknya strategi reformasi birokrasi pada akhirnya tergantung sepenuhnya pada lingkungan administrasi dan perilaku birokrat. Orang meringkas hambatan ini dengan istilah ‘sikap mental’.
Hambatan yang demikian berat dihadapi dalam mereformasi birokrasi bisa dikurangi lewat gerakan politik (political movement) dan penegakkan hukum (law enforcement). Pengalaman negara lain menunjukkan, reformasi birokrasi akan efektif kalau ia menjadi bagian dari gerakan politik (political movement). Praktik politik yang sehat amat menolong pelembagaan unsur responsibilitas, tanggung jawab, akuntabilitas, dan efisiensi dalam lingkungan birokrasi pemerintah (Lane, 1995).
Di Amerika Latin, usaha untuk mengenalkan reformasi kepegawaian yang berdedikasi terhadap rakyat misalnya, selama 3 dasawarsa mengalami kesukaran besar gara-gara sistem politik yang ‘menentang’ pengembangan kompetensi profesional (Turner & Hulme, 1995). Karenanya, dukungan politik bagi pembaruan birokrasi akan bisa menampakkan hasil kalau disertai dengan penegakkan hukum.
Keberhasilan Cina membangun birokrasi baru yang efisien dari sebuah birokrasi pemerintah yang korup, menjadi bukti bahwa penegakkan hukum menjadi kata kunci bagi kesuksesan reformasi birokrasi. Penerapan dengan sungguh-sungguh hard legislation (peraturan bersanksi hukuman), bukan cuma soft legislation, terbukti sukses mengunci perilaku culas (Abbott & Snidal, 2000). Walikota di Cina misalnya yang terbukti korupsi meskipun cuma 100 dolar AS, diancam hukuman mati.
Jadi, penegakkan hukum juga bisa menjadi instrumen efektif untuk membangun pemerintahan yang bersih (clean government) dan spirit pelayanan publik, yang menurut Frederickson (1997) bersifat tergantung pada suatu dasar moral kebajikan kepada semua warga negara.
Penting dicamkan, statemen tentang birokrasi kita yang cenderung tidak baik dan karenanya penting direformasi, haruslah tidak hanya berhenti sebagai suatu stigma semata. Malah sebaliknya, problem dan hambatan yang melekat pada birokrasi pemerintahan tersebut semestinya menjadi tantangan etis untuk mereformasinya.
*) Direktur Institute for Democracy & Society Empowerment (IDSE) Yogyakarta, Research Fellow di BRIE India, alumnus Fisipol UGM.
Oleh: Hendrizal*
Belakangan ini reformasi birokrasi menjadi sorotan. Kali ini, sorotan justru datang dari ‘orang dalam’ birokrasi. Adalah Kepala Lembaga Administrasi Negara (LAN) Sunarno orangnya. Dalam pidatonya pada acara Pendidikan dan Pelatihan Kepemimpinan Tingkat I Angkatan XII LAN di Jakarta, baru-baru ini, Sunarno menyatakan, agenda reformasi tidak menghasilkan perbaikan yang signifikan bagi kondisi bangsa, dan ini terkait dengan reformasi birokrasi yang tak sukses.
Dalam kurun 8 tahun terakhir, bangsa Indonesia telah melakukan berbagai reformasi, khususnya melalui penataan ulang sistem penyelenggaraan pemerintahan negara yang dijalankan aparatur negara. Tapi sayangnya, kata Sunarno, reformasi belum diberlakukan sebagai framework yang holistik, sistemik dan komprehensif. Mengingat hal itu, salah satu tantangan yang dihadapi saat ini adalah bagaimana kepemimpinan aparatur birokrasi dapat membangun kekuatan sistemik yang mampu mengintegrasikan interaksi sinergis dalam lingkungan strategis tersebut, sehingga da-pat memberikan respon yang tepat dalam rangka merealisasikan visi bangsa.
Ditinjau dari politik keseharian, apa yang dinyatakan Kepala LAN tadi memang sangat penting diperhatikan. Perangai arogan, organisasi tambun, gerak lambat, sifat korup, profesionalisme dan produktivitas rendah dalam birokrasi pemerintahan kita bukan hal baru dan sampai sekarang terus saja terjadi, meskipun kita sudah 8 tahun mengalami masa reformasi. Itulah realitas yang harus diterima masyarakat ketika berhubungan dengan birokrasi. Bahkan, Megawati sewaktu menjadi presiden pernah menyatakan birokrasi Indonesia seperti ‘keranjang sampah’.
Sudah sering pula diungkap, kondisi pelayanan publik yang dilakukan aparatur pemerintah sampai saat ini belum dapat mewujudkan performance atau kualitas yang diharapkan. Pelaksanaan berbagai jenis pelayanan, baik dalam rangka pemenuhan kebutuhan dasar maupun pemenuhan hak-hak sipil serta hak-hak politik warga masyarakat, masih dijumpai kelemahan-kelemahan. Ini ditandai masih adanya keluhan-keluhan masyarakat yang disampaikan melalui media massa menyangkut sistem dan prosedur pelayanan yang berbelit-belit, informasi yang tak terbuka, sikap dan perilaku petugas pelayanan yang kurang ramah, kurang responsif dan bahkan memerlukan imbalan (pungutan liar/pungli) yang mengarah pada biaya tinggi.
Beberapa waktu lalu, 22 investor asing mengungkapkan banyaknya persoalan birokrasi Indonesia terkait dengan efisiensi pelayanan yang selama ini dianggap menghambat investasi di Indonesia. Kalangan investor itu mengungkapkan langsung kepada Presiden Yudhoyono. Ketua International Business Chamber (IBC) Peter G Faning mengutarakan itu dalam keterangan pers bersama Menko Perekonomian Boediono dan sejumlah investor lainnya di Kantor Presiden, Kompleks Istana, Jakarta, Jumat (9-12-2005). Keterangan pers diberikan seusai pertemuan khusus Presiden Yudhoyono dan sejumlah menteri ekonomi dengan 22 investor asing.
Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Kerja Sama Ekonomi Internasional John A Prasetio juga mengatakan, ‘Persoalan lebih kepada birokrasi yang menyulitkan sehingga yang punya posisi kunci di tempat tertentu seringkali tidak bisa menyampaikan kebijakannya. Padahal, seharusnya pemerintah bisa memberikan pelayanan publik yang efisien.’
Perlakuan dan citra negatif birokrasi kita tersebut perlu diubah karena dapat mengurangi kepercayaan dan partisipasi masyarakat terhadap pemerintah. Bukankah masyarakat makin kritis? Secara transparan, masyarakat yang sudah rela membayar pajak dan retribusi mulai berani mempertanyakan akuntabilitas pelayanan publik yang dilakukan aparatur pemerintah. Hal ini tentu perlu direspons dan diantisipasi secara proporsional.
Ditinjau dari segi keilmuan, agenda reformasi birokrasi pemerintahan juga urgen dilakukan. Sudah demikian banyak pakar mengupas habis birokrasi pemerintah terutama sejak dekade 1960. Ketakpuasan pada kinerja birokrasi mencapai puncak ketika pada 1975, Warren Bennis misalnya, begitu yakin bahwa pada abad 21 manusia tak lagi butuh birokrasi. Ada 2 argumennya: (1) Birokrasi pemerintah sarat dengan kelemahan, semisal tidak efisien, mengedepankan struktur hirarkis, bertele-tele, dan menyelewengkan tujuan. (2) Birokrasi pemerintah mengidap penyakit inertia (keterbelakangan) dan resistensi (menolak perubahan).
Lantas, apakah birokrasi pemerintah mesti dibubarkan? Tak perlu tergesa-gesa. Ada 2 realitas yang tak dapat diabaikan. Pertama, keberadaan birokrasi sama dengan eksistensi negara. Persis seperti dikatakan Charlers Handy (1996), inti sistem politik adalah birokrasi. Selama negara Indonesia masih ada, selama itu pula hadir setiap hari birokrasi pemerintah.
Kedua, kalau birokrasi pemerintah bubar, tentu mesti ditetapkan suatu organisasi yang perlu menjalankan kebijakan pemerintah dan merealisasikan cita-cita bangsa yang tercantum secara jelas dalam Pembukaan UUD 1945. Karenanya, jauh lebih baik kita melakukan ikhtiar bersama untuk menemukan strategi membenahi birokrasi pemerintah. Di samping itu perlu dijalankan inovasi kinerja, suatu inovasi untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas pelayanan publik.
Memang benar, tak ada seorang pun yang berani menjamin bahwa inovasi struktural dan kinerja (kultural) --kendati dilengkapi dengan inovasi fiskal-- akan berhasil mereformasi birokrasi. Sebab, berjalan atau tidaknya strategi reformasi birokrasi pada akhirnya tergantung sepenuhnya pada lingkungan administrasi dan perilaku birokrat. Orang meringkas hambatan ini dengan istilah ‘sikap mental’.
Hambatan yang demikian berat dihadapi dalam mereformasi birokrasi bisa dikurangi lewat gerakan politik (political movement) dan penegakkan hukum (law enforcement). Pengalaman negara lain menunjukkan, reformasi birokrasi akan efektif kalau ia menjadi bagian dari gerakan politik (political movement). Praktik politik yang sehat amat menolong pelembagaan unsur responsibilitas, tanggung jawab, akuntabilitas, dan efisiensi dalam lingkungan birokrasi pemerintah (Lane, 1995).
Di Amerika Latin, usaha untuk mengenalkan reformasi kepegawaian yang berdedikasi terhadap rakyat misalnya, selama 3 dasawarsa mengalami kesukaran besar gara-gara sistem politik yang ‘menentang’ pengembangan kompetensi profesional (Turner & Hulme, 1995). Karenanya, dukungan politik bagi pembaruan birokrasi akan bisa menampakkan hasil kalau disertai dengan penegakkan hukum.
Keberhasilan Cina membangun birokrasi baru yang efisien dari sebuah birokrasi pemerintah yang korup, menjadi bukti bahwa penegakkan hukum menjadi kata kunci bagi kesuksesan reformasi birokrasi. Penerapan dengan sungguh-sungguh hard legislation (peraturan bersanksi hukuman), bukan cuma soft legislation, terbukti sukses mengunci perilaku culas (Abbott & Snidal, 2000). Walikota di Cina misalnya yang terbukti korupsi meskipun cuma 100 dolar AS, diancam hukuman mati.
Jadi, penegakkan hukum juga bisa menjadi instrumen efektif untuk membangun pemerintahan yang bersih (clean government) dan spirit pelayanan publik, yang menurut Frederickson (1997) bersifat tergantung pada suatu dasar moral kebajikan kepada semua warga negara.
Penting dicamkan, statemen tentang birokrasi kita yang cenderung tidak baik dan karenanya penting direformasi, haruslah tidak hanya berhenti sebagai suatu stigma semata. Malah sebaliknya, problem dan hambatan yang melekat pada birokrasi pemerintahan tersebut semestinya menjadi tantangan etis untuk mereformasinya.
*) Direktur Institute for Democracy & Society Empowerment (IDSE) Yogyakarta, Research Fellow di BRIE India, alumnus Fisipol UGM.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar